Luminesca by Asr - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

II – Kejadian Tak Terduga

 

Eric terbangun oleh seberkas aroma yang menyengat. Pasti Sheraga, umpatnya di tengah kantuknya. Dia mengerjap beberapa kali, dengan agak malas bangun dan turun dari tempat tidur tingkatnya. Suara desisan yang keras kemudian menguasai seisi ruangan, Feorynch yang berada di tempat tidur bagian bawah rupanya belum tersadar.

Ibu, Ayah, hari ini aku akan lebih baik dari hari sebelumnya, pikir Eric sambil memandang lukisan tak berbingkai di salah satu sisi dinding. Dia tersenyum kecil, di dalam lukisan tersebut adalah empat orang. Eric Chambrelynn yang berusia tujuh tahun dan berwajah lebih ceria berada di tengah, sementara Elisca berada dalam buaian.

Hari masih pagi, udara amat dingin seperti saat perburuan semalam. Namun Eric lebih memilih terjaga dan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Mencari kayu bakar atau bercocok tanam misalnya. Dia pun keluar dari kamarnya, dan sontak disambut Sheraga.

“Eric!” panggil Sheraga riuh dari ruang keluarga. “Aku senang kamu bisa bangun pagi untuk memastikan penemuanku. Lihatlah kemari!” serunya sambil menunjukkan kotak hitam dengan seperangkat botol-botol cairan menggelegak di dalamnya.

“Baunya tidak sedap,” lontar Eric jujur. “Apa lagi itu, memangnya?”

Sheraga sedikit merengut. “Semua itu sebanding dengan hasilnya. Ini adalah alkimia yang memiliki efek setara dengan sihir tingkat tinggi. Berbulan-bulan penelitianku, akhirnya aku berhasil juga,” jelasnya panjang lebar sembari menunjuk ramuan-ramuannya. “Cairan merah ini mampu menghasilkan ledakan, yang biru untuk membekukan udara, dan yang lainnya mempunyai cukup banyak fungsi.”

“Apa yang mau kamu lakukan dengan semua bahan- bahan aneh itu?” tanya Eric mengantisipasi. “Aku tidak mau jadi kelinci percobaanmu.” Tiba-tiba dia teringat pertama kalinya Sheraga melakukan percobaan alkimia. Pria itu hampir saja membakar wajahnya sendiri hanya karena bereksperimen di dalam ruangan yang kurang penerangan. Salah sedikit, alkimia bisa berakibat mematikan.

Sheraga tertawa. “Aku tahu kamu sudah mengantisipasi hal itu,” balasnya. “Jadi aku ingin kamu melihat saja. Perhatikan dengan saksama, Eric!”

Eric mendesah, lantas merapat ke sudut ruangan. “Oke, baiklah.”

Lawan bicaranya mengangguk mantap. Dia mengambil sebotol kecil berisi ramuan berwarna kecokelatan. Dilemparnya benda itu ke lantai. Terdengar ledakan cukup keras tatkala botol pecah dan menumpahkan isinya, disertai aroma kaus kaki basah yang menguar ke berbagai sudut.

Telinga Eric sampai berdenging dan menutup hidungnya agak lama. Setelah keadaan membaik, barulah dia melihat hasil penemuan saudara tertuanya. Tapi tampaknya ledakan tadi juga memanggil ketiga saudaranya yang lain keluar dari kamar masing-masing.

“Ssh, bagus! Pagi-pagi kamu sudah berulah!” Feorynch yang pertama-tama memberi komplain. “Lihat apa yang kamu lakukan terhadap rumah kita, ssh!” Telunjuknya yang panjang dan kurus terarah ke atas.

Eric mengikuti arah yang ditunjuk Feorynch, dan ternganga menyaksikan sebentuk tanaman hijau raksasa tumbuh dari dasar lantai kayu dan menembus atap ruang keluarga, menciptakan sebuah lubang yang mempersilakan angin dan debu masuk. Bisa-bisa rumah mereka roboh dengan segera.

“Aku salah perhitungan,” Sheraga menggigit bibir penuh sesal. “Seharusnya tidak berefek seperti ini. Tapi, jangan khawatir. Aku akan memperbaikinya dengan uangku sendiri. Nanti siang aku berangkat ke Ibukota.”

“Aku ikut!” timpal Eric seketika.

“Aku juga, Kak,” Elisca turut serta. “Sudah lama sekali aku nggak ke sana.”

Feorynch mengentakkan kaki, kedua mata seramnya memelototi Sheraga. “Ssh, sebaiknya kamu kembali dan perbaiki semuanya dengan cepat! Ya, ya, dan aku tidak ingin ikut!” Sontak, dia membanting pintu kamarnya hingga bergema.

Sheraga mendekati Dionde. “Kamu tidak mau menuntutku?”

“Aku tahu kamu tidak mungkin sengaja melakukannya,” Dionde tersenyum. “Dan lebih baik, kalian bersiap ke Ibukota. Aku dan Feorynch yang akan mengurus tumbuhan besar itu.”

“Terima kasih, Manis,” kata Sheraga, mengacak rambut pirang Dionde. “Mari bersiap, duo Chambrelynn!”

Eric, Sheraga, dan Elisca berangkat ke Ibukota Kerajaan Luminesca, Vranwynn, menggunakan kereta rusa. Rusa-rusa di kerajaan ini begitu istimewa dibanding rusa mana pun di seluruh dunia. Hewan tersebut memiliki bulu yang berpendar keperakan serta tanduk tunggal keemasan. Derap langkah mereka pun begitu cepat dan tanpa menimbulkan kebisingan. Tak sampai menunggu hingga tengah hari, ketiganya tiba di tujuan. Sheraga membayar pada kusir kereta sesaat setelah mereka turun.

“Sudah lama tidak ke Ibukota,” ucap Sheraga. “Ada begitu banyak kenangan di sini.” Eric memperhatikan, mata kelabu Sheraga berkaca-kaca.

“Omong-omong, aku belum pernah tahu dari mana kamu berasal,” Eric seketika teringat sesuatu, dia bertanya dengan hati-hati, “Aku, Elisca, dan Feorynch berasal dari kota yang sama, Las Chrymalis. Dionde dari Il Longinum. Namun, aku tak tahu kamu berasal dari mana. Apa sekarang kamu ingin angkat bicara?”

“Jangan remehkan aku. Aku hafal dari mana saja tepatnya kalian berasal,” tangkis Sheraga sewot. “Aku sendiri berasal dari daerah yang sangat jauh, begitu jauh sehingga aku tak yakin kalian akan mengetahuinya. Tapi, tempat inilah yang paling berkesan buatku. Kamu masih ingat pertama kali kita bertemu, kan?” Kerutan keberangan di wajahnya lenyap seketika, berganti tatapan kosong.

Eric terdiam. Dia sangat ingat bagaimana dirinya, Elisca, dan Feorynch menemukan seorang pria malang yang terlunta-lunta di pinggir jalan. Mereka memberinya ruang dan ransum, namun anehnya pria itulah yang sekarang beralih menjadi penguasa rumah. Eric bahkan sampai selalu lupa menanyakan latar belakang orang itu.

“Benarkah?” Eric dan Elisca merespons hampir bersamaan, keprihatinan terpancar jelas dari keduanya.

“Lebih baik aku memang tidak usah menceritakannya,” ujar Sheraga, mengepalkan tangannya. “Daripada memikirkan aku, lebih baik kalian cemaskan Dionde dan Feorynch di rumah. Yah, aku memang agak kejam pada Feorynch. Namun asal kalian tahu, aku tidak seburuk yang dikatakannya. Sudah, ayo jalan!”

Sheraga memimpin. Dia menembus barisan penjaga kota dengan menunjukkan surat-surat dan membayar beberapa keping perunggu.

Kerumunan orang di Vranwynn lima kali lebih banyak daripada di kota Aphra. Dan bukan Manusia saja yang berkeliaran; melainkan Raksasa, Elf—bangsa rupawan, bertelinga runcing dan berumur panjang, sampai para kurcaci setinggi pinggang manusia dewasa.

Segala hal tersedia di tiap sudut jalanan, sehingga bisa dibilang mengganggu pemandangan. Dibanding kota Aphra yang dipenuhi berbagai bangunan sederhana dari kayu, di kota ini segalanya terasa kontras. Hampir seluruh rumah bertingkat serta kokoh, dan kelihatannya tiap detailnya memiliki unsur artistik. Ditambah kastel putih megah yang berada di ujung barat ibukota, tempat berdiam Raja Luminesca beserta seluruh keluarganya.

Eric tergoda untuk melihat-lihat beraneka senjata yang dijajarkan dalam sebuah etalase, akan tetapi Sheraga keburu menyadari niatnya.

“Kita tidak kemari untuk itu,” tegur Sheraga tegas. “Senjata bisa dibeli dengan murah di Aphra.”

“Mau ke mana, Kak?” tanya Elisca.

“Tentu saja kita akan mencari kayu dan paku,” sahut Sheraga. “Tapi pertama-tama, aku ingin membeli botol baru dan menawarkan hasil eksperimenku. Kalian tunggulah aku di toko material, jangan memesan apa-apa sebelum aku kembali.”

“Baik, Kak!” sambut Eric dan Elisca dengan sikap hormat yang dibuat-buat.

Eric menggamit tangan Elisca, menggiring adiknya ke satu-satunya toko bahan bangunan. Selembar papan logam bergambar gundukan pasir dan batu bata tergantung di dekat pintu lebarnya. Ada bangku panjang di dekat tempat tersebut, Eric dan Elisca duduk di sana. Keduanya berbincang seru selama beberapa lama, menunggu Sheraga yang tak kunjung menyusul.

Langit berawan dan udara berangsur mendingin, guntur bersahut-sahutan di kejauh– an. Eric mengerapkan mantelnya, sedangkan Elisca mendekatkan diri pada kakaknya. Namun demikian, keanehan yang terjadi tidak menghentikan aktivitas kehidupan yang terus berlangsung di depan mata mereka.

“Firasatku nggak enak, Eric,” Elisca mengutarakan perasaannya. “Kayaknya akan terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan.”

“Aku juga merasa begitu,” Eric menengadah dengan waswas. Sore hari terasa seperti petang. “Aneh sekali. Langit semakin gelap tapi tampaknya bukan pertanda hujan.”

“Memang akan terjadi sesuatu yang buruk. Juga, sangat mengerikan. Sebaiknya kalian pulanglah dan berlindung,” tandas seseorang yang duduk di bangku panjang sebelah Eric, seorang Elf dewasa. Nada bicaranya kering dan halus di saat yang sama, Eric merinding mendengarkannya.

“Kamu sendiri diam saja di situ?” tukas Eric kurang percaya sekaligus ngeri.

Elf misterius itu tidak menyahut. Dia justru bangkit berdiri, menarik tudung jubahnya menutupi wajah, dan melenggang pergi dengan bibir terkunci rapat.

Eric dan Elisca saling berpandangan, mengangkat bahu dengan bingung. “Sebaiknya kita ke tempat Sheraga,” Eric mengusulkan. “Cari dia.”

Mereka belum berjalan cukup jauh, ketika suara lonceng tanda bahaya melintasi udara. Membuat semua orang terpaku di atas kaki. Eric menggenggam jemari Elisca erat-erat, sebutir peluh meluncur dari dahinya. Ancaman datang, namun dia belum tahu apa itu.

“Metta Dracunis!” Seseorang menyerukan sambil berlari. Eric bergidik dan risau. Naga Logam?

Dalam sekejap, ibukota seperti dilanda kepanikan massa. Orang-orang berhamburan ke segala arah. Ada yang berlindung di dalam rumah, menyusup ke dalam gorong- gorong, dan tak sedikit pula yang menyangkal. Orang-orang itu menuju ke menara pengawas terdekat demi memastikan kebenarannya.

Tanda bahaya berbunyi kian gencar, saat itulah tanpa peringatan langit kelabu tiba– tiba berlubang. Pandangan semua orang yang masih berkeliaran dan belum mengungsi tertumbuk ke sana. Dari balik lubang itu, sebentuk moncong berkilauan mengintip ke bawah. Sejurus kemudian, sesosok ular raksasa berkaki meluncur dengan telak ke wilayah kota yang ramai, menimbulkan guncangan ringan.

Eric belum menilik makhluk itu dengan saksama, namun dia sudah tahu apa yang sedang dihadapi semua orang. Itulah Naga Logam. Dia memang pernah tahu ada makhluk seperti itu di dunia, tapi dia tak pernah memercayainya. Dan kini, makhluk itu telah terbit dari persembunyian. Kehadirannya menandakan bencana besar.

“Eric, yang tadi itu sungguhan Naga Logam?” Elisca berlindung di balik punggung Eric.

Eric mengangguk lemah. “Sebaiknya kita menyelamatkan diri, barangkali Sheraga sudah lebih dulu melakukannya. Temukan tempat yang aman sebelum naga itu menuju tempat—“

Ucapan Eric mendadak terhenti, membuatnya syok. Ledakan beruntun terjadi tepat di belakangnya. Letusan terakhir hanya berjarak beberapa meter dari tempat Eric dan Elisca berdiam. Puing-puing yang beterbangan mengenai keduanya. Salah satunya menembus kaki dan merobek kulit Elisca. Gadis itu sontak jatuh tak sadarkan diri.

“Elisca!” seru Eric panik.

Dia menggigil. Lengan dan tungkai kakinya bergetar. Adiknya mengeluarkan banyak darah. Dan di depan matanya, kenyataan mengerikan yang lain menyusul. Sang naga, dengan berlatarkan bangunan yang terbakar dan hancur, tengah berjalan lambat-lambat ke arahnya menggunakan sepasang kaki belakangnya yang pendek.

Makhluk itu menganjurkan lehernya ke depan, pada Elisca yang tergeletak. Dia baru akan membuka mulut, tatkala beberapa botol kaca tumpah tepat di depan kakinya. Menciptakan pagar pohon tebal yang mengadang langkahnya.

“Syukurlah aku masih sempat,” Suara Sheraga membuat perasaan Eric membaik. Pria itu terengah-engah. Diangkatnya tangan untuk melempar bahan alkimia sekali lagi, tapi dinding kayu di depan mereka hancur lebur. Ledakan juga melontarkan Eric, Elisca dan Sheraga. Elisca terguling sejauh puluhan meter, sedangkan Eric dan Sheraga membentur tembok keras.

Eric merintih, kemudian batuk darah. Sekujur badannya terasa berat, dan pandangannya semakin mengabur. Dia berusaha menjaga kesadarannya, sambil matanya mengawasi Elisca.

Saat itu, Sang Naga Logam mengaum bagai halilintar, lantas mendekati Elisca. Eric terbelalak mendapati makhluk itu bermaksud meringkus adiknya. Dengan kaki depannya, naga itu mencengkeram adiknya lalu melesat ke atas, ke langit utara dan menghilang dari pandangan.

“Elisca!” Eric mencoba berteriak, akan tetapi darah tumpah ruah membasahi bibirnya. Dan dia berangsur kehilangan kesadaran.