Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Menulislah, siapa tahu jadi buku

Kang,

Aku kok merasa rugi ikut kompasiana. Eit, sabar. Jangan buru-buru mencerca. Aku tahu sampeyan fans berat kompas. Mau bukti? Headline kompas akan sampeyan bahas dalam kesempatan pertama kita ketemu. Referensi berita kalau enggak dari kompas akan sampeyan kritisi betul. Sampai-sampai aku pernah berpikir enggak perlu baca kompas lagi. Cukup ngobrol dengan sampeyan, maka rangkaian berita yang disiarkan di sana sudah bisa kutahu. Tapi tolong kali ini dengar dulu omonganku. Beri aku kesempatan untuk memaparkan latar belakang ungkapan tadi. oke?

Begini lho, kang.

Kalau aku ikut daftar kompasiana, alasannya sepele. Aku cuma pengin ikut ngomentari tulisan para kompasianer itu. Sudah tahu to kalau para kompasianer itu berasal dari seluruh nusantara. Bahkan banyak yang saat ini tinggal di luar negeri. Mereka punya banyak peng-alaman hidup, kang. Beraneka pengalaman hidup menjadi bahan tulisannya. Wah, asyik sekali membaca tulisan yang mereka unggah. Ada yang menyoroti budaya masyarakat sekitar. Ada juga yang menulis catatan perjalanan mendaki gunung ini atau pergi ke daerah itu. Sementara yang di luar negeri banyak yang menulis hal-hal unik yang dijumpai di sana. Tentang orang-orangnya, tentang tempat-tempat yang dikunjungi, atau tentang makanan yang disantap. Kompasianer yang nulis tentang isu-isu terpanas negeri kita juga banyak, kang. Dari membaca tulisan mereka, pengetahuanku sedikit-sedikit bertambah. Generalized atau apalah istilahnya. Pokoknya, tahu sedikit tentang banyak hal.

Biasanya sehabis baca tulisan yang diunggah di kompasiana, aku pingin komentar. Ya, cuma ngomong, “mas, artikelnya bagus,” atau “wah, mbak, asyik ya bisa sampai sana.” Kadang kala aku juga pingin bertanya, “maksudnya apa, to om?” supaya bisa interaksi seperti itu, aku harus daftar ke kompasiana, kang. Gitu awalannya.

Terus, setelah jadi kompasianer (wuaduh, aku jadi ge-er, hehe), keinginanku tidak lantas mandheg. Aku terprovokasi juga untuk ketak-ketik. Masak, sudah jadi kompasianer kok Cuma numpang komentar. Makanya aku coba-coba nulis. Apa saja yang menurutku penting tak unggahke. Ada isu remunerasi, aku ngunggah komentar. Habis baca buku, komentarku tak tulis. Ngobrol sama sampeyan, tak tulis. Sampai-sampai aku mencari-cari ide tulisan dari kejadian kecil yang pernah kualami.

Keinginan nulis itu juga ada alasannya. Mau tahu, kang? Setelah tak pikir-pikir, ternyata karena tulisanku dapat komentar dari kompasianer lain. Sekedar ‘salam kenal’ saja sudah membuatku bungah, hihihi. Apalagi kalau ada komentar yang memancing komentar baru. Wah, tambah seru le ngeblog. Aku sekarang jadi kecanduan virus kompasiana. Hehehe ….

Baru sebulan ngompas (pakai -siana maksudnya), aku melihat satu hal baru. Ternyata tulisan yang diunggah teman-teman itu bagus-bagus. Isinya menarik apalagi di-tempeli foto-foto karya sendiri. Kadang menghibur, kadang menyentak. Sayangnya, yang baca tulisan bagus itu cuma kisaran ratusan orang saja. Memang ada tulisan yang dibaca sampai hampir 3000-an orang. Biasanya isinya tentang isu terpanas saat itu atau yang judulnya nyerempet-nyerempet (seleb, seks, atau seleb kecanduan ngeseks, hehe).  Konsekuensinya, yang bisa memetik manfaat tulisan tadi ya hanya sebatas angka itu. Eman-eman, to kang? Padahal jika tulisan itu dibaca oleh orang-orang se-Indonesia, tentu semakin banyak yang mendapatkan manfaat. Bagaimana caranya?

Sederhana: buat buku. Kamu gak percaya, kang? Coba diingat, walaupun dunia akan segera memasuki era paperless (benar seperti itu nulisnya, kang?), tapi potensi pangsa pasar buku di indonesia masih terbuka lebar. Apalagi kesadaran membaca masyarakat kita semakin luas. Masyarakat tentu akan menghargai tinggi buku-buku yang menyehatkan jiwa. Maksudku, buku yang memotivasi kita untuk hidup lebih baik, mau berempati dengan sesama, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Buku tidak selalu berisi uraian ilmiah akademis teoritis tentang suatu hal. Buktinya, waktu aku pergi ke toko buku, yang ditawarkan di sana sangat beragam. Ada buku tentang aneka tip rumah tangga, buku harian tokoh tertentu, sampai nama-nama bagi bayi. Ada juga buku resep masakan, buku humor, juga novel dan cerita pendek. Bahkan aku pernah melihat buku yang isinya postingan dari suatu blog seseorang. Nah, dalam bayanganku, jika pengalaman berwisata para kompasianer itu dikompilasikan, tentu akan lahir buku panduan berwisata seperti Lonely Planet. Cerita fiksi yang ditulis kompasianer bisa dikompilasi menjadi buku kumpulan cerita pendek atau cerita bersambung.

Tentu saja hal ini memerlukan proses, kang. Membuat draft buku tidak semudah membalik telapak tangan. Ujug-ujug dadi. Nggak mungkin itu. Tapi, menurutku bisa dimulai dari membuat tulisan-tulisan yang bernas. Ah, tentu teman-teman kompasianer paham maksud tulisan yang bernas itu. Selanjutnya, bila draft buku dinilai cukup layak, kita tawarkan ke penerbit. Bukankah sekarang banyak penerbit baru yang muncul? Mereka tentu mem-butuhkan naskah buku sebanyak mungkin. Nah, bekerja sama dengan penerbit me-mungkinkan kita menyebarluaskan ide-ide brilian tadi ke seluruh nusantara. Semakin banyak orang Indonesia yang tercerahkan ber-kat buku kita, semakin besar nilai diri kita di hadapan Allah swt. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling besar manfaatnya bagi sesama, kang?