Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

MENGENDALIKAN HATI DAN PIKIRAN

Menapaki jalan kehidupan memang ibarat menjalani sebuah petualangan yang tak jelas

akhirnya. Siapa yang akan kita temui, siapa yang akan menjadi teman seperjalanan kita, apa

yang akan kita hadapi esok hari, bagaimana kita akan hidup esok pun tidak pernah bias kita

pastikan. Kalau ada yang mengatakan bahwa di dunia ini yang pasti hanyalah bahwa

matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, sebenarnya itu pun tidak sepenuhnya

sebuah kepastian. Siapa yang bisa menjamin bahwa sang Surya tetap akan bersinar esok?

Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian tentu tidak bias kita sikapi dengan

keingintahuan akan apa yang akan terjadi kelak. Sudah banyak peristiwa yang kita alami,

yang mengajarkan kita bahwa sebenarnya tidak penting juga untuk mengetahui apa yang

akan terjadi besok. Yang terpenting adalah bagaimana kita menata hati dan pikiran kita,

sikap kita, supaya kita bias menghadapi hari esok dengan tenang dan penuh damai

sejahtera.

Dalam iman yang saya yakini, dikatakan bahwa manusia tidak perlu khawatir akan apa yang

akan ia makan, apa yang akan ia minum, apa yang akan ia pakai. Cukup percaya saja bahwa

apa yang kita butuhkan pasti akan disediakan oleh Yang Kuasa, niscaya hidup kita tidak akan

pernah berkekurangan. Mungkin ada baiknya juga istilah ‘berkekurangan’ kita maknai

dengan arti harafiah, bukan makna opini di mana kita pada akhirnya akan terjebak pada

kondisi membandingkan diri dengan kondisi orang lain. Kalau sekarang saya belum memiliki

mobil, apakah saya ‘berkekurangan’? Kalau saya belum memiliki makanan untuk dimakan,

apakah saya ‘berkekurangan’? Terkadang saya sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan

atau mengartikan kondisi berkekurangan itu. Nyatanya, ada juga orang-orang yang kita

pandang tidak memiliki apa-apa: tidak punya rumah, pakaian hanya sehelai yang dipakai,

makanan juga belum tentu dapat—tetapi orang-orang ini tidak mengeluh atas kondisinya.

Lalu apakah mereka bias disebut ‘berkekurangan’? Akan tetapi, ketika kita melihat tetangga

kita bias gonta-ganti mobil setiap bulan, belanja pakaian baru setiap hari, sementara kita

harus puas dengan sepeda motor dan belanja baju baru tiga bulan sekali, kita merasa

berkekurangan?

Apa yang kamu butuhkan akan disediakan. Kuncinya adalah bersyukur atas apapun kondisi

kita. Banyak ahli spiritual memberikan nasihat agar manusia bersyukur dalam segala

keadaan. Tampaknya mustahil untuk bias bersyukur dalam kondisi miskin, sakit, dan

menderita. Namun, lihatlah keluar diri kita. Ada orang yang tidak memiliki apa-apa tapi

masih bias bersyukur. Ada orang yang tidak lengkap anggota tubuhnya tapi masih bias

bersyukur. Apakah masih layak bagi kita untuk membandingkan kondisi kita dengan orang

lain dan tetap mengeluh?

Menghadapi hari-hari mendatang dengan sukacita dan damai sejahtera memang tidak

mudah. Bahkan untuk mendapatkan kedamaian pikiran saja seringkali kita harus menyendiri

103 | P a g e

dan memisahkan diri sesaat dari hingar-bingar serta kesibukan duniawi kita. Namun, ketika

kita kembali pada aktivitas kita sehari-hari, kita pun kehilangan kedamaian pikiran itu. Lalu

bagaimana? Apakah mustahil untuk hidup dalam damai di tengah kesibukan kita? Apakah

kita harus menjadi seorang biarawan untuk bias merasakan kedamaian batin? Tentu tidak,

kalau kita bias membiasakan diri melatih pikiran kita. Apa yang kita sebut dengan

kedamaian batin itu sesungguhnya adalah kondisi batin kita sendiri, bukan? Jika kita

membiasakan diri untuk berpikir lepas bebas akan apapun, tentu tidak mustahil untuk

merasakan kedamaian itu di tengah kesibukan duniawi yang kita alami. Saya tidak

mengatakan saya telah mendapat ‘pencerahan’. Namun, dari pengalaman saya, saya

merasakan sendiri betapa pentingnya untuk melatih pikiran kita agar lepas bebas; tidak

terlalu terikat dengan hal apapun atau siapapun. Lepas bebas tidak berarti kita acuh tak

acuh, tetapi lebih kepada member pengertian kepada batin kita bahwa apa yang terjadi di

luar kita mungkin tidak bias kita kendalikan, tetapi apa yang kita pikirkan, itulah yang akan

paling berpengaruh dalam hidup kita; itu bias kita kendalikan. Lepas bebas juga bukan

berarti pasrah kepada keadaan, melainkan sikap penuh syukur yang selalu percaya bahwa

apa yang terjadi akan berbuah baik. Jika saya sudah mengusahakan sesuatu tetapi gagal,

saya tidak akan larut dalam kekecewaan mendalam karena saya percaya bahwa kegagalan

saya pun punya maksud tertentu. Saya tidak pasrah pada keadaan dan kesulitan hidup; saya

akan tetap mengusahakan yang terbaik, tetapi saya percaya bahwa setiap usaha saya pun

akan diarahkan untuk sesuatu yang terbaik apapun hasilnya.

Kita diciptakan sebagai makhluk berakal budi. Kita diciptakan untuk mampu memegang

kendali atas pikiran kita. Kalau kita sampai dikuasai oleh pikiran kita, berarti ada sesuatu

yang tidak beres. Siapa tuannya? Bukankah kita sang pemilik pikiran dan hati kita? Oleh

karena kita adalah sang pemilik, seharusnya kitalah yang mengendalikan apa yang ada

dalam diri kita. Apa yang terjadi di luar diri kita: nasib, perlakuan orang lain kepada kita,

rezeki…mungkin tidak bias kita kendalikan. Yang bias kita atur adalah diri kita. Apapun yang

terjadi di luar diri kita tidak akan mempengaruhi hidup kita kecuali kita membiarkannya

masuk terlalu jauh dalam pikiran kita. Di sinilah pentingnya melatih pikiran. Di sinilah

pentingnya kita memiliki iman.

Apapun iman atau kepercayaan kita, tidaklah penting. Yang terpenting adalah bahwa iman

yang kita yakini itu akan membawa kita semakin dekat dengan kedamaian. Ada ketenangan

batin yang muncul, yang kita rasakan, setiap kali kita dating kepadanya dalam keputusasaan.

Ada kedamaian yang tak terlukiskan yang terpancar setiap kali kita berpaling kepadanya

dalam kemarahan. Iman itu seharusnya membawa manusia semakin damai, semakin

tenang. Apalah gunanya kita memiliki iman jika itu hanya membuat pikiran kita semakin

kacau dan tak terarah? Apalah gunanya kita berdoa kalau itu hanya akan membuat hati kita

semakin panas?

Maka pada akhirnya, ibadah yang kita lakukan hendaknya membuat kita semakin dekat

untuk menjadi manusia yang damai. Seperti apa manusia yang damai itu? Manusia yang

104 | P a g e

damai adalah manusia yang tidak akan bergeming apapun yang terjadi di luar dirinya. Ia

tetap bias mempertahankan sikap tenangnya sekalipun keadaan di sekitarnya menggodanya

untuk meninggalkan kedamaian dan ketenangannya. Sahabat-sahabat terkasih, marilah

melatih hati dan pikiran kita untuk lepas bebas; tidak peduli apa yang terjadi di luar diri kita,

yang penting kita harus mampu menjaga dan mengendalikan pikiran dan hati kita untuk

tetap tenang, tetap bersyukur, dan yang terpenting tetap bersukacita! Selamat beraktivitas

.

105 | P a g e