MERINDING KALA MENGINGATMU
Merinding. Itu yang saya rasakan kala mencoba memikirkan beberapa pengalaman kemarin. Allah swt terasa begitu dekat, sehingga saya pun sampai pada satu kesadaran baru.
Februari-Maret merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh tim produksi di tempat kerja saya. Ini bukan karena kami akan mendapat tambahan gaji antara 50.000-100.000 sesuai UMK. Kerinduan itu di-sebabkan karena bulan tersebut merupakan saat diserahkannya perhitungan royalti pen-jualan buku setahun terakhir. Bagi kami, inilah saat panen.
Walaupun hanya dibayar dengan standar UMK, namun adanya royalti buku membuat kami bisa mendapatkan gaji ke-13 yang nilainya bisa berlipat ganda dibandingkan upah. Bahkan beberapa tahun lalu tim produksi buku matematika mendapatkan royalti hingga ratusan juta rupiah. Tidak heran jika waktu itu sejumlah teman bisa membeli sepeda motor baru, meng-up grade mobilnya, atau membeli tanah dan rumah. Akhir pekan begitu ditunggu teman-teman agar bisa hunting handphone atau laptop baru di Yogya. Begitulah kebiasaan yang pernah terjadi setiap habis pembagian royalti.
Namun kondisi sekarang berubah. Setelah pemerintah menerapkan kebijakan buku sekolah elektronik (BSE), buku pelajaran yang kami susun tidak lagi memberi royalti besar. Setiap tahun jumlah royalti terus menyusut. Kondisinya bagai seseorang yang terjun bebas dari lantai 30 ke dasar sumur tanpa batas. Angka nol pun tidak lagi berjajar di belakang angka yang tercetak di lembaran perhitungan royalti.
Tim produksi saya pun mengalami hal tersebut. Dua buku yang kami kerjakan hanya menghasilkan royalti 300 ribuan. Dari jumlah tersebut, sepertiganya harus diberikan pada tim lain yang pernah membantu pengerjaan buku. Sisanya baru dibagikan kepada belasan anggota tim saya.
Sebagai product leader, semestinya saya tidak perlu bingung membagi uang sejumlah itu. Saya cukup berpatokan pada persentase yang pernah kami sepakati bersama. Bukankah prosentase itu telah dijadikan pedoman pembagian selama ini? Ketika saya membagi berdasarkan per-sentase tersebut, muncullah angka-angka yang fantastik untuk disampaikan. Ada seorang lay outer mendapat royalti hanya Rp4.500,00. Saya sendiri sebagai penulis buku hanya mendapatkan Rp75.000,00.
Barangkali pembagian semacam itu pun sudah bisa disebut adil. Namun, batin saya masih merasa belum lega. Saya kembali teringat nasihat seorang senior dulu. “Ketika royalti yang akan disampaikan tidak memadai, sebaiknya kita kurangi perolehan royalti kita sebagai penulis, lalu tambahkan pada royalti teman-teman lay outer dan desainer. Insya Allah tidak rugi. Tambahan sekecil apapun tetap lebih baik bagi kita semua.”
Dengan bulat hati, saya kurangi sepertiga perolehan saya untuk teman-teman. Rincian perhitungan pun saya informasikan pada semua anggota. Alhamdulillah, mereka bisa mema-hami kenyataan tadi.
Nah, yang membuat saya merinding justru follow up yang Allah swt lakukan. Beberapa hari di bulan Maret ini Allah swt memberi ganti dari aksi kecil saya. Melalui perantaraan sejumlah relasi, ganti yang puluhan kali nilainya saya dapatkan. Kondisi ini juga saya alami kemarin. Sewaktu saya berbagi rejeki dengan anak-anak penghuni panti asuhan, beberapa hari ke-mudian Allah swt menggantinya dengan yang lebih banyak. Allahu Akbar. Ternyata Allah swt membayar lunas setiap kebaikan yang kita lakukan. Pada waktu yang sama Allah swt menunda pembalasan untuk setiap dosa yang kita kerjakan. Mengapa demikian? Barangkali Allah swt sengaja mengulur waktu agar kita segera memohon ampunanNya. Dengan cara ini, kita terhindar dari adzab yang berat.