Menapaki jalan kehidupan memang ibarat menjalani sebuah petualangan yang tak jelas
akhirnya. Siapa yang akan kita temui, siapa yang akan menjadi teman seperjalanan kita, apa
yang akan kita hadapi esok hari, bagaimana kita akan hidup esok pun tidak pernah bias kita
pastikan. Kalau ada yang mengatakan bahwa di dunia ini yang pasti hanyalah bahwa
matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, sebenarnya itu pun tidak sepenuhnya
sebuah kepastian. Siapa yang bisa menjamin bahwa sang Surya tetap akan bersinar esok?
Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian tentu tidak bias kita sikapi dengan
keingintahuan akan apa yang akan terjadi kelak. Sudah banyak peristiwa yang kita alami,
yang mengajarkan kita bahwa sebenarnya tidak penting juga untuk mengetahui apa yang
akan terjadi besok. Yang terpenting adalah bagaimana kita menata hati dan pikiran kita,
sikap kita, supaya kita bias menghadapi hari esok dengan tenang dan penuh damai
sejahtera.
Dalam iman yang saya yakini, dikatakan bahwa manusia tidak perlu khawatir akan apa yang
akan ia makan, apa yang akan ia minum, apa yang akan ia pakai. Cukup percaya saja bahwa
apa yang kita butuhkan pasti akan disediakan oleh Yang Kuasa, niscaya hidup kita tidak akan
pernah berkekurangan. Mungkin ada baiknya juga istilah ‘berkekurangan’ kita maknai
dengan arti harafiah, bukan makna opini di mana kita pada akhirnya akan terjebak pada
kondisi membandingkan diri dengan kondisi orang lain. Kalau sekarang saya belum memiliki
mobil, apakah saya ‘berkekurangan’? Kalau saya belum memiliki makanan untuk dimakan,
apakah saya ‘berkekurangan’? Terkadang saya sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan
atau mengartikan kondisi berkekurangan itu. Nyatanya, ada juga orang-orang yang kita
pandang tidak memiliki apa-apa: tidak punya rumah, pakaian hanya sehelai yang dipakai,
makanan juga belum tentu dapat—tetapi orang-orang ini tidak mengeluh atas kondisinya.
Lalu apakah mereka bias disebut ‘berkekurangan’? Akan tetapi, ketika kita melihat tetangga
kita bias gonta-ganti mobil setiap bulan, belanja pakaian baru setiap hari, sementara kita
harus puas dengan sepeda motor dan belanja baju baru tiga bulan sekali, kita merasa
berkekurangan?
Apa yang kamu butuhkan akan disediakan. Kuncinya adalah bersyukur atas apapun kondisi
kita. Banyak ahli spiritual memberikan nasihat agar manusia bersyukur dalam segala
keadaan. Tampaknya mustahil untuk bias bersyukur dalam kondisi miskin, sakit, dan
menderita. Namun, lihatlah keluar diri kita. Ada orang yang tidak memiliki apa-apa tapi
masih bias bersyukur. Ada orang yang tidak lengkap anggota tubuhnya tapi masih bias
bersyukur. Apakah masih layak bagi kita untuk membandingkan kondisi kita dengan orang
lain dan tetap mengeluh?
Menghadapi hari-hari mendatang dengan sukacita dan damai sejahtera memang tidak
mudah. Bahkan untuk mendapatkan kedamaian pikiran saja seringkali kita harus menyendiri
103 | P a g e
dan memisahkan diri sesaat dari hingar-bingar serta kesibukan duniawi kita. Namun, ketika
kita kembali pada aktivitas kita sehari-hari, kita pun kehilangan kedamaian pikiran itu. Lalu
bagaimana? Apakah mustahil untuk hidup dalam damai di tengah kesibukan kita? Apakah
kita harus menjadi seorang biarawan untuk bias merasakan kedamaian batin? Tentu tidak,
kalau kita bias membiasakan diri melatih pikiran kita. Apa yang kita sebut dengan
kedamaian batin itu sesungguhnya adalah kondisi batin kita sendiri, bukan? Jika kita
membiasakan diri untuk berpikir lepas bebas akan apapun, tentu tidak mustahil untuk
merasakan kedamaian itu di tengah kesibukan duniawi yang kita alami. Saya tidak
mengatakan saya telah mendapat ‘pencerahan’. Namun, dari pengalaman saya, saya
merasakan sendiri betapa pentingnya untuk melatih pikiran kita agar lepas bebas; tidak
terlalu terikat dengan hal apapun atau siapapun. Lepas bebas tidak berarti kita acuh tak
acuh, tetapi lebih kepada member pengertian kepada batin kita bahwa apa yang terjadi di
luar kita mungkin tidak bias kita kendalikan, tetapi apa yang kita pikirkan, itulah yang akan
paling berpengaruh dalam hidup kita; itu bias kita kendalikan. Lepas bebas juga bukan
berarti pasrah kepada keadaan, melainkan sikap penuh syukur yang selalu percaya bahwa
apa yang terjadi akan berbuah baik. Jika saya sudah mengusahakan sesuatu tetapi gagal,
saya tidak akan larut dalam kekecewaan mendalam karena saya percaya bahwa kegagalan
saya pun punya maksud tertentu. Saya tidak pasrah pada keadaan dan kesulitan hidup; saya
akan tetap mengusahakan yang terbaik, tetapi saya percaya bahwa setiap usaha saya pun
akan diarahkan untuk sesuatu yang terbaik apapun hasilnya.
Kita diciptakan sebagai makhluk berakal budi. Kita diciptakan untuk mampu memegang
kendali atas pikiran kita. Kalau kita sampai dikuasai oleh pikiran kita, berarti ada sesuatu
yang tidak beres. Siapa tuannya? Bukankah kita sang pemilik pikiran dan hati kita? Oleh
karena kita adalah sang pemilik, seharusnya kitalah yang mengendalikan apa yang ada
dalam diri kita. Apa yang terjadi di luar diri kita: nasib, perlakuan orang lain kepada kita,
rezeki…mungkin tidak bias kita kendalikan. Yang bias kita atur adalah diri kita. Apapun yang
terjadi di luar diri kita tidak akan mempengaruhi hidup kita kecuali kita membiarkannya
masuk terlalu jauh dalam pikiran kita. Di sinilah pentingnya melatih pikiran. Di sinilah
pentingnya kita memiliki iman.
Apapun iman atau kepercayaan kita, tidaklah penting. Yang terpenting adalah bahwa iman
yang kita yakini itu akan membawa kita semakin dekat dengan kedamaian. Ada ketenangan
batin yang muncul, yang kita rasakan, setiap kali kita dating kepadanya dalam keputusasaan.
Ada kedamaian yang tak terlukiskan yang terpancar setiap kali kita berpaling kepadanya
dalam kemarahan. Iman itu seharusnya membawa manusia semakin damai, semakin
tenang. Apalah gunanya kita memiliki iman jika itu hanya membuat pikiran kita semakin
kacau dan tak terarah? Apalah gunanya kita berdoa kalau itu hanya akan membuat hati kita
semakin panas?
Maka pada akhirnya, ibadah yang kita lakukan hendaknya membuat kita semakin dekat
untuk menjadi manusia yang damai. Seperti apa manusia yang damai itu? Manusia yang
104 | P a g e
damai adalah manusia yang tidak akan bergeming apapun yang terjadi di luar dirinya. Ia
tetap bias mempertahankan sikap tenangnya sekalipun keadaan di sekitarnya menggodanya
untuk meninggalkan kedamaian dan ketenangannya. Sahabat-sahabat terkasih, marilah
melatih hati dan pikiran kita untuk lepas bebas; tidak peduli apa yang terjadi di luar diri kita,
yang penting kita harus mampu menjaga dan mengendalikan pikiran dan hati kita untuk
tetap tenang, tetap bersyukur, dan yang terpenting tetap bersukacita! Selamat beraktivitas
.
105 | P a g e