Eric menggosok-gosok matanya. Cahaya mentari yang menyusup masuk melalui celah atap losmen memaksanya bangun. Begitu bangkit dari tempat tidur, dilihatnya Feorynch tengah duduk di atas kursi sembari menyilangkan tangannya.
“Ssh, kita harus mencari informasi mengenai naga itu,” kata Feorynch. “Sheraga orang yang bodoh, ssh. Ya, ya, dia tidak tahu keberadaan pasti dari makhluk itu.”
“Tapi, pada siapa?”
Feorynch tersenyum. “Ssh, tentu saja pada siapa saja yang berkenan. Dan sebaiknya jangan membawa atau menyinggung apa pun mengenai Tombak Api, ya, ya.”
Mereka lekas-lekas keluar dari losmen reyot itu. Feorynch segera merapatkan tudungnya agar tidak ada yang melompat takut melihat rupa wajahnya, seperti yang sering terjadi sebelum-sebelumnya.
Dari segi penampilan, rumah-rumah di Avratika tidak jauh berbeda dari Luminesca. Bahkan, di sini mata pencaharian dan ciri fisik penduduknya hampir sama. Bedanya di Avratika, Eric bertemu dengan satu jenis bangsa saja, yaitu Manusia. Kurcaci, Raksasa dan terutama Elf dilarang tinggal. Dan di sini orang-orang memakai sejenis binatang buas sebagai penarik pedati.
Tapi Eric dan Feorynch tidak sempat untuk mencari- cari keunikan lainnya. Sepanjang hari, mereka terus bertanya pada banyak orang mengenai Naga Logam—Svana Draga dalam bahasa Avratika—mulai dari penjaga kota hingga para pemburu dan pedagang yang melintas. Untunglah Eric sedikit memahami bahasa Avratika. Pun jika dia kesulitan, Feorynch yang lebih fasih akan mengambil giliran bertanya.
Hari menjelang malam tatkala mereka memutuskan untuk berhenti mencari informasi. Mereka belum mendapat apa saja yang berarti kecuali fakta bahwa tidak banyak orang Avratika yang tahu atau pun pernah mendengar tentang sang Naga Logam.
Sebelum kembali ke losmen, Eric memilih untuk singgah di sebuah kedai minum. Bau-bauan aneh menyeruak ketika pintu kedai membuka. Musim beku begini, lebih banyak orang yang pergi ke tempat semacam ini. Eric dan Feorynch sampai kesulitan menemukan tempat. Mereka baru mendapat meja di pojok ruangan setelah menunggu agak lama.
Eric memesan segelas vodka, sedang Feorynch tidak menitip apa-apa. Feorynch memang tidak pernah menyukai minuman keras apa pun jenisnya, yang katanya dapat menurunkan kemampuan sihirnya.
“Ssh, pemendek umur,” cibir Feorynch melihat gelas-gelas berdatangan. Dan entah sudah berapa kali dua kata itu terlontar dari bibirnya.
Tapi Eric bahkan belum menenggak minumannya, karena seketika seorang wanita berambut semerah api masuk ke dalam kedai. Dia cantik dan berpenampilan mencolok, mengenakan pakaian tipis di antara penduduk lainnya yang memakai mantel tebal. Bukannya Eric terkagum atau bagaimana pada orang itu. Namun kehadirannya betul-betul memancing kebisingan. Nyaris semua orang di dalam kedai itu membicarakan tentang dirinya.
“Aku pesan susu,” Wanita itu berkata. Dan bukannya mencemooh karena permintaan yang tidak lazim itu, wanita gemuk di balik rak minuman langsung manggut-manggut gugup, lalu menyiapkan pesanan.
Lantas, wanita itu mencari tempat duduk. Tiba-tiba, dia terdiam ketika pandangan mata birunya jatuh pada Eric.
“Erlacius,” sebut wanita itu. “Erlacius Chambrelynn.”
“Hah?!” Eric terheran-heran. Baru kali ini dia dipanggil dengan nama yang sama sekali asing di telinganya.
Wanita itu tertawa kecil. “Ya, aku memanggilmu,” ujarnya seraya menarik bangku untuknya duduk. Dia bicara dalam bahasa Luminesca yang baku. “Aku Alezandeia. Sebagai walikota Althenna, aku mengenal—“
“Apa? Apa yang kamu tahu?” cecar Eric penasaran.
Alezandeia menggeleng. Dia memegangi kepalanya. “Tidak, bukan apa-apa. Sepertinya aku bicara terlalu jauh di sini,” balasnya cepat. “Tapi, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Apa yang kamu harapkan dengan berpindah sampai sejauh ini?”
“Aku ingin menemukan tempat di mana Naga Logam bersarang,” jawab Eric kaku. “Jika kamu tahu sesuatu, maka dengan sangat mohon katakan.”
Saat itulah, pesanan Alezandeia datang—segelas susu panas. Secepat kilat, wanita itu menyabetnya dari nampan.
“Oh, jadi begitu...” Dia tertawa sedikit, namun sinis. “Makhluk meresahkan itu, apa kamu mau mencari mati dengan datang ke tempatnya?”
Eric mengangguk mantap. “Ya! Naga Logam telah menculik adikku. Apa pun risikonya, aku harus tetap membawa adikku kembali.”
“Mengagumkan,” komentar Alezandeia, lalu menyesap gelasnya sekali. “Namun sebelum kamu bertaruh dengan bekal semangatmu yang berapi-api itu, kamu harus mengetahui satu hal. Kamu hanya bisa memasuki sarang Naga Logam jika kamu mengenakan jubah Burung Api. Kalahkan makhluk itu sebelum menghadapi Naga Logam, kumpulkan bulu-bulunya untuk dibentuk menjadi baju pelindung.”
“Baiklah,” timpal Eric. “Tunjukkan di mana letak Burung Api itu.”
“Bagus,” Alezandeia menjilat bibir. “Jika kamu berhasil menewaskan Burung Api, maka aku akan memperlihatkan jalan menuju Naga Logam. Kamu bisa berjalan kaki dan tiba di sarang Burung Api dalam waktu tiga hari.”
*
Pandangan Eric terus tertuju pada gunung api yang menyala merah dari kejauhan. Berbeda dari gunung lainnya yang tertutup salju, gunung itu terlihat cadas dan panas. Langit di sekitarnya amat gelap, dengan kabut hitam dan awan yang tak hentinya mengeluarkan kilat. Sekilas, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Di sanalah Burung Api berdiam.
“Kalau ujian pertamanya saja begini, bagaimana kita menghadapi naga itu?” keluh Sheraga, yang tampaknya mewakili perasaan semua orang termasuk Eric.
“Ssh, kalian melupakan apa yang telah kulakukan terhadap Luminesca,” tangkis Feorynch. “Ya, ya, aku sama sekali tidak takut pada Naga Logam, apalagi Burung Api. Ssh, aku bisa membekukan Burung Api kalau perlu!”
Sheraga memicingkan matanya. “Jangan berkoar terus, kita memerlukan sihirmu dan bukannya janji-janji.”
Tanpa membuang waktu lagi, mereka bergegas lebih cepat ke gunung berapi tersebut. Sebagai para pemburu iblis, mereka terbiasa menghadapi berbagai rintangan dan medan berbahaya tempat keberadaan monster kelas atas. Jadi mendaki gunung bukanlah sebuah masalah serius. Dalam waktu beberapa jam saja, semuanya selamat sampai ke gua utama di dalam gunung api.
Sheraga yang pertama kali berekspresi. Mata kelabunya membeliak. “Kalian merasakan apa yang kurasakan?”
Sontak Eric, Feorynch dan Dionde mengikuti arah pandang Sheraga. Semuanya terkejut saat sosok sesuatu menyeruak dari dalam kolam magma di bawah mereka. Tingginya sekitar lima meter, seluruh tubuh makhluk itu terbuat dari api yang berkobar-kobar. Ekornya terdiri dari tiga bulu panjang, seperti cambuk. Sepasang mata merahnya menyala bak sebongkah batu rubi. Burung Api melesat dan berputar-putar di langit-langit gua. Dia mengoak keras, mengakibatkan dinding batu berguncang.
“Jadi, ini yang mereka namakan ujian pertama?” Sheraga menggigit bibirnya yang bergetar. Saking takutnya, tidak ada yang peduli pada kenyataan bahwa tempat ini amat panas.
“Ssh, jangan takut!” Feorynch menenangkan, seraya mencabut tongkat sihirnya lalu mengayunkannya di udara. “Cadea neve!”
Tidak terjadi apa-apa. Sinar dari ujung tongkat pun tidak terbit. Kedua tangan Feorynch terkulai. “Ssh, ini tidak mungkin! Katakan semua ini cuma mimpi!”
“Sepertinya sihir tidak bekerja di tempat ini,” Dionde menyimpulkan. “Dengan kata lain, kita hanya bisa menaklukan Burung Api dengan pertempuran fisik. Tanpa kemampuan sihir aku dan Feorynch takkan dapat berbuat banyak. Harapan ada padamu dan Eric.”
Setelah dipuji Dionde, tampaknya Sheraga berubah total. Dia membusungkan dada dan memasang seringai. “Baiklah, Manis. Semoga saja hal yang sama tidak berlaku bagi alkimia. Dan sebaiknya, kamu bersembunyi di tempat yang aman dan lindungi bocah ular ingusan itu.” Dia berpaling pada Eric, “Ayo Eric, mari kita tuntaskan! Kamu yang jadi umpan!”
“Apa? Aku?”
“Jalan!”
Eric bersungut-sungut, tapi dia mau saja menarik sebatang panah dan menembakkannya ke sayap Burung Api. Anak panah itu terlahap begitu saja oleh sayap api yang membara, namun demikian cukup untuk memancing perhatian Burung Api pada Eric. Sekarang makhluk itu mengejarnya. Eric mati-matian berlindung dari semburan api serta cambukan ekornya.
“Bagus, Eric! Biarkan dia memunggungiku!” Sheraga mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jubahnya, dan melemparkannya ke kepala belakang Burung Api. Selama di kota, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan membuat ramuan alkimia baru.
“Rasakan ini, makhluk keparat!”
Tapi tidak sesuai dugaan, selaput es yang diciptakan Sheraga langsung mencair tak sampai beberapa detik. Dan otomatis, Burung Api berubah haluan. Dia mengejar Sheraga, lebih geram daripada sebelumnya.
“Eric, sekarang dia mengejarku! Lakukan sesuatu atau jangan pernah datang ke pemakamanku!”
Eric kesal sekaligus cemas di saat yang bersamaan. Dia mengambil beberapa anak panah sekaligus dan melontarkannya pada Burung Api, berharap salah satunya akan berhasil melukai mahluk itu. Menandakan titik lemahnya. Akan tetapi berkali-kali memanah, tak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan. Makhluk itu pun masih mengejar Sheraga.
Sementara itu, tanah yang dipijak Sheraga mendadak melungsur ke bawah. Pria itu terjatuh, di bawahnya adalah kolam magma dan hanya satu tangannya yang berpegangan pada batuan keras.
“Sheraga bertahanlah!” jerit Eric.
Dengan perasaan campur aduk, dia mengarahkan busurnya yang berisi tiga anak panah ke tengkuk belakang Burung Api, berharap makhluk itu memusatkan perhatian padanya. Dan, usahanya berhasil. Burung Api berbalik dan terbang hendak menerkam Eric.
“Eric, panah kedua matanya!” perintah Dionde. Suaranya menggema pada seisi gua, namun keberadaannya tak tampak. “Aku bisa lihat itulah kelemahannya!”
Eric mengiyakan dalam hati. Tangannya gemetar ketika menarik tali busur. Burung Api telah terbang setengah jalan ke arahnya.
“Demi Elisca!” pekik Eric sekerasnya, untuk menghilangkan kecanggungannya. Sekarang, Burung Api hanya berjarak lima meter darinya. Setengah terpejam, Eric pun melepaskan anak-anak panahnya. Terdengar debuman keras tak lama setelah itu.
“Eric, kamu berhasil!” seru Dionde.
Eric membuka mata lebar-lebar. Di depannya, Burung Api tergolek tak bergerak. Kedua matanya tertancap panah dan mengeluarkan darah sebening kristal. Tak sampai di sana, tubuhnya yang terbuat dari api sekejap berubah menjadi keemasan dan tidak panas.
Tapi yang pertama dalam pikiran Eric adalah Sheraga. Dia baru hendak menolong, saat Dionde muncul bersama Sheraga dan Feorynch.
“Ssh, kita berhasil!” Feorynch kegirangan. “Sudah kubilang, semua akan mudah jika kita yakin, ya, ya.”
Lalu, Eric melihat Sheraga diam-diam menghampiri jasad Burung Api. Matanya berbinar-binar. Eric mendengus maklum.
“Menakjubkan!” kata Sheraga berseri-seri. “Barangkali dengan ini kita bisa membeli sebuah pulau pribadi.”
Tapi Eric merusak kegembiraannya, “Semua ini hanya langkah awal menuju Naga Logam. Bawa saja bulu- bulu itu secukupnya untuk dijadikan jubah. Tak ada dalam pikiranku sama sekali selain Elisca.”
Air muka Sheraga masam. “Aku hampir lupa kenyataan bahwa aku lahir lima tahun lebih dulu darimu.”