“Empat hari lagi, dan kita akan sampai di Lembah Valatia!” Dionde berseru.
Dia menyeka dahinya. Selama terbang, perhatiannya tak pernah lepas dari peta. Dari ketinggian di mana Eric dan yang lainnya berada saat ini, terlihatlah sebuah kota kecil di antara kepungan hutan. Besarnya kira-kira sama dengan Aphra.
Sheraga menyentak tali kekang, memerintahkan kudanya mendahului Dionde. Dia memberi tanda pada Dionde untuk mengikuti.
Eric menanyainya, “Apa yang mau kita lakukan di kota itu? Kita punya segala hal yang diperlukan.”
“Memang benar,” Sheraga mengangguk mengiyakan. “Tapi ingat ini, Naga Logam bisa merasakan siapa saja yang mendekat. Kita mungkin sudah memiliki jubah Burung Api yang dapat mengelabui, namun tidak dengan kuda. Lagipula, ini adalah kota terakhir yang kita temui. Aku tidak ingin kuda terbang ini lenyap jika kubiarkan lepas begitu saja.”
Eric mengangguk satu kali. Perencanaan Sheraga nyaris selalu tepat dan tidak pernah bisa dibantah. Untuk kesekian kalinya, Eric merasa bersyukur pria itu telah menjadi bagian dari keluarga kecilnya.
Mereka lantas mendarat. Sheraga bersama Dionde bergegas mencari tempat untuk menyimpan kuda. Cuaca di kota yang sepi ini tidak seekstrem di perbukitan, jadi Eric dan Feorynch menyempatkan diri untuk berkeliling sambil menunggu.
“Feorynch, aku mulai ragu atas diriku sendiri,” Eric membuka obrolan. “Bagaimana jika...” Dia menggantungkan kata-katanya dengan berat hati.
“Ssh, maksudmu gagal?” tebak Feorynch. “Ya.”
Feorynch memicingkan matanya yang dwiwarna. “Ssh, Eric, apa yang membuatmu menyimpulkan demikian?” imbuhnya.
“Aku telah melihat sendiri bagaimana Metta Dracunis menghancurkan Vranwynn,” Eric mengepalkan tangannya. “Dan beberapa waktu yang lalu, aku menghadapi para prajurit Luminesca yang tidak ada apa-apanya dibanding makhluk itu, tapi aku sangat takut.”
“Ssh, ketakutan itu wajar...”
“Tidak,” bantah Eric tenang. “Bahkan aku melompat ke dalam jurang itu tanpa pikir panjang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya seandainya saja Tombak Api tidak bersamaku.”
Feorynch tertawa. “Ssh, tapi nyatanya kamu memang selamat, kan?” tanyanya sambil menjajarkan langkahnya dengan Eric. “Barangkali, ssh, kemampuan kita semua tidak sebanding dengan apa yang akan kita hadapi. Tapi, unsur penentu kemenangan bukan hanya itu, kan? Ya, ya, kita bisa menyusun rencana dan sebagai Manusia, kita punya keberuntungan.”
Eric mengerjap. “Kamu benar,” tanggapnya. Baru kali ini Feorynch bisa benar-benar menghibur Eric, di tengah kepribadiannya yang janggal dan sulit digambarkan.
“Lagipula, ssh, kita punya tim yang sangat seimbang,” Feorynch menambahkan. “Aku bisa menyihir dan menahan, ya, ya. Lalu kamu akan jadi penyerang andal. Dan jika salah seorang dari kita terluka, ssh, Dionde lebih dari ahli untuk menyembuhkannya.”
“Sheraga?”
Feorynch sontak memasang mimik tidak senang. “Ssh, orang yang tidak berguna. Dia cuma mempersulit kita sepanjang jalan, ya, ya.”
“Tapi, menurutku tidak begitu,” Eric berpendapat. “Maksudku, kalian berdua luar biasa jika bekerja sama.”
“Ssh, masa?” Feorynch memutar bola mata, tak acuh. “Itu gagasan yang mengerikan, ya, ya. Ssh, dan entah kenapa aku merasa ada yang aneh pada orang itu.”
“Aneh?”
Feorynch mengangguk. “Kamu ingat, ssh? Dia tidak pernah menyetujui apa pun yang kita lakukan. Selalu ada cara baginya untuk menolak, ya, ya. Aku hanya berpesan padamu, ssh, perhatikan terus gerak-geriknya.”
“Memangnya kenapa?” tanya Eric. “Menurutku dia orang yang baik.”
Feorynch mendengus. “Eric, kamu terlalu memercayai orang lain. Ssh, jangan sampai kelengahan membuatmu menyesal di kemudian hari.” Dia meneruskan dengan suara yang lebih serius, “Ssh, tapi jika kamu memang tidak sanggup melakukannya, maka aku yang akan berjaga-jaga untukmu. Andai dia membuat satu kesalahan, maka api dari tongkat sihirku yang akan langsung membakarnya, ya, ya.”
Nyaris dalam waktu singkat Sheraga dan Dionde menyusul mereka. Sheraga berkata, “Perjalanan seminggu lagi dengan berjalan kaki. Mulai dari sini, gunakan jubah Burung Api!”
Kemudian, mereka semua bersiap-siap. Selain mengenakan jubah Burung Api, Sheraga juga memerintahkan agar mereka membawa benda-benda yang penting saja, sehingga tidak terlalu membebani.
Bagi Eric, perjalanan lanjutan ini terasa amat berbeda. Dia terus memikirkan perkataan Feorynch. Eric sendiri tidak begitu saja memercayai sahabatnya itu, namun di sisi lain memang ada benarnya agar tetap selalu waspada, termasuk pada Sheraga sekalipun. Jadilah, dia cenderung mendekat pada Dionde.
“Dibanding semuanya, aku tidak begitu dekat pada Sheraga. Kulihat, kamu cukup akrab dengan dia...” Eric bercerita. Sementara Feorynch dan Sheraga tertidur pulas, Eric menceritakan apa yang ada di pikirannya. Termasuk yang dibicarakan Feorynch.
Dionde merespons, “Aku sendiri tidak begitu mengerti. Dia sangat mencintaiku, tapi dia sering kali sengaja menjauh di saat yang sama.” Dia tersenyum sayup. “Sebaiknya kamu tidak usah mencemaskan hal itu. Sheraga dan Feorynch selalu berbeda pendapat, bagiku tidak heran jika mereka saling menaruh pandangan buruk.”
Mendengar pernyataan Dionde, Eric mengurungkan niatnya untuk tahu lebih jauh. Dia memandang kosong ke angkasa, dan dalam hati berharap perjalanan melelahkan ini dapat segera berakhir.