Luminesca by Asr - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

XIV – Yang Tersisa

 

Eric memacu rusa-rusa—yang dipinjamkan padanya secara sukarela—dengan tergesa. Saking cepatnya, orang-orang yang berada di tengah jalan menyingkir mempersilakannya. Menyisakan jalur yang luas untuk dilalui. Sheraga yang masih belum mengerti atas keputusannya, merebahkan diri di bagian belakang kereta.

“Sepertinya aku takkan bisa mengerti jalan pikirmu,” cetusnya. “Baru beberapa saat yang lalu kamu berkata ingin meninggalkan masalah untuk ditangani kerajaan. Tapi pada akhirnya kamu melibatkan diri juga.”

“Aku pun belum paham,” sahut Eric. “Entah sejak kapan, selalu ada yang memberitahu langkah yang harus kutempuh.”

Eric menyentak tali kekang lebih sering. Sheraga terlonjak bangun dari tidurnya. “Aku bertanya-tanya, apa menurutmu ucapan ular itu masuk akal? Aku tidak benar- benar memercayainya, tapi jika dia melakukan semua kegilaan ini dengan alasan-alasan yang disebutkannya, kurasa itu sepadan. Entah kenapa ucapannya mulai memengaruhiku.”

“Aku tidak peduli sekalipun perkataan Feorynch benar,” kata Eric tanpa menengok ke belakang. “Aku tak kenal baik Eclausus maupun Luminos. Yang jelas, kita harus ke Ibukota saat ini juga.”

Sheraga mendengus. “Menjadi orang baik dan mengedepankan orang lain memang pencapaian yang sulit. Tapi sifat seperti itu pun terkadang mendatangkan bencana. Sesekali pikirkan diri sendiri. Lebih banyak orang yang tidak sejalan dengan prasangka baikmu, Eric.”

Eric baru ingin membalas, namun mengurungkan niatnya. Dia membelokkan kereta rusa ke kiri, kembali berhadapan dengan hutan lebat. Seusai melalui hutan, seharusnya dia dapat melihat sebagian bangunan Ibukota.

“Lihatlah, kilatan yang besar sekali!” Sheraga menunjuk ke depan.

Dari kejauhan, Eric dapat melihat serangkaian petir menyambar-nyambar di langit malam kota Vranwynn, yang kemudian disusul gemuruh guntur yang menyakitkan telinga. Jantung Eric nyaris pecah, sedangkan Sheraga berteriak-teriak dalam bahasa yang tidak di-mengerti Eric.

“Firasatku tidak b-bagus,” bisik Sheraga tergagap. Tanpa diberitahu pun, Eric paham sesuatu yang buruk sedang melanda Ibukota Luminesca. Beberapa orang yang sama-sama mengendarai kereta rusa melaju berlawanan arah dengan Eric.

Keadaan diperparah dengan munculnya cincin api raksasa di atas kota. Dari tengah cincin api, timbul cahaya kemerahan yang teramat pekat, yang selanjutnya membentuk sebuah pentagram. Dan dari balik pentagram, puluhan sesuatu yang besar menampakkan diri. Lalu semuanya beterbangan di angkasa.

“Aku tahu lambang apa itu!” jerit Sheraga histeris. “Tamatlah riwayat kita! Jika Raja Regulus membiarkan simbol itu terbentuk, itu artinya...” Dia sengaja menggantungkan kalimatnya.

Tapi Eric tidak gentar. Selain bahwa dia tidak memahami artinya, dia hanya yakin dia tak boleh mundur. Tidak setelah apa yang telah dilakukannya sehingga Aglicus Lynch bangkit kembali. Dia mempercepat laju kereta rusanya, yang sebentar lagi tiba di Vranwynn.

“Kalau kamu mau mati, silakan!” seru Sheraga. “Tapi jangan libatkan aku! Aku ingin turun! Iblis yang seperti itu bukan urusanku!”

Eric tidak menggubris. Dia memaksa rusa berlari dengan kecepatan maksimal.

“Kumohon, Eric,” pinta Sheraga. “Dengan keadaanku, tidak mungkin aku melompat.”

“Memang jangan!” tukas Eric. “Kamu harus membantu dalam hal ini. Aku sudah punya rencana. Jika penyihir itu dibiarkan, cepat atau lambat seluruh Luminesca bisa rata dengan tanah!”

“Oh Dewa, apa salahku padamu...” keluh Sheraga pelan.

Akhirnya, mereka memasuki kota. Eric merinding, sepanjang jalan jasad-jasad tak bernyawa bergelimpangan. Nyaris semuanya hangus akibat tersambar petir, sebagian kecil tertimpa reruntuhan bangunan. Sejauh mata memandang hanya terlihat kobaran api dan pemandangan kematian. Meski begitu, Eric terus melaju ke pusat kekacauan.

Kini dari tempatnya mengemudikan kereta, Eric dapat menyaksikan pemandangan tak lazim yang lebih mengerikan lagi. Puluhan naga logam—setengah kali lebih kecil dari Metta Dracunis—berseliweran di langit. Mereka menghujani kota dengan jarum-jarum, yang berakhir meledak. Eric berusaha mengendalikan kereta rusanya di antara rentetan ledakan.

“Semua ini belum cukup?” tanya Sheraga dengan suara seperti mencicit. “Eric, berputar arah! Walikota Althenna sayang padamu, kan? Tinggal saja di Avratika!”

“Dia tak pernah menginginkanku lari sebagai pengecut, Sheraga,” bantah Eric. “Kamu alkemis yang luar biasa. Jangan—”

Sontak, dia mendengar letusan dari menara jaga tak jauh darinya. Eric berpaling, dilihatnya Aglicus Lynch tengah berkejaran dengan sepasukan prajurit. Di antara mereka merupakan para bangsawan dan klerik. Para prajurit melesatkan anak-anak panah dan senjata tajam, orang-orang berpakaian rapi melontarkan sihir, sedang klerik memberondong si penyihir dengan pengendalian raksasa batu berbentuk manusia.

Semuanya saling melempar serangan, namun orang- orang yang memburu Aglicus satu per satu gugur. Si penyihir terlalu kuat untuk ditangani prajurit biasa. Dia balas menyerang dengan membabi-buta.

Eric baru bertanya-tanya di mana keberadaan Raja Regulus, tapi dengan segera dia dapat menemukan sosok sang penguasa Luminesca. Pria berambut cokelat sebahu itu turut memburu Aglicus Lynch. Di tangannya tergenggam Tombak Api. Meski begitu, keadaan sang Raja tidak terlihat lebih baik dari lawannya. Tubuhnya dipenuhi sayatan panjang, termasuk pada wajahnya.

Kemudian, sang Raja merapal sesuatu. Seketika Tombak Api menyala kebiruan. Raja Regulus lantas melemparkannya ke arah Aglicus Lynch.

Aglicus terus berpindah dari atap ke atap bangunan utuh untuk menghindari senjata itu. Tapi setelah sekian lama, tidak menghasilkan balasan yang berarti. Aglicus Lynch selalu berhasil menghindar. Dan semakin Raja Regulus memaksa Tombak Api untuk terus bergerak, kian tampak dia tak berdaya. Kelihatannya penggunaan senjata itu menguras cukup banyak tenaga.

“Mati kalian semua!” Aglicus Lynch tertawa lantang. “Mati! Matilah! Keturunan Eclausus beserta seluruh pengikutnya!”

Eric segera turun dari kereta sembari memapah Sheraga sebisanya. Melihat masih ada orang hidup yang terluka, seorang klerik kerajaan memisahkan diri dan memperingat-kan, “Di sini sangat berbahaya. Kuantar kalian ke tempat yang aman.”

Si Elf wanita hendak membopong Sheraga, tapi pria itu menepis. Tatapan keduanya bertemu, lalu mereka tersenyum.

“Gal!”

“Sheraga!”

Keduanya baru ingin berpelukan, ketika sebuah ledakan terjadi persis di belakang mereka. Memuntahkan serpihan-serpihan bangunan dan batu. Gal buru-buru membopong Sheraga dan membawanya ke tempat yang lebih bebas dari bahaya. Eric tidak ikut serta, namun dia sempat mengambil beberapa tabung alkimia. Dia jelas harus menjalankan rencananya sendirian. Untung saja dengan dia mengenakan jubah Burung Api, nasib baik masih mungkin menyertai dirinya.

Eric berlari, berusaha menggapai sang Raja. Sekarang, Tombak Api sudah kembali ke tangan Raja Regulus. Aglicus Lynch tertawa lagi.

“Kamu cuma bisa menggerakkan benda itu tanpa tahu keseluruhan kekuatannya!” cemoohnya pada Raja Regulus. “Mungkin hidupmu terlalu bahagia hingga terlena dan lupa memperhitungkan bencana besar sepertiku! Kamu belum belajar bagaimana melawan musuh-musuhmu!”

“Aku tidak pernah benar-benar memiliki musuh,” sahut Raja Regulus tak gentar. “Kamu-lah orang yang mencari masalah di tengah kedamaian.” Tak memberi kesempatan lagi, dia melontarkan Tombak Api.

Benda itu melesat ke depan, tapi Aglicus Lynch mengelik. Penyihir itu pun menerjang ke depan, berniat menyerang Raja Regulus yang lengang dari pengamanan dan tanpa senjata.

Otak Eric berputar dengan cepat. Tanpa lama-lama berpikir, dia melompat sekuat kakinya. Kemudian melemparkan sebuah tabung seukuran ibu jari berwarna biru, dan sukses mengenai lengan kiri Aglicus Lynch.

Aglicus berhenti. Mata merahnya membeliak mendapati es menelan lengannya dengan ganas.

“Sihir macam apa ini?” Matanya memicing keji, mencari seseorang untuk melampiaskan amarahnya. Saat itulah dia menemukan Eric balas menatapnya tajam. Sedangkan di sisi lain, Raja Regulus yang tidak menyia- nyiakan peluang sempit lekas-lekas mengarahkan Tombak Api.

Tombak Api menghunjam telak Aglicus dari belakang, lalu menembus tubuhnya. Si penyihir terkapar saat itu juga.

“Ki-Kita berhasil?” Salah seorang prajurit mencetus.

Eric, dan tampaknya sama dengan semua orang, hampir menyimpulkan hal serupa. Akan tetapi dugaan mereka salah. Aglicus Lynch bangkit berdiri, es di tangannya meleleh. Dia mencabut Tombak Api dari perutnya. Saat menyentuh senjata itu, seluruh lengannya terbakar sampai nyaris rontok. Tapi dia segera menjatuhkannya ke dekat Eric. Setelah lengannya pulih, dia kembali menghambur pada sang Raja.

“Tidak berguna!” sembur Aglicus, yang dengan mudah menyingkirkan semua orang di sekeliling Raja Regulus.

Sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, Eric berinisiatif menyerang. Dia mencabut tiga batang panah sekaligus dan menggunakannya dalam sekali tembakan.

Aglicus Lynch terkena dua panah di tengkuk dan bahu, tapi dia tidak merespons. Si penyihir membisikkan sesuatu pada Raja Regulus yang menggigil ketakutan. Berikutnya, barulah dia berbalik hendak menghabisi Eric.

Eric bertindak lebih cepat. Dia berlari menghampiri Tombak Api, mencabutnya dari tanah, lalu mengacungkan senjata itu dengan murka.

Si penyihir terperangah, dan malah tertawa jauh lebih keras. “Kamu pemuda yang dikasihani Deofrych, kan?” tanyanya. “Aku memang tidak bisa membaca pergerakanmu, tapi kurasa kamu pun jauh lebih buruk dari Chambrelynn yang pongah itu.” Dia melirik Raja Regulus. Eric berjengit, sang penguasa Luminesca tengah berlutut, kulitnya terbakar di beberapa bagian.

“Jadi, segini sajakah pertahanan terakhir kalian, Chambrelynn yang Terhormat?” kata Aglicus pada Eric, sembari mencabut panah. “Keturunan yang tersisa akan menjadi makhluk neraka! Rasakanlah apa yang kualami selama lebih dari lima ratus tahun!”

“Kamu yang akan kalah!” Suara seseorang bergema di antara ketegangan.

Eric mencari-cari sumber suara, dan menemukan asalnya. Sheraga dan klerik wanita bernama Gal berdiri tak jauh dari si penyihir. Entah cara apa yang dilakukan Elf itu sampai membuat Sheraga kembali seangkuh biasanya. Pria itu pun kelihatannya telah membaik. Dengan gerakan cepat, dia mengambil dua tabung dari kotak yang dibawanya dan mencampakkannya ke depan.

Botol kecil yang berbenturan dengan tanah menghasilkan asap panas yang tebal dan meluas. Dari dalam kepungan asap, keluar berbagai sumpah serapah. Rupanya Aglicus Lynch rentan terhadap serangan tidak lazim seperti alkimia. Ditambah Sheraga mengenakan jubah Burung Api, sehingga gerakannya sulit diperhitungkan.

Belum cukup sampai di situ, Gal menyerukan mantra, “Layhaavi!”

Itu mantra dalam bahasa yang tidak dikenali Eric, tapi efeknya amat menakjubkan. Dari udara kosong di atas asap yang masih menggumpal, terbentuk awan tipis. Awan itu menurunkan bunga-bunga es yang lebat. Perlahan-lahan, asap menghilang. Namun sadarlah mereka bahwa Aglicus Lynch tak lagi berada di tempatnya. Hanya tersisa bukit es yang menjulang.

“Orang-orang Batya yang menyusahkan,” Si penyihir telah berdiri di belakang Gal, siap menyebat udara dengan tongkat sihir.

Sheraga menimpuk Aglicus dengan alkimia pembeku sebelum sempat melakukan sesuatu terhadap si Elf. Selanjutnya, keduanya berlari menjauh.

“Eric, lakukan sesuatu!” perintah Sheraga. “Akan kami alihkan perhatiannya!”

Eric memutar otak dengan susah payah. Bagaimana dia mengalahkan Aglicus Lynch? Eric bukan pengguna sihir, dia cuma paham harus menyerang dengan senjata tajam. Lawannya pun tidak mempan tertusuk Tombak Api. Naga- naga logam di angkasa masih terbang kesana-kemari, menjatuhkan semakin banyak korban dan menimbulkan kerugian. Sementara itu, Raja Regulus tengah maraung- raung dan mencakari tubuhnya sendiri—sebentar lagi dia akan berubah. Kerajaan Luminesca bisa tamat jika tidak ada pergerakan. Barangkali, Eric adalah satu-satunya harapan. Sebagai seorang Chambrelynn yang masih sanggup berdiri.

Di tengah kebingungannya, Eric teringat satu hal. Rasanya baru terjadi kemarin, saat percobaan perampokan Tombak Api. Feorynch menggunakan sihir yang dapat mem- berhentikan waktu. Sihir itu menguras energinya dengan begitu fatal. Bisa jadi, peristiwa yang sama pun berlaku untuk ayahnya. Eric harus memaksa Aglicus Lynch melancarkan sihir pembeku waktu, bagaimana pun caranya.

“Sheraga, serang dia terus!” teriak Eric. “Buat dia kewalahan!”

Sheraga mengangguk. Dia memberi tanda untuk Gal agar memisahkan diri. Wanita itu melawan lebih dulu. Dia mengayunkan tongkat sihirnya yang seperti tombak dan merapal, “Layhavar!”

Api menyembur dari ujung tongkat bertakhtakan permata. Aglicus berkelit dari kobaran api yang mengganas. Sihir Elf memang dua kali lebih manjur daripada sihir biasa. Tapi nyatanya api tersebut hanya sebagai umpan, sementara Sheraga berlarian di belakang Aglicus. Pria itu meraup banyak botol kecil berwarna senada, lantas melontarkan semuanya sekaligus.

Si penyihir menyadari datangnya serangan. Namun terlambat, botol-botol alkimia keburu mencapai kulitnya. Sesuai perhitungan, Aglicus Lynch mengeluarkan sihir pembeku waktu. Gelombang samar pun melintasi udara, menghentikan tabung-tabung alkimia beserta Sheraga dan Gal. Eric segera melarikan diri, dengan Tombak Api di tangannya, sebelum ikut terpengaruh.

Mencapai jarak kira-kira seratus meter, Eric malah tersandung tumpukan kayu. Dan jatuh dekat genangan darah. Dia memejamkan matanya pasrah. Kalau-kalau sihir Aglicus berhasil mengenai dirinya, maka berakhir sudah hidupnya. Selesailah pula keberadaan Kerajaan Luminesca di dunia.

Satu. Dua. Lima. Sepuluh embusan napas Eric berlalu. Namun tidak terjadi apa-apa. Dia masih mampu membangunkan diri. Eric bisa bangkit.

Dari kejauhan, Aglicus tampak kebingungan. Semua yang berada di sekitarnya berhenti, termasuk beberapa naga. Si penyihir menyapu pandangan berkeliling seakan ingin menemukan sesuatu. Jelas, Eric dan Tombak Api yang dia cari.

Eric melangkah tanpa suara sebisa mungkin. Bersembunyi dari bangunan satu ke bangunan lain. Waktu memang tidak mengalir, tapi aroma kematian merebak di setiap napasnya. Terkadang Eric harus menutup hidung dan matanya menggunakan satu tangan. Sedangkan tangan satunya menjaga Tombak Api.

Tak lama, Aglicus sudah berada tidak jauh dari Eric. Usai menaksirkan segala risiko dan kemungkinan, Eric melompat. Si penyihir tengah membelakanginya, dan itu menguntungkan. Eric berjalan di atas atap dan secepat kilat—di luar dugaannya sendiri—telah berada tepat di belakang Aglicus Lynch.

Namun di luar perhitungan, Aglicus menengok ke belakang. “Kamu masih terlalu hijau,” ejeknya.

Bersamaan dengan rapalan mantra, sesuatu yang padat terbentuk di tangan si penyihir—sebilah pedang. Dia menyabetkan senjata itu, menebas tangan Eric tanpa ampun.

Eric sampai tidak bisa berteriak. Darahnya memercik ke mana-mana. Dia tidak berkedip menyaksikan kelima jemarinya putus. Dan yang lebih parah lagi, Tombak Api terlepas dari genggaman. Pun tiba-tiba saja, kalungnya bersinar.

Setengah kekuatanku bersemayam di dalam benda itu, sebuah suara dalam pikiran Eric berkata. Perintahkan Tombak Api untuk memperlihatkan wujudnya yang sesungguhnya! Buang segala keraguan dalam benakmu, Erlacius!

Eric menegakkan badan, kembali percaya diri. Dia balas memandang Aglicus Lynch, langsung menusuk ke dalam sepasang mata merahnya. “Kamu akan mati!”

Ucapan menantang itu menghadiahkan Eric tebasan melintang di dada. Belum puas, Aglicus pun menambahkan dua kali tendangan di rusuk. Meski demikian, Eric tetap tersenyum simpul. Dia punya keyakinan.

“Kenapa?” Si penyihir bertanya. “Kamu mengharap kematian yang cepat? Mustahil!”

Arata, vostur veritabrynn... persoana...

Kenyataannya, si penyihir tidak tahu apa yang sedang menanti di belakangnya. Tombak Api melambung ke atas. Dan dalam beberapa tarikan napas, dengan cara mengagumkan yang sulit dijabarkan, benda itu berubah menjadi Fyra Dracunis.

“Kematian...” ucap Eric perlahan. “Ada di belakangmu!”

Amarah Aglicus langsung tersulut. Kakinya baru terangkat, ketika jerit lengking Naga Api memenuhi udara. Si penyihir bergeming, matanya membulat. Naga Api melesat ke arahnya bersamaan dengan usahanya menoleh ke belakang.

Aglicus Lynch memekik. Naga Api melesak ke dalam dirinya. Dan ketika makhluk itu menghilang seutuhnya, si penyihir pelan-pelan terbakar. Sesaat kemudian, api yang sangat besar bergolak di sekelilingnya. Mencabik-cabik dan merenggut hidupnya. Mengubahnya menjadi abu yang bergulung ke angkasa. Serupa dengan putranya.

Terdengar suara pecah. Waktu kembali berputar.

Eric memiringkan kepala, Sheraga dan Gal tengah berjalan ke arahnya. Berbalik ke arah lain, Raja Regulus melakukan hal serupa. Langit yang sebelumnya mencekam, dipenuhi bayang-bayang kematian, berubah seketika. Pentagram api memudar. Para naga logam meletus dan menjadi serpihan, serta menjadi pengiring merekahnya sang fajar.

“Eric, kamu berhasil.” Suara serak seorang pria sekaligus menjadi hal yang terakhir Eric dengar, karena setelah itu kegelapan total menyelimutinya.