Ketika mendengar lagu Silent Night atau Malam Kudus dinyanyikan pada masa Natal, saya
terbayang akan suasana kelahiran Yesus berabad-abad silam.
Seperti kita tahu, Yesus lahir tidak di tempat yang mewah, tidak dalam kemeriahan dan
hingar bingar pesta pora. Yesus lahir di kandang domba, ditemani keluarga kudusNya dan
para gembala domba yang menerima kabar dari Malaikat Gabriel.
Pikiran saya pun terusik. Saat membandingkan kemeriahan Natal yang kita rayakan pada
masa-masa modern ini dengan situasi Natal yang sebenarnya waktu itu, hati saya terasa
miris. Kesederhanaan Kristus yang hadir ke dunia menunjukkan betapa Ia sangat amat
rendah hati. Yesus sang Juruselamat, Putera Allah, lahir ke dunia tanpa bergelimang
kemewahan sedikit pun. Jika kita membayangkan, siapa di antara kita yang mau lahir di
kandang? Namun, lihat apa yang dibiarkan Allah terjadi pada puteraNya.
Saya rasa kelahiran Yesus yang sederhana ini sungguh menyimpan makna yang mendalam.
Kerendahan hati, kerelaan untuk menderita, ketaatan akan apa yang harus terjadi dan
dialami oleh Yesus dan keluarga kudusNya, rupanya telah dimulai bahkan sejak sebelum
Yesus lahir. Kenyataan inilah yang mungkin sering kita lupakan.
Kita hampir selalu larut dalam kegembiraan dan kemeriahan pesta, tetapi kita justru sering
melupakan esensi sebenarnya dari Natal. Kidung Malam Kudus pun seakan hanya menjadi
sebuah lagu yang berlalu biasa saja. Padahal dalam lagu itu, tersembunyi kekhusyukan,
keindahan, dan kekudusan malam kelahiran Sang Juruselamat.
Malam Kudus, malam yang istimewa bukan karena meriahnya pesta, bukan karena
ramainya orang menyanyi dan makan besar...melainkan malam yang ‘kudus’ karena
kelahiran Yesus Kristus.
Lagipula bukan pula raja-raja atau bangsawan yang diundang dalam pesta kelahiran Yesus,
melainkan para gembala! Ini merupakan suatu tanda dan bukti bahwa Yesus datang untuk
memberitakan warta sukacita terutama kepada orang-orang yang kecil dan lemah. Sukacita
yang tidak sama dengan sukacita yang ditawarkan dunia. Sukacita yang akan selalu abadi,
karena setiap kali kita menerima Yesus dalam hati kita, maka Ia, Sang Sumber Sukacita itu
akan selalu menganugerahkan sukacita abadi dalam diri kita.
Marilah kita berusaha untuk lebih mendalami dan memaknai Natal, tidak hanya sekedar
larut dalam kegembiraan dan kemeriahan perayaannya, tetapi lebih dalam lagi berusaha
untuk mengisi hidup kita dengan nilai-nilai yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita. Semoga
kehadiran Kristus di malam yang kudus senantiasa membawaNya pula untuk hadir dalam
diri kita setiap saat, agar kita selalu penuh dengan sukacita surgawi dan mampu
mewartakannya kepada sesama kita di manapun kita berada. Amin. AMDG!
106 | P a g e
107 | P a g e
SUDAH LAYAKKAH AKU?
Merenungkan kehidupan yang saya jalani, kadang kala saya merasa saya seperti belum
berbuat banyak. Ketika saya menyaksikan sebuah acara talkshow di televisi dimana seorang
dokter menjadi bintang tamunya, saya sangat kagum dengan dokter tersebut. Demi sebuah
cita-cita mulia untuk membantu orang-orang yang terpencil, ia membuat rumah sakit di atas
sebuah kapal. Ia bahkan mendedikasikan pekerjaannya demi cita-citanya untuk membantu
orang-orang yang kurang mampu agar dapat memperoleh pengobatan yang layak. Saya
merasa apa yang saya kerjakan saat ini tidak berarti apa-apa dibandingkan apa yang
dilakukan dokter itu. Sungguh mulia cita-citanya, dan saya merasa apa yang saya cita-citakan
selama ini begitu remeh.
Saya rasa cukup banyak orang di dunia ini yang mencita-citakan sesuatu untuk dirinya. Saya
pun termasuk di dalamnya. Jarang sekali saya memikirkan anak-anak terlantar, orang-orang
yang kelaparan dan kekurangan air bersih, korban perang, korban bencana alam, dan orang-
orang lain yang jauh dari saya.
Hari ini saya diingatkan dengan sebuah tema, “Sudah layakkah hidupku untuk
kupersembahkan bagi Tuhan?” Saya sering sekali mengingatkan diri saya dan berdoa supaya
saya dapat hidup seturut kehendak Tuhan, agar hidup saya dapat menjadi sebuah
persembahan yang indah demi kemuliaan Tuhan. Namun, pada kenyataannya, hampir
sepanjang waktu yang saya pikirkan hanyalah kehidupan saya sendiri. Apa yang saya lakukan
lebih sering saya lakukan untuk kepentingan saya sendiri. Memang saya cukup sering
berusaha berbuat baik dan membantu orang lain, namun semua itu pun rasa-rasanya hanya
secuil dari yang bisa saya persembahkan untuk Tuhan.
Pertanyaan yang muncul dalam benak saya hari ini sangat mengusik dan menyentuh hati
saya: Sudahkah aku layak? Kalau boleh jujur, saya merasa saya belum cukup layak
mempersembahkan hidup saya. Sungguh, kehidupan saya bukanlah kehidupan yang
sempurna. Saya pun masih sering mengisi kehidupan saya dengan dosa. Marah,
membicarakan orang lain, tidak tulus dalam mengasihi, dan masih banyak lagi ajaran-ajaran
Tuhan yang belum bisa saya terapkan dengan sempurna.
Namun, kabar baiknya adalah...Tuhan tidak mempermasalahkan ketidaksempurnaan! Tuhan
menciptakan manusia dengan maksud tertentu. Saya rasa, Tuhan kita yang Mahapengasih
tidak akan mempermasalahkan sebesar apa yang bisa kita berikan untukNya. Ia memiliki
segalanya, Ia mampu menciptakan segalanya. Tuhan yang Mahabaik itu tentu akan sangat
menghargai apa yang bisa kita persembahkan bagiNya, sekalipun itu hanya bagian yang
sangat kecil. Kini masalahnya bukan pada Tuhan yang akan kecewa dengan apa yang kita
berikan, melainkan kesadaran diri kita sendiri. Apakah kita sudah puas dengan apa yang
telah kita persembahkan kepadaNya? Jika kita bisa berbuat lebih baik, jika kita bisa
mempersembahkan yang lebih berarti, mengapa kita tidak mengusahakannya?
108 | P a g e
Marilah berusaha yang terbaik dalam mempersembahkan kehidupan kita kepadaNya. Kita
pun perlu mohon rahmatNya agar Roh Kudus senantiasa membimbing kita agar kehidupan
kita sungguh layak dan semakin layak untuk dipersembahkan kepadaNya, Allah yang
Mahabaik dan Mahakasih itu. AMDG.
109 | P a g e