Pernahkah Anda menyaksikan film bioskop berjudul “Captain Phillips”? Film ini dibuat
berdasarkan kisah nyata tentang seorang kapten kapal kargo yang menjadi korban
penculikan oleh kelompok perompak Somalia. Sungguh sebuah film yang menyentuh dan
menginspirasi, banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari film tersebut.
Secara singkat akan saya ceritakan mengenai film tersebut. Kapten Phillips adalah seorang
kapten kapal yang ditugaskan untuk menjadi kapten kapal kargo yang mengangkut bahan
makanan untuk bantuan penduduk di Afrika. Rute perjalanan kapal tersebut yang memang
terpisah dari rute kapal lain pada waktu yang sama, membuat kapal tersebut menjadi
incaran kelompok perompak Somalia. Dengan sekuat tenaga Kapten Phillips berusaha
melindungi seluruh awak kapalnya, tetapi pada akhirnya justru ia sendirilah yang diculik dan
dijadikan sandera oleh kelompok perompak Somalia tersebut. Beruntung dengan bantuan
Angkatan Laut AS dan tim SEAL, pada akhirnya Kapten Phillips berhasil diselamatkan.
Ada beberapa hal menarik yang saya temukan dari film ini. Pertama-tama saya harus
memuji akting Tom Hanks yang seperti biasanya mampu membawakan karakter yang
dimainkannya begitu hidup. Saya juga memuji sutradara dan penulis alur cerita film ini yang
mampu membuat alur cerita begitu menarik dan tidak membosankan, sekalipun film ini
cukup lama durasinya (sekitar dua setengah jam).
Hal pertama yang saya pelajari dari film ini adalah kepemimpinan. Kapten Phillips
menunjukkan kepemimpinan yang sangat baik ketika ia memimpin kapal kargo ini. Dari awal
ia telah mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan
kedatangan perompak Somalia (yang pada akhirnya sungguh menjadi kenyataan). Kapten
Phillips juga dengan sekuat tenaga berusaha menyelamatkan kapalnya dari incaran para
perompak. Sungguh usaha yang luar biasa! Dan ketika perompak benar-benar datang dan
mengancamnya, Kapten Phillips tidak gentar dan tidak mencari aman sendiri. Ia justru lebih
mengutamakan keselamatan awak kapalnya daripada keselamatannya sendiri.
Selanjutnya adalah kasih. Bagaimana sikap seseorang ketika ia diculik, tetapi ia masih bisa
bersikap baik terhadap para penculiknya, bahkan bersimpati kepada mereka? Kapten
Phillips yang diculik oleh para perompak justru menunjukkan kasih kepada para penculiknya
tersebut. Ia membantu merawat luka salah seorang perompak itu, bahkan sampai akhir ia
berusaha meyakinkan para perompak itu untuk menyerah kepada Angkatan Laut AS karena
ia tahu, para perompak itu mungkin saja akan terbunuh jika melawan. Selain itu, salah satu
adegan favorit saya adalah ketika Kapten Phillips menulis sebuah surat untuk keluarganya,
berusaha menyampaikan betapa ia sangat menyayangi keluarganya. Ketika menulis surat
itu, Kapten Phillips sudah pasrah jika pada akhirnya ia akan terbunuh. Bahkan ketika ia
hendak ditembak oleh perompak, ia berkata, “Siapapun yang mendengar ini...tolong
79 | P a g e
sampaikan kepada keluargaku bahwa aku sangat menyayangi mereka!” Hingga saat antara
hidup matinya, Kapten Phillips tidak terfokus pada ketakutan akan kematian, tetapi ia
teringat akan keluarganya yang sangat disayanginya. Pada akhir kisah ini pun, ketika Kapten
Phillips mendapati tiga orang perompak yang menculiknya telah mati tertembak tepat di
depannya, ia mengalami shock. Tidak terbayangkan ketika melihat orang-orang harus
terbunuh demi menyelamatkan nyawanya. Saya rasa saat-saat itu merupakan saat-saat
terberat bagi Kapten Phillips, terlebih karena dari semula ia telah berusaha memperingatkan
para perompak itu untuk menyerah saja.
Figur pemimpin seperti Kapten Phillips adalah teladan yang sangat baik bagi para pemimpin.
Sikapnya menunjukkan sikap seorang pemimpin sejati, yang memimpin dengan teladan dan
kasih. Inilah yang menyebabkan seluruh awak kapalnya berusaha mengikuti para perompak
yang menculik kapten mereka. Sikap kasih itu pula yang menyentuh hati salah seorang
perompak yang dirawat lukanya oleh Kapten Phillips.
Secara keseluruhan, film ini adalah sebuah film yang sangat menarik dan apik. Menyentuh
hati dan membuat saya merenungkan, betapa fananya kita sebagai manusia. Hidup mati kita
di tangan Tuhan. Sekuat apapun kita berusaha, jika memang Tuhan telah berkehendak,
apapun bisa terjadi. Bahkan ketika kita berada dalam batas antara hidup dan mati, Tuhan
sanggup untuk mengulurkan tanganNya menyelamatkan kita. Selain itu, saya juga merasa
diingatkan untuk mendengarkan peringatan. Jika saja para perompak Somalia itu
mendengarkan peringatan Kapten Phillips dan menyerah, tentunya mereka tidak akan tewas
mengenaskan. Namun, seringkali keegoisan dan harga diri serta kesombongan dan
pemikiran kita sendiri menghalangi kita untuk menyadari kebenaran akan peringatan-
peringatan tersebut. Saya percaya Tuhan tidak akan membiarkan umatNya jatuh dalam dosa
yang membawa kepada maut. Saya yakin, Tuhan sesungguhnya telah memberikan
peringatan-peringatan kepada kita, baik melalui teman-teman, sahabat, keluarga, atau
melalui firmanNya yang kita dengar atau kita baca dari kitab suci. Namun, seperti telah saya
sebutkan tadi, kesombongan kita sering membuat kita buta akan kebenaran. Kita lebih
mempercayai pemikiran kita sendiri daripada peringatan Tuhan. Mungkin suatu ketika
butuh teguran yang cukup keras untuk menyadarkan kita akan kebenaran firman Tuhan
yang berusaha memperingatkan kita supaya jangan sampai kita jatuh dalam dosa dan
penderitaan, mungkin juga suatu ketika kita cukup membutuhkan teguran yang ringan.
Bagaimanapun, peringatan-peringatan itu tidak seharusnya kita anggap remeh. Memang
kita tidak boleh menjadi penakut, tetapi menyadari peringatan akan membuat kita jauh
lebih waspada dalam bertindak.
Ketika merenungkan hal ini, saya teringat akan kisah Saul yang berkali-kali diperingatkan
oleh Nabi Samuel ketika ia berusaha membunuh Daud. Samuel telah memperingatkan Saul
agar menaati Tuhan dan tidak berbuat dosa lebih jauh lagi, tetapi Saul tidak
menghiraukannya. Ia justru semakin jauh dari Alkitab disebutkan bahwa ‘Roh Allah
meninggalkannya’. Jadi, sampai saat terakhir sesungguhnya Allah tetap berusaha untuk
80 | P a g e
membawa Saul kembali ke jalan yang benar, tetapi karena Saul tetap berkeras hati dan
menolak didikan Tuhan, akhirnya Roh Allah pun meninggalkannya.
Marilah kita berusaha dan berdoa, supaya kita tidak buta akan peringatan-peringatan Allah,
dan supaya Roh Kudus senantiasa meraja dalam diri kita, dalam hati dan pikiran kita, agar
apa yang kita lakukan sungguh dapat kita lakukan sesuai dengan kehendak Allah. AMDG!
“Ya Tuhan, bimbinglah kami dan bantulah kami agar kami dapat hidup sesuai dengan
kehendakMu, di jalan terbaik yang telah Engkau sediakan bagi kami,”- Ymu
81 | P a g e
MENJADI MANUSIA ‘SURGAWI’
Memang mudah bagi kita untuk bersyukur ketika keadaan yang kita alami penuh dengan
kebahagiaan. Demikian pula mudah bagi kita untuk memberikan nasihat bijak ketika
suasana hati kita sedang damai dan tenang.
Ketika menghadapi situasi yang sulit dimana apa yang terjadi tidak berjalan sesuai dengan
harapan kita, di situlah iman kita diuji. Ketika pendapatan yang kita peroleh dirasa tidak
sebanding dengan tanggung jawab yang harus kita miliki, kewajiban yang harus kita lakukan,
dan tidak sebanding dengan apa yang menurut kita layak untuk kita dapatkan...di situlah
kita bisa dan harus memilih apa yang harus dilakukan.
Dalam situasi seperti itu kebanyakan orang akan mengeluh, menyalahkan situasi, orang lain,
atau bahkan mempertanyakan Tuhan atas apa yang terjadi. Memang sangat manusiawi
ketika kita tidak memperoleh ‘sebanding’ dengan apa yang kita lakukan, kita menjadi marah
dan merasa diperlakukan tidak adil. Sangat manusiawi ketika kita menginginkan untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih ketika kita melihat apa yang dimiliki orang lain lebih baik
daripada apa yang kita punya. Sangat manusiawi ketika seseorang memberikan iming-iming
dan kita terbujuk untuk meninggalkan apa yang kita miliki demi mengejar sesuatu yang lebih
memberikan keuntungan. Sangat wajar kita merasa marah ketika kita diperlakukan tidak
adil, hak-hak kita dirampas atau dikurangi, kebaikan dan kesabaran kita dibalas dengan sikap
acuh tak acuh dan seolah tak peduli. Sangat manusiawi dan wajar ketika kita ingin
memberikan semua yang terbaik dan lebih baik untuk orang-orang yang kita kasihi, kita pun
berusaha untuk bisa memperoleh lebih banyak materi. Semua itu sangat wajar, sangat
manusiawi, dan memang itulah sifat dasar manusia di dunia ini.
Di tengah situasi seperti itu, apa yang akan kita rasakan ketika ada seseorang yang
memberikan nasihat-nasihat kepada kita untuk bersabar dan tidak menggantungkan
harapan kita kepada manusia, melainkan kepada Tuhan? Bagaimana tanggapan kita ketika
orang yang menasihati kita itu berada dalam situasi yang jauh berbeda dari kita? Mungkin
kita akan berkata, “Tentu saja dia bisa berkata seperti itu, dia tidak merasakan apa yang
saya rasakan,”
Saya boleh jadi termasuk orang yang masih beruntung karena kondisi kehidupan saya saat
ini masih cukup stabil. Saya bukan tulang punggung keluarga utama meskipun orang tua
saya sudah tidak lagi bekerja. Saya juga belum perlu memikirkan biaya sekolah anak, biaya
perawatan dan pengobatan anak, suami, atau istri. Maka bisa dibilang apa yang saya
peroleh saat ini, masih cukup bisa membuat saya bersikap tenang dan tidak terlalu
terpengaruh dengan keluhan-keluhan akan ketidakadilan yang dirasakan orang-orang di
sekitar saya meskipun barangkali apa yang saya peroleh sekarang pun masih di bawah rata-
rata apa yang seharusnya bisa saya peroleh jika saya berada di tempat lain.
82 | P a g e
Dalam situasi yang saya alami, mudah bagi saya untuk bisa memberikan nasihat kepada
orang lain yang sedang mengeluh dan resah karena pendapatannya dirasa kurang
dibandingkan dengan biaya dan kebutuhan hidup untuk dirinya dan keluarganya. Saya
membayangkan seandainya saya yang berada di posisi orang-orang itu, mungkin saya pun
akan mengeluh dan cemas, resah, berharap kondisi akan berubah, tetapi kenyataannya
kondisi tetap sama. Tidak ada perubahan positif yang tampak, seolah tidak ada lagi yang
bisa diharapkan dari apa yang ada saat ini. Saya paham bahwa sangat sulit untuk bisa
bersyukur dan tetap menjaga kualitas pekerjaan kita ketika kita merasa diperlakukan tidak
adil. Demikian pula menurut saya, sangat wajar pula ketika seseorang yang sudah berada
dalam situasi yang mapan, sekalipun mungkin apa yang didapatnya pun masih di bawah
standar yang seharusnya bisa diperolehnya, bisa memberikan wejangan atau nasihat kepada
orang-orang yang resah dan galau itu untuk tidak mempercayakan rezeki kepada manusia,
tetapi hendaknya orang-orang semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Lalu orang-orang
yang mendengar nasihat itu pun berkata, “Lalu bagaimana dengan kebutuhan hidup saya?
Apakah dengan berdoa saja saya dan keluarga saya akan kenyang? Apakah dengan berdoa
saja biaya rumah sakit anak saya akan lunas??”
Di dalam Alkitab tertulis, Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu
dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan
membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibr 13:5)
Ayat Alkitab tersebut mengingatkan agar manusia tidak terpaku pada pencarian materi.
Maka dalam hal ini, nasihat supaya orang tidak mempercayakan rezekinya kepada orang
lain, menurut saya memang benar. Manusia sepanjang hidupnya tetap harus percaya bahwa
Tuhan yang Mahabaik itu tidak akan membiarkan umat yang setia kepadaNya hidup dalam
kelaparan dan penderitaan. Pertanyaannya, seberapa besar iman kita untuk bisa tetap
percaya bahwa Tuhan akan mencukupkan kebutuhan hidup kita ketika situasi yang kita
alami sepertinya bertolak belakang dengan hal itu?
Namun demikian, bagi orang-orang yang memberikan nasihat kepada orang lain untuk tetap
bersabar dalam keadaan yang berkekurangan, Tuhan pun mengingatkan melalui firmanNya,
15Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan
sehari-hari, 16dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas
dan makanlah sampai kenyang!," tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu
bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? 17Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu
tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. (Yak 2:15-17)
Di sini kita diingatkan bahwa memang mudah untuk memberikan nasihat, tetapi semua
nasihat itu akan percuma saja jika kita tidak juga melakukan sesuatu yang dapat membantu
meringankan penderitaan orang lain. Memberikan nasihat itu baik, tetapi kata-kata bijak
tanpa tindakan nyata ibarat mobil mewah yang tidak pernah dinyalakan mesinnya, ia tidak
dapat berfungsi sebagaimana seharusnya sebuah mobil; ia tidak lebih dari sebuah pajangan.
83 | P a g e
Jangan sampai kata-kata bijak kita pun tak ubahnya seperti mobil mewah itu; memang indah
ketika dilihat, tetapi apa gunanya jika hanya bisa dilihat? Apa gunanya nasihat bijak jika
tidak ada tindakan nyata dari diri kita untuk bisa membantu orang lain yang kita nasihati itu?
Demikian pula sebagai orang yang tengah berada dalam situasi sulit, kita diingatkan bahwa
pencobaan apapun yang kita alami sesungguhnya akan membentuk kita menjadi semakin
kuat dalam iman jika kita mampu menghadapi ujian itu dengan senantiasa percaya kepada
Tuhan.
2Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam
berbagai-bagai pencobaan, 3sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu
menghasilkan ketekunan. 4Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang,
supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. (Yak 1:2-4)
Mengeluh, menyalahkan keadaan, menyalahkan atasan, atau bahkan mempertanyakan
rencana Tuhan, tidak akan mengubah apapun kecuali suasana hati kita. Pada akhirnya,
sukacita yang kita rasakan tergantung dari apa yang kita tanamkan dalam diri kita sendiri.
Keputusan untuk tetap bergembira sekalipun keadaan yang kita alami sulit, atau mengutuk
kesulitan yang kita hadapi dan hidup dalam kepahitan dan kemarahan, adalah sepenuhnya
tergantung dari diri kita. Alih-alih mengeluh akan keadaan yang menurut kita tidak adil dan
tidak memuaskan, tetap bersyukur atas apa yang masih boleh kita miliki dan mengusahakan
hal lain yang dapat kita lakukan daripada berdiam diri dan menyesali hidup, adalah
perbuatan yang jauh lebih bijaksana.
Untuk mengingatkan kita tentang bersyukur dalam keadaan sulit sekalipun, mungkin kita
bisa belajar dari kisah Ayub, yang sekalipun menerima banyak pencobaan yang bertubi-tubi
tetap masih bisa bersyukur dan memuliakan Tuhan. Dalam keadaan sulit yang penuh
dengan tantangan itulah kita bisa menjadi teladan sebagai orang-orang yang berusaha
untuk menjadi ‘manusia-manusia surgawi’ yang tidak serupa dengan dunia, yang tidak
hanya mengejar materi tetapi lebih mengejar harta surgawi. Memang tidak mudah dan akan
banyak orang yang mungkin berkata hal itu mustahil, namun justru dengan demikian kuasa
Tuhan yang memampukan kita untuk berusaha hidup penuh syukur di tengah kesulitan,
akan menunjukkan pada dunia bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Oleh karena itu,
apapun kondisi kita saat ini, marilah mengusahakan yang terbaik demi kebaikan semua
orang. AMDG
84 | P a g e