Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

MENGHAKIMI ORANG LAIN

Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita

tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. (Yak 3:1)

Penggalan ayat kitab suci di atas tentu saja bukan bermaksud untuk melarang orang

menjalani profesi sebagai guru. Konteks kata ‘guru’ dalam ayat tersebut menurut

pemahaman saya, adalah sosok orang yang seolah memiliki kepandaian lebih daripada

orang lain dan mengajari orang lain untuk berbuat yang benar.

Beberapa waktu yang lalu, selama beberapa hari saya terus terngiang-ngiang sebuah kisah

dari buku yang pernah saya baca. Ketika saya kembali ke rumah dan menemukan buku itu,

saya pun segera mencari cerita yang terus terngiang-ngiang itu dan saya pun

menemukannya. Beginilah kurang lebih kisah tersebut.

Pada suatu hari, dua orang rahib sedang berjalan dan hendak menyeberang sungai. Di tepi

sungai itu, mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Wanita itu ingin

menyeberang sungai, tetapi sungai itu terlalu dalam dan ia takut untuk menyeberang.

Kemudian salah seorang dari rahib tersebut menggendong wanita cantik itu dan

menyeberang sungai. Rahib yang seorang lagi terkejut melihat apa yang dilakukan

temannya. Setelah menyeberangi sungai tersebut, sepanjang perjalanan, rahib tadi

menceramahi temannya yang menggendong sang wanita cantik. Ia terus berceramah dan

menghakimi temannya itu. Ia berkata bahwa temannya itu telah melanggar aturan suci dan

lain sebagainya. Si rahib yang menggendong wanita tadi awalnya hanya diam dan

mendengarkan. Akhirnya, setelah kira-kira dua jam mendengarkan ocehan temannya, rahib

tadi berkata, “Temanku, aku telah meninggalkan wanita tadi di seberang sungai. Apakah

engkau masih membawanya?”

Sebuah kisah sederhana, tetapi bagi saya kisah ini sungguh sangat menyentuh. Seringkali

saya merasa bahwa saya lebih baik daripada orang lain, saya lebih ‘suci’ daripada orang lain.

Ketika melihat atau mengetahui orang lain berbuat sesuatu yang di luar norma-norma, saya

pun dengan mudah menghakimi orang itu, bahkan mencapnya sebagai orang berdosa. Sikap

ini, tanpa saya sadari, ternyata telah menyamakan saya dengan sikap orang-orang Farisi.

Orang-orang Farisi pada zaman Tuhan Yesus, berbicara seolah mereka adalah orang suci,

bahkan mereka bisa mengatakan dan menghakimi orang lain sebagai orang berdosa.

Bergaul dengan orang-orang yang dianggap berdosa pun tidak mungkin akan dilakukan oleh

orang-orang Farisi karena itu bisa ‘menajiskan’ mereka.

Kisah sederhana tentang dua orang rahib tadi telah membuka pikiran saya, bahwa ternyata

begitu mudah dan begitu tanpa sadar saya sering menghakimi orang lain untuk apa yang

dilakukannya, sama seperti rahib yang menceramahi temannya selama dua jam itu. Tanpa

saya sadari, pikiran saya bahwa orang lain telah berbuat dosa, pikiran saya yang mencap

20 | P a g e

orang itu sebagai orang berdosa, pikiran saya yang menghakimi orang itu, sesungguhnya

pikiran-pikiran itulah yang membuat saya menjadi orang berdosa pula. Apalagi seringkali,

kita terus mengingat kesalahan orang lain dan mengungkit-ungkitnya, hanya untuk

menyatakan atau menegaskan bahwa orang itu pernah berbuat dosa.

Ayat kitab suci di atas, mengingatkan kita untuk tidak serta merta hendak menjadi ‘guru’

atas kehidupan orang lain. Ketika kita bertindak seolah kita lebih suci daripada orang lain,

ketika kita mulai menghakimi orang lain, maka kita pun akan ‘dihakimi’ dengan ukuran yang

lebih berat. Saya rasa hal ini sangat masuk akal. Ketika saya bisa berkata bahwa seseorang

telah berdosa dengan melakukan suatu perbuatan, maka orang-orang akan menganggap

bahwa saya seharusnya tidak akan melakukan perbuatan yang sama dengan orang yang

saya anggap berdosa tadi. Orang akan menganggap saya sebagai orang ‘benar’ dan ketika

tiba saatnya saya melakukan suatu kesalahan atau hal yang dianggap tidak benar, maka

konsekuensi yang saya terima pun akan jauh lebih besar. Mungkin orang akan berkata,

“Bukannya dia dulu mengatakan nasihat-nasihat yang baik? Kok ternyata dia melakukan

perbuatan seperti itu ya...” Tentu saja hal ini tidak kita kehendaki terjadi dalam hidup kita.

Justru karena kita menyadari bahwa kita semua adalah manusia yang tidak sempurna, yang

kadang kala khilaf dan berbuat salah, maka seharusnya kita tidak perlu bersikap atau

bertindak sebagai ‘guru’ atas perilaku orang lain.

Tentu saja bukan berarti ketika kita tahu bahwa sahabat, teman, atau saudara kita berbuat

salah yang mungkin mengarah kepada perbuatan dosa yang tidak berkenan kepada Tuhan,

kita bisa membiarkannya begitu saja. Membiarkan seseorang untuk terjerumus dalam dosa

juga adalah perbuatan yang tidak benar. Mengingatkan sewajarnya, tanpa menghakimi atau

memberikan cap negatif pada orang yang berbuat salah, adalah hal positif yang bisa kita

lakukan agar diri kita tidak terjebak dalam sikap menggurui. Apabila pada akhirnya nasihat

kita tidak didengar dan orang itu tetap melakukan perbuatan yang tidak berkenan kepada

Tuhan, biarlah itu menjadi tanggungan hidupnya. Konsekuensi dari setiap pilihan yang kita

ambil akan kita rasakan sendiri. Biarlah orang memutuskan pilihannya dalam hidup, kita

tidak perlu dan tidak berhak menghakimi apa yang menjadi pilihannya. Biarlah Tuhan, sang

Hakim yang Sejati, yang keadilanNya kekal abadi lah, yang berhak untuk menghakimi.

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita berusaha senantiasa untuk mewartakan kasih tanpa

sikap menggurui atau menghakimi, karena kasih yang sejati tidak memandang kepada siapa

kasih itu diberikan. Marilah kita mohon kepada Tuhan, Allah sang Kasih sejati, agar kita

diberikan karunia untuk mengasihi tanpa menghakimi. AMDG 

21 | P a g e

MENGHAKIMI ORANG LAIN (2)

1"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 2Karena dengan penghakiman

yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai

untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. 3Mengapakah engkau melihat selumbar di

mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?

4Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan

selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. 5Hai orang munafik,

keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk

mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." (Mat 7:1—5)

Seperti kisah dua rahib yang bertemu dengan seorang wanita ketika mereka hendak

menyeberang sungai (baca “Menghakimi Orang Lain (1)”) yang membuka mata saya betapa

mudahnya kita menghakimi orang lain sedangkan kita sendiri tidak sadar dengan dosa yang

kita perbuat melalui pikiran kita.

Kata-kata Tuhan Yesus dalam Injil Matius 7:1—5 tadi saya rasa cukup keras. Yesus

mengingatkan murid-muridNya, pengikut-pengikutNya (termasuk saya juga  ) untuk tidak

menghakimi orang lain. Betapa hal ini sungguh menjadi suatu topik yang penting dalam

kehidupan, sampai-sampai hal menghakimi ini mendapat satu bagian tersendiri dalam Injil.

Kenyataannya, dalam hidup sehari-hari pun, secara sadar maupun tidak sadar, kita memang

hampir selalu ‘menghakimi’ orang lain atau kondisi di sekitar kita.

Salah satu peribahasa dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Kuman di seberang laut tampak,

gajah di pelupuk mata tidak tampak,”. Peribahasa ini mirip sekali dengan apa yang

diumpamakan Yesus mengenai seorang yang berkata kepada saudaranya “Biarlah aku

mengeluarkan selumbar dari matamu” padahal ada balok di dalam matanya sendiri. Tidak

sulit untuk memahami makna dari peribahasa dan perumpamaan tersebut. Namun, yang

sulit adalah mempraktikkan kebenaran yang telah kita ketahui dari perumpamaan itu.

Dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju Tuban, setelah puas jalan-jalan di salah satu

mall di Surabaya, sesuatu terlintas dalam benak saya, berkaitan dengan topik ‘menghakimi

orang lain’ ini.

Menurut saya, sejak kecil, kita sudah terbiasa, atau mungkin ‘dibiasakan’ untuk menghakimi.

Contohnya, ada sekelompok anak kecil yang bermain bersama. Tiba-tiba datang seorang

anak dengan pakaian lusuh. Spontan ibu-ibu dari anak-anak yang bermain tadi mencegah

anak-anak mereka untuk dekat-dekat dengan anak yang berpakaian lusuh tadi. “Awas, Dik!

Jangan dekat-dekat anak itu! Dia kotor, bawa penyakit!” Nah...kata-kata ini, apalagi jika

sering diucapkan pada situasi yang sama, akan tertanam dalam benak seorang anak yang

pada akhirnya akan mempengaruhi cara pandang anak itu. Secara tidak sadar, ketika

dewasa dan melihat ada anak yang berpakaian lusuh, anak ini pun tidak akan mau dekat-

dekat dengannya.

22 | P a g e

Sistem pendidikan kita pun secara tidak sadar telah mendidik anak untuk menghakimi,

bahkan temannya sendiri. Banyak sekali kasus dimana ketika ada anak yang memperoleh

nilai buruk dalam suatu tes, teman-temannya mencapnya sebagai anak yang bodoh.

Bahkan, mungkin tidak hanya teman-teman, sampai-sampai guru-guru pun mungkin

memberi cap demikian. Padahal belum tentu anak-anak itu ‘bodoh’. Mungkin lebih tepat

dikatakan ada anak-anak yang lebih berbakat dalam bidang lain di bandingkan bidang

akademis.

Saya pernah membaca sebuah artikel mengenai pendidikan yang mengutamakan otak kiri.

Kebanyakan sistem pendidikan formal mengutamakan perkembangan otak kiri, padahal

tidak sedikit pula anak yang sebenarnya memiliki bakat terpendam di otak kanannya, yang

karena sistem pendidikan formal yang ada, tidak bisa mengembangkan bakatnya tersebut.

Salah satu kisah yang pernah saya baca adalah kisah Martha Tilaar, yang berhasil

mengembangkan bakatnya dalam dunia rias dengan dukungan dari keluarganya. Seandainya

saja banyak orang tua dan keluarga yang lebih peka terhadap bakat anak-anak mereka,

seperti keluarga Martha Tilaar, tentu akan banyak sekali bakat yang terasah dan

berkembang, menghasilkan sesuatu yang baru, yang mungkin belum pernah kita bayangkan

sebelumnya.

Kebiasaan menghakimi orang lain, yang menurut saya dipengaruhi juga dari sistem tata nilai

yang diajarkan sejak kita anak-anak, seharusnya bisa semakin diperbarui dengan lebih

mengedepankan nilai manusia yang setara di hadapan Allah. Seringkali yang terjadi dalam

kehidupan bersama, apalagi di tengah bangsa yang majemuk seperti Indonesia, adalah

kecurigaan dan memandang orang yang tidak sekelompok sebagai orang ‘asing’. Bukan saja

orang asing karena berasal dari luar kelompok, tetapi juga orang ‘asing’ karena dianggap

tidak mungkin memiliki perasaan solidaritas yang sama, pemikiran yang sejalan, atau

bahkan prasangka bahwa orang ‘asing’ ini akan mengancam keberadaan kelompok. Jujur

secara manusiawi, saya pun kerap kali mengalami perasaan tersebut. Ketika berada

bersama orang yang berbeda suku, agama, ras maupun golongan, tentu wajar awalnya ada

sedikit rasa canggung. Namun, ketika menjalani kehidupan bersama dan beraktivitas

bersama, ternyata pengelompokan-pengelompokan seperti itu tidak lagi menjadi hal yang

utama. Ada tujuan bersama yang jauh lebih penting yang membuat orang-orang tidak lagi

memandang suku, agama, ras atau golongannya masing-masing. Sayangnya, ketika tujuan

itu telah tercapai biasanya orang kembali pada ‘kelompok’nya masing-masing....

Hari ini saya baru saja menyaksikan sebuah film berjudul Intouchable s, sebuah film drama

yang digarap berdasarkan kisah nyata. Ceritanya sendiri sangat menarik, mengenai seorang

berkulit hitam, Driss, yang bekerja menjadi ‘perawat’ dari Fillip, orang kulit putih yang kaya

raya namun cacat. Orang-orang di sekitar Fillip awalnya memandang Driss dengan sebelah

mata, terlebih perilakunya yang jauh dari perilaku perawat lainnya yang sopan, patuh, dan

lemah lembut. Salah satu bagian yang sangat menyentuh dari film ini adalah ketika salah

seorang kerabat Fillip menasihatinya tentang Driss. Kerabatnya itu bahkan mengungkap

23 | P a g e

fakta bahwa Driss pernah terlibat kasus kriminal, dan menasihati Fillip supaya ia lebih

berhati-hati karena narapidana tentu tidak memiliki simpati, terlebih dengan kondisi Fillip

sebagai orang cacat. Namun, yang menarik adalah tanggapan Fillip atas informasi yang

diperolehnya dari kerabatnya sendiri. Ia hanya berkata:

“Itu dia. Itu yang kuinginkan. Tidak ada belas kasihan. Dia sering menyodorkan telepon

kepadaku, kau tahu kenapa? Karena dia lupa bahwa aku cacat. Jadi kau memang benar. Dia

tidak berempati kepadaku. Tetapi dia tinggi, kuat, sehat, dan tidak sebodoh yang kau pikir.

Jadi karena dia memenuhi persyaratanku... Aku tidak peduli darimana ia berasal dan apa

yang telah dia lakukan.”

Sungguh tanggapan yang sederhana, tapi justru itulah yang membuat tanggapan Fillip ini

begitu menyentuh. Tidak ada penghakiman, tidak ada prasangka. Hanya karena Fillip merasa

Driss cocok dengan kriteria perawat yang diinginkannya, ia menerima kehadiran Driss,

bahkan hubungan mereka tidak hanya sebatas majikan dan bawahan. Mereka menjadi

sahabat karib, bahkan hingga saat film Intouchables itu ditayangkan.

Sungguh langka menemukan hubungan seperti yang dilukiskan dalam Intouchables. Namun,

tidak jarang juga saya bertemu dengan orang-orang yang sungguh-sungguh tulus

berhubungan dengan orang lain, tanpa memandang perbedaan baik suku, ras, agama,

maupun golongan. Orang-orang seperti inilah yang menjadi pionir-pionir kerukunan dan

perdamaian dunia. Ketika kita melihat orang lain tidak dengan cermin kita sendiri; ketika

kita menilai seseorang tidak dengan standar yang kita buat berdasarkan diri kita atau

kelompok kita, maka kita akan bisa melihat seseorang apa adanya. Memang tidak mudah

untuk membiasakan hal itu, tetapi bukan hal sulit juga asalkan kita mau mencoba.

Ada sebuah kisah dari buku yang pernah saya baca dan menurut saya cukup menarik untuk

mengakhiri renungan ini. Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan akibat dari prasangka

yang berlebihan terhadap orang yang bukan berasal dari kelompok yang sama dengan kita.

Seorang Tionghoa dan seorang Yahudi sedang makan siang di tempat makan yang sama.

Tiba-tiba orang Yahudi itu berdiri dan berjalan mendekati orang Tionghoa itu lalu memukul

wajahnya. Orang Tionghoa itu terkejut dan bertanya, “Mengapa engkau melakukan ini

terhadap saya?!” jawab orang Yahudi itu, “Itu untuk Pearl Harbour!” Jawaban ini sangat

mengejutkan. Orang Tionghoa itu menyahut, “Pearl Harbour?? Saya tidak punya sangkut

paut dengan Pearl Harbour. Orang Jepang yang membom Pearl Harbour!” Orang Yahudi itu

menjawab, “Orang Cina, Taiwan, Jepang—semua sama saja untuk saya.”

Sesudah itu keduanya kembali duduk di tempat masing-masing. Tak lama kemudian, orang

Tionghoa itu berdiri dan berjalan mendekati orang Yahudi itu lalu menamparnya. Orang

Yahudi itu berteriak, “Mengapa engkau melakukan itu terhadap saya?!” Jawab orang

Tionghoa itu, “Titanic!” Orang Yahudi itu menyahut, “Titanic? Saya tidak punya urusan

dengan Titanic!” Orang Tionghoa itu pun menjawab lagi, “Goldberg, Feinberg, Iceberg—

semua sama saja untuk saya!”

(Dari 111 Cerita&Perumpamaan bagi Para Pengkhotbah dan Guru”)

24 | P a g e

Lihatlah seseorang dengan mata seperti seorang anak kecil, yang lugu dan melihat apa

adanya,

Perlakukanlah seseorang dengan hati seorang anak kecil, yang tulus dan tidak memikirkan

timbal balik,

Kasihilah seseorang dengan kasih Tuhan, yang memberikan kasihNya kepada siapapun....

25 | P a g e