Ini adalah pertama kalinya dalam hidup Eric, di mana dirinya dihantui penyesalan yang teramat dalam. Rasa sakit menyeruak memenuhi dadanya, menyiksanya sedemikian rupa. Dia tidak begitu paham mengenai pilihan yang telah diambilnya, hanya beberapa waktu berselang. Aku mencoba bunuh diri!
Dia merasa benar-benar bodoh. Padahal barangkali, dia punya sejuta kemungkinan. Misalnya dengan memanah salah satu prajurit itu, kemudian berlari dan terus memperlebar jarak. Eric jelas lebih berpengalaman dalam mengenali seluk-beluk hutan, dan pernah mengalahkan Burung Api.
Tapi, Eric sama sekali tidak melakukannya. Berpikiran untuk mencobanya pun tidak.
Yang lebih parah, dia bahkan tidak ingat pada rekan- rekan sekaligus para saudaranya. Tak ingat bagaimana mereka telah berkorban banyak sampai sejauh ini. Bahkan, tidak memikirkan Elisca.
Pun Feorynch, Sheraga dan Dionde pada akhirnya berhasil menemukan Elisca, toh mereka semua akan sekali lagi merasa kehilangan. Kehilangan atas dirinya.
Tidak, Eric menggeleng. Malah, mereka takkan bisa mengembalikan Elisca ataupun berhadapan dengan Metta Dracunis. Tombak Api ada bersama Eric, terbungkus erat di belakangnya. Dan akan hilang bersama-sama dengan dirinya. Sia-sialah semua usaha.
Jurang itu tampaknya begitu dalam, dan gelap. Semakin Eric ke bawah, rasanya kian kuat bumi menariknya. Dia hampir tidak melihat apa-apa. Dan terbersit dalam benaknya, bisa jadi kehidupan telah meninggalkannya.
Tapi kemudian dia merasakan kehangatan merambati punggungnya. Mematahkan prasangkanya. Sebisa mungkin Eric menoleh ke belakang, dan dilihatnya kain yang menutupi Tombak Api telah lenyap. Apakah ini sebuah pertanda atau bukan, Eric terlonjak gembira. Tentu saja!
Sontak, Eric menarik Tombak Api. Dengan sedikit harapan—dan juga keputusasaan—dia membisikkan sesuatu. Eric hanya ingin lolos dari situasi semacam ini.
Tombak Api bereaksi. Nyala pada bilahnya menjadi semakin terang, hingga mem-butakan pandangan Eric untuk sesaat. Tatkala sinarnya meredup, Eric sadar dia tak lagi meluncur jatuh. Mendadak kedua tangannya sakit, dan kakinya belum menapak tanah.
Cahaya dari Tombak Api lebih dari cukup untuk memberitahu faktanya. Rupanya Eric hanya tergantung. Masing-masing ujung Tombak Api menancap pada dua sisi tebing, menahannya. Eric tertegun saat menatap ke bawah, sungai yang mengeras menyambut tak sampai lima meter. Jantungnya berdentam keras. Andai dua tangannya tidak berpegangan erat pada Tombak Api, mungkin akan terbentuk kolam darah di atas lapisan sungai es itu.
Eric bergeser ke sisi kanan, kemudian melompat turun. Ketinggian lima meter tidaklah cukup untuk melukai kakinya, dia memijak tanah dengan selamat. Tombak Api pun kembali seperti ukuran semula, dan jatuh tepat di hadapan Eric.
Eric mengerling ke atas, lalu terkejut tatkala tiba-tiba terdengar suara gedebuk keras di sekitarnya, disusul kertakan yang memekakkan telinga. Bukan sekali saja, melainkan berkali-kali. Dia mengawasi apa yang menimbulkan suara-suara itu, dan merinding. Darah dan serpihan tajam es berhamburan ke mana-mana. Tampaknya para prajurit Luminesca dijatuhkan dari atas jurang. Alberdeith tidak terkecuali.
“Eric!” pekik sebuah suara, Sheraga.
Eric mendongak. Sheraga datang dengan kuda terbang, dia memegang lentera. Di belakangnya, Dionde yang bersama Feorynch menyusul.
Feorynch turun dari kuda dan langsung mendekati Eric. “Ssh, kamu baik-baik saja?”
“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Eric sekenanya. “A- Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Tombak Api menyelamatkan nyawaku.”
Feorynch mengamati sekitar. “Ssh, astaga! Siapa yang melakukan semua ini?” Sama seperti Eric, dia juga ketakutan. Mayat para prajurit Luminesca bergelimpangan mengelilingi mereka.
“Kukira kamu yang menyihir mereka,” Eric bergidik. “Memangnya kamu tidak melihatku?”
Feorynch menggeleng. “Ssh, aku bersama Dionde.”
“Tapi, bagaimana caranya kalian tahu aku di sini?”
“Kami mengikuti arah datangnya sinar,” sahut
Dionde. “Aku berpikir, kamu sedang mengirim tanda.”
Sheraga menghampiri mereka. “Omong-omong, lebih baik kita keluar dari hutan ini secepatnya. Aku mendapat firasat tidak enak,” katanya dengan suara bergetar aneh.
Mereka pun bergegas, memacu paksa kuda-kuda untuk terus bergerak. Berkali-kali mereka berpapasan dengan Svizari, tapi Feorynch dengan mudah mengatasi semuanya.
Berikutnya, seusai memaksakan diri selama berjam- jam, mereka melintasi perbukitan rendah. Salju turun lebih lebat dan pepohonan menjadi semakin jarang. Sinar matahari yang hangat mengintip dari sisi bukit, hari telah beranjak siang. Menemukan gua yang dirasa tepat dan aman, Dionde menyuruh mereka beristirahat di situ. Dia menjamin kali ini mereka takkan bisa terkejar lagi.
Eric memaksakan dirinya untuk tidur, namun dia tak mampu. Bayangan akan para prajurit Luminesca yang tewas secara misterius masih menghantui benaknya.
Secara tidak langsung, kematian mereka merupakan kesalahannya. Andai dia tidak terlalu terburu-buru dan berambisi menemukan Elisca sehingga mengharuskannya mencuri Tombak Api, mungkin peristiwa itu bisa dihindari. Prajurit-prajurit itu dapat terus melindungi Luminesca beserta pemimpinnya, dan bukannya berusaha menangkap penjahat yang telah merenggut artefak penting kerajaan mereka. Yang malah mengantarkan pada kematian.
Eric kian kalut memikirkannya, jadi dia memutuskan untuk melupakannya saja. Sekarang, tidak ada waktu baginya untuk menyesal. Semua sudah terlanjur terjadi. Dia lantas memperhatikan api unggun. Lama menekuri kobaran api, Eric pun terlelap.