Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

MARAH VS MARAH

Lho, kok marah? Heran saya dengan kemarahan yang tiba-tiba muncul ketika melihat Dzaky marah. Dia memukulkan layang-layang ke lantai. Ini gara-gara saya tidak menanggapi permintaannya. Waktu itu saya, ibunya, dan Tante Ika sedang mengobrol tentang pembuatan pagar rumah. Anak saya merasa terganggu dengan suara ramai kami. Dia lalu  meminta volume suara film Upin dan Ipin dikeraskan. Sekali permintaannya tidak kami respon, dia marah dan mencoba mencari perhatian dengan tindakan tadi.

Saya sebagai orang tua merasa terganggu dengan kerewelannya. Menurut saya, dia sudah bertindak tidak sopan di depan orang lain. Ini memalukan keluaga. Saya segera menjewer telinganya. Dzaky menangis. Namun saya tidak mencoba menghiburnya supaya reda tangisnya. Yang saya lakukan justru mengancamnnya: Berhenti menangis atau film dimatikan. Tentu saja dia semakin keras menangis.

Yang lebih mengherankan lagi ternyata emosi saya langsung meluap. Hebat!!! Masalahnya apa, eh tahu-tahu saya jadi punya kambing hitam. Dengan gegabah saya menuduh dia penyebab masalah pagi itu.

Bukankah seharusnya saya bersikap lebih sabar lagi kepada anak sendiri? Bukankah saya seharusnya bertanya dengan lembut penyebab sikap kasarnya? Selanjutnya tinggal saya penuhi permintaannya. Masalah selesai. Tidak perlu terjadi insiden itu. Namun semua itu ternyata tidak saya lakukan.

Barangkali kemarahan saya muncul dari rasa terkejut atas ekspresi emosional anak saya. Saya tidak suka dengan sikap kasar yang ditunjukkan Dzaky. Karena saya merasa tidak pernah mengajarinya bersikap kasar, maka saya marah.

Akan tetapi jika mau berpikir lebih jernih, sebenarnya saya tengah disodori sebuah cermin. Jangan-jangan inilah yang telah saya ajarkan kepada anak saya selama ini. Bahwa merajuk dan sikap kasar akan membuatnya berhasil meraih tujuan. Jika benar dia mempelajari hal itu dari orang tuanya, berarti sesungguhnya sayalah yang telah mendidiknya secara keliru.

Ini harus diwaspadai. Saya harus mengubah gaya mendidik saya agar Dzaky tidak menjadi orang yang merugi kelak. Maafkan ayah, ya nak.