Luminesca by Asr - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

IV – Tombak Api

 

Musim beku melanda wilayah kerajaan Luminesca. Langit menggelap, ladang berhenti bertumbuh, dan serangan iblis meningkat drastis di Aphra. Tiap malam adalah ancaman, sementara Eric atau seorang pun saudaranya tak lagi berburu iblis.

Ya, saat ini Eric harus memulai perjalanannya. Dia dan saudara-saudaranya telah mempersiapkan segalanya. Mereka jelas tak bisa memikirkan hal selain misi penting ini.

Sheraga memulai diskusi. Dia merentangkan denah istana yang didapatnya dengan usaha keras. “Kita tidak perlu melewati menara pengawas jika dapat menggali tepat ke saluran rahasia yang menuju ruang bawah tanah,” paparnya seraya menunjuk bagian-bagian di dalam denah. “Aku bisa saja meledakkan tanah, tapi semua itu dapat memancing perhatian.”

“Ssh, apa itu saja yang kamu dapat dari Lady Clythia?” tanya Feorynch sinis. “Kulihat denah itu mencurigakan, tidak terlihat seperti bagian dalam istana, ssh.”

Dionde yang menjawab, “Ya. Itu memang denah lama, dan kemungkinan letak-letak beberapa bangunan telah diubah, tapi penempatan bagian vital seperti balairung, gudang, dan area prajurit tetap sama. Dan kami, bahkan sampai terpaksa mencuri denah itu. Karena baru menyadari kehadiran kami, guruku langsung menutup jalan masuk.”

“Dan ini baru bagian pertama dari alur rantai kesialan,” imbuh Sheraga serius. “Sekarang, apa ada di antara kalian yang memiliki solusi untuk masalah misi penyusupan ini? Yang kutahu, Tombak Api berada di suatu bagian di balairung. Balairung istana sendiri adalah tempat yang paling rapat penjagaannya.” Dia menatap Eric, Dionde, dan Feorynch bergantian, mencari tanda-tanda kesangsian yang tak segera ditemukannya di dalam mata mereka.

Feorynch mencibir, “Ssh, sepertinya kalian takkan pernah bisa memperhitungkan peranku. Apa kalian tidak ingat aku menguasai sihir pengendalian waktu, ssh? Ya, ya, kalian tak perlu bertindak bodoh dengan meledakkan bukit!” Sheraga melotot. “Aku sangat stres dan tidak ingin bergurau saat ini,” desisnya. “Jangan memperkeruh suasana! Mana ada sihir yang seperti itu!” imbuhnya keras-keras.

“Ssh, jadi kamu pikir aku bercanda?” tantang Feorynch. “Ssh, aku akan—“

Dia baru melayangkan tangannya, ketika Eric melerai. “Sudah, Feorynch benar. Aku pernah melihat sihirnya dari jauh, saat berburu iblis. Dia memang dapat menghentikan waktu, bahkan pada burung yang berada di udara.”

Feorynch menatap Sheraga dengan ekspresi puas. Sementara Sheraga menyugari rambutnya ke belakang, seperti putus asa. “Baiklah, baiklah!” rajuknya. “Kuikuti apa pun rencanamu. Sekarang katakan, bagaimana sihirmu itu bekerja? Apa kamu mampu membekukan seisi istana beserta benteng pelindungnya sekaligus?”

“Ssh, tentu saja,” jawab Feorynch sentimen. “Tapi mungkin tidak benar-benar seluruhnya. Kira-kira, ssh, sekitar delapan dari sepuluh yang dapat dipengaruhi oleh sihirku.”

“Menurutku itu lebih dari cukup,” tanggap Dionde. “Dan karena denah istana telah kita dapatkan, aksesnya akan menjadi semakin mudah. Ada dua jalan cepat menuju balairung, sebaiknya kita berpencar menjadi dua tim— mencegah kalau-kalau terjadi sesuatu di luar dugaan. Aku bersama Sheraga dan kalian ke sana berdua,” katanya pada Eric dan Feorynch.

“Ssh, sebaiknya kita berangkat malam ini juga,” usul Feorynch. “Kudengar, prajurit yang menjaga istana agak dilonggarkan. Ssh, ya, ya, kebakaran membuat semua orang di Vranwynn bekerja keras demi memulihkan keadaan. Masih banyak kerusakan di kota dan itu kesempatan yang bagus, ssh.”

Tiba-tiba Sheraga tersentak, lalu bertanya pada Feorynch, “Omong-omong, dari mana kamu mempelajari sihir itu?” Dia menatap Feorynch dengan aneh.

Feorynch balas memandang Sheraga sengit. “Ssh, aku menghabiskan waktu luangku untuk itu, dan bukan semacam dirimu yang hanya bisa merusak rumah!”

Sheraga terdiam, jelas menyesal telah bertanya.

“Ssh, kita akan menjadi orang jelata pertama yang berhasil menembus istana itu,” kata Feorynch. “Ya, ya, aku amat yakin.”

*

Tengah malam itu juga, keempatnya berkumpul di sebuah lahan kosong dekat istana kerajaan Luminesca. Istana itu sendiri terletak di atas sebuah bukit, pepohonan dan pelataran membatasinya dengan pemukiman penduduk, serta dibentengi oleh empat lapis tembok tebal yang di masing-masing bagiannya terdapat menara jaga. Raja Regulus beserta keluarganya serta para bangsawan mayor tinggal di balik dinding-dinding itu.

Sekarang, Eric baru merasa gelisah. Dia cuma seorang pemburu muda, sedangkan apa yang mesti dihadapinya adalah sepasukan orang-orang terlatih. Keraguan demi keraguan berlomba-lomba menyusupi benaknya, tapi Eric terus bertahan. Dia menguatkan diri sebisa mungkin.

“Panjat bukit bersama-sama, setelah itu barulah berpencar,” Sheraga mengomando. Dia memimpin yang lain menuju bagian bukit yang agak lengang dari pengawasan. Dengan pakaian serba gelap dan kabut tebal yang menggantung, rupanya memicu keberuntungan agar berpihak pada mereka. Belum ada tanda-tanda akan datangnya ancaman.

Selewat beberapa waktu, semuanya berhasil sampai di puncak bukit. Sekarang mereka berada sangat dekat dengan pintu masuk utama, dan tengah bersembunyi di balik patung Dewa raksasa dari perunggu.

Feorynch yang langsung memahami situasi menarik napas dalam-dalam, kemudian merapalkan mantra panjang. Begitu selesai berucap, seluruh yang ada di sekitar Eric seolah membeku. Para prajurit yang menjaga terlihat bagai patung lilin yang terlampau persis. Tak ada pergerakan sama sekali, termasuk lentera api di dekatnya yang seharusnya bergolak. Kecuali Eric dan yang lainnya.

Eric terkesan. Baru teringat bagaimana rekannya yang satu itu, terlepas pada sifat dan penampilannya yang sangat tidak umum, nyatanya begitu luar biasa. Dionde juga sama kagumnya. Sedangkan Sheraga jelas sedang berusaha mati-matian menyembunyikan keheranannya. Ketiganya sampai tidak bisa berkata-kata.

“Ssh, lekas-lekaslah bergerak. Aku tidak bisa menahannya sepanjang hari!” desak Feorynch.

Sontak, mereka semua berpencar sesuai kesepakatan awal; Sheraga dengan Dionde dan Eric bersama Feorynch. Mereka memasuki gerbang utama dan berpisah. Eric dan Feorynch menuju ke istana bagian barat, melewati taman istana dan kompleks air mancur. Orang-orang berpakaian mahal yang mematung memenuhi sepanjang jalan mereka.

Feorynch berjalan lebih dulu. Kedua matanya terus mengawasi, dengan tangannya mengacungkan tongkat sihir yang berpendar. Eric sendiri memegang busurnya erat-erat. Tak sampai lama, keduanya tiba di koridor yang tepat menghubungkan dengan balairung. Sheraga dan Dionde muncul tak lama berselang.

“Sejauh ini semua aman,” simpul Sheraga. “Tapi kita harus tetap waspada. Siapkan senjata masing-masing bila perlu.” Lalu dia mencabut belati kristalnya.

Kemudian, mereka berjalan beriringan ke arah balairung. Di sepanjang jalan, para prajurit yang membeku terlihat amat menyudutkan. Tungkai kaki Eric bergetar, rasanya lebih menakutkan daripada menghadapi iblis terkuat sekalipun. Mata-mata para prajurit itu seakan terus mengiringi langkahnya.

Hanya perlu sedikit usaha untuk membuka pintu balairung. Feorynch lagi-lagi ambil andil. Di dalam, Eric sama sekali tidak dapat mengangumi keindahan, yang seharusnya sangat mengesankan apabila dia datang dengan maksud yang berbeda. Ruangan luas dan serba mengilap itu dipenuhi prajurit, yang walaupun membatu seolah-olah menekankan padanya dan yang lain untuk pergi.

Eric pun semakin cemas ketika dilihatnya tidak ada ruangan lagi yang terhubung dengan balairung. Sheraga jelas salah.

“Di mana Tombak Apinya?” Eric akhirnya angkat bicara.

Tidak ada yang menjawab, karena ternyata seseorang tanpa disadari turut masuk ke balairung. Pandangan semua orang terkunci ke arahnya.

Orang itu mengenakan zirah perak yang amat tebal, dengan helm menutupi seluruh wajahnya. Dari motif rumit yang terukir pada zirahnya, jelas dia bukan prajurit sembarangan.

“Aku tidak menyangka empat orang pemuda seperti kalian dapat melakukan hal se– besar ini, sesuatu yang tak bisa kutangani,” Sosok itu bicara. Suaranya sangat dalam dan mendirikan bulu roma. “Kalian pasti para pemuda yang sangat tangguh. Aku Alberdeith, kesatria agung Luminesca. Adalah suatu kehormatan bagi seseorang jika terbunuh langsung di tanganku. Dan kalian akan mendapatkan kehormatan tersebut dengan segera!”

Tanpa peringatan, Alberdeith melesat maju menuju Sheraga. Secara refleks, Sheraga meraih botol-botol kecil dari sakunya lalu melemparkan semuanya sekaligus ke depan. Membuat sang kesatria terhalang dinding es.

“Eric, Feorynch, kalian carilah Tombak Api!” seru Sheraga panik seraya mengambil lagi beberapa tabung. Dia baru selesai memerintah, dan secepat itulah Alberdeith berhasil menghancurkan dinding es ciptaannya.

“Ssh, furia flaraca!” Feorynch melontarkan sihir api, yang justru memancing sang kesatria untuk menyerangnya.

Feorynch kembali melancarkan serangan, “Stalpa! Stalpa! Stalpa!” teriaknya kewalahan. Puluhan pilar es bertubi-tubi menyeruak dari dalam lantai balairung, memaksa Alberdeith—bahkan Sheraga dan Dionde—untuk berkelit. Dan kesatria itu terus saja dapat memperpendek jarak dengannya.

“Ssh, temukan Tombak Api itu, Eric!” perintahnya tanpa berhenti mengayunkan tongkat sihirnya. “Aku bisa merasakan benda itu ada di ruangan ini, ya, ya.”

“Tapi, di mana?” tanya Eric panik. “Aku tidak melihat apa-apa selain—“

Ucapannya terhenti. Akhirnya Eric bisa melihatnya. Tepat di belakang singgasana raja, di dalam sebentuk ceruk besar, berdiri sebuah patung emas bersayap setinggi satu setengah kali orang dewasa. Pada tangannya terdapat sebuah tombak yang memancarkan cahaya, seperti api yang bergejolak.

Eric tersenyum, itulah Tombak Api. Sesuatu dari dalam senjata tersebut seakan terus memanggil dirinya. Dan anehnya lagi, api yang menyelimuti benda itu bergolak— tidak terpengaruh sihir Feorynch.

Eric baru berniat lari ke sana, namun Alberdeith tahu-tahu mencegatnya. “Percuma saja, kalian takkan bisa mencabut benda itu dari tempatnya.” Lantas dia mengangkat pedangnya, bermaksud menebas Eric dari atas.

“Ssh, opri geste!”

Di waktu yang tepat, Feorynch membekukan sang kesatria seutuhnya. Hingga pria itu menjatuhkan pedangnya. Akan tetapi sebagai akibatnya, seluruh prajurit yang berada di balairung mulai bergerak, tak lama kemudian memusatkan perhatian pada Eric dan rekan-rekannya. Waktu telah mengalir sebagaimana mestinya.

“Penyusup!” Salah seorang dari mereka menyergah.

“Eric, ambil Tombak Api-nya! Kami yang akan mengatasi mereka!” seru Sheraga. Dia pun melempar bola- bola alkimia ke segala arah, mengakibatkan ledakan berturut-turut, sementara Feorynch dan Dionde menyerang dengan sihir.

Tergesa-gesa, Eric berlari semampu kakinya. Dengan cepat, dia sudah berdiri di depan ceruk. Namun mendadak Eric bimbang. Dia memandangi Tombak Api yang menyala- nyala selama beberapa saat, ragu atas apa yang akan dilakukannya. Apa aku mampu memindahkannya?

Dia menoleh ke arah rekan-rekannya, yang menghadapi sekitar tiga puluhan prajurit. Mereka sedang sangat terdesak, terlebih Feorynch. Sahabat sekaligus saudaranya itu amat lelah, Eric yakin sekali. Penggunaan sihir sehebat itu pasti memiliki dampak yang tidak sepele.

“Ssh, apa yang kamu tunggu?” tanya Feorynch tidak sabar. “Cepat angkat Tombak Api itu, ya, ya!”

Eric tersadar, lebih baik mencoba daripada berdiam diri saja. Dengan agak ragu, dia menyentuhkan jemarinya pada permukaan Tombak Api, dan setelah yakin benar barulah dia berani merenggutnya dari cengkeraman patung.

“Aku berhasil!” kata Eric kegirangan. Dia mengacungkan Tombak Api, yang seketika agak meredup ketika disentuh. Bilahnya terbuat dari tulang yang membara, sementara ujungnya terlihat seperti taring yang menyala kemerahan. Tinggi benda itu sedikit melebihi tinggi badan Eric, namun tidak seberat perkiraannya. Baginya seperti memegang sebuah galah saja.

“Jangan biarkan mereka keluar hidup-hidup!” Salah seorang prajurit memberi instruksi.

“Bagus, sekarang bagaimana caranya kita keluar?” Sheraga mengedarkan pandangan berkeliling. Para penjaga istana kian gencar menyudutkannya, ditambah lebih banyak prajurit dari luar balairung yang turut menyerbu ke dalam. Dari raut mukanya, Eric tahu persediaan alkimia Sheraga telah menipis.

Eric, Sheraga dan Dionde melayangkan pandangan pada Feorynch, tapi Feorynch menggeleng lemah. Kelihatannya dia takkan bertahan sadar lebih lama lagi. Eric segera memapahnya.

“Kita jangan hanya bergantung padanya,” ujar Dionde, sembari terus meladeni para prajurit. “Dia sudah terlalu banyak berperan. Kini kita yang harus menghadapi masalah ini dengan segala upaya. Yang terpenting, terlebih dahulu kita harus keluar dari balairung ini!”

Lantas dia menoleh pada Eric. “Aku dan kamu yang akan membuat jalan, agar Sheraga dan Feorynch keluar lebih dulu.” Dan sebelum Sheraga sempat protes, dia mengimbuhkan, “Kami takkan apa-apa, percayalah.”

Sheraga mengangguk, walau Eric dapat melihat ketidaktulusan di matanya. Dia pun mendekati Eric, dan ganti memapah Feorynch, yang keadaannya kian memburuk. Eric menoleh ke depan, ke arah para penjaga, dan menelan ludah. Jika mereka gagal sampai di sini, itu akan menjadi penyesalan yang tak berujung. Atau sekalipun mereka berhasil lolos, keempatnya tetap akan dihantui cap buruk dan takkan diterima di mana-mana. Semua dilakukan semata-mata demi menyelamatkan Elisca.

Semakin memikirkannya, Eric jadi memaklumi perkataan Sheraga sebelumnya. Lama-kelamaan dia sendiri merasa cemas. Namun apa boleh buat, keputusan telah dijatuhkan. Mereka jelas tidak bisa mundur sama sekali.