Dongeng Sebelum Tidur
Sewaktu kecil, dongeng menjadi menu favorit saya. Bapak sering mendongeng sebelum tidur. Topiknya macam-macam. Kadang tentang kancil yang cerdik. Kadang tentang Budi yang baik hati. Kadang tentang si Banu yang nakal. Waktu itu, saya merasa semua dongeng begitu menarik. Berangkat tidur merupakan momen yang selalu dinantikan karena itu berarti saat untuk menyimak dongeng baru.
Sekarang, anak saya juga senang menyimak dongeng. Semula saya mendongeng supaya Dzaky mau berangkat tidur. Topik yang saya pilih pun acak. Namun saya selalu berusaha merumuskan dulu pesan moral yang ingin disampaikan. Pesan yang terlintas di pikiran itulah yang saya bingkai ke dalam cerita. Yang semula hanya cara untuk membujuk tidur anak, akhirnya dongeng menjadi wajib hukumnya. Protespun segera dilayangkan anak saya jika saya hanya merebahkan badan sambil mengipasinya dengan menggunakan kardus bungkus susu.
“Ayah, cerita!” Spontan kantuk yang telah membuai mata ngacir pergi.
Mengapa dongeng begitu menarik perhatian anak? Dari mengamati perilaku anak saya, paling tidak ada tiga alasan yang membuat anak tertarik dongeng. Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan daya imajinasinya. Sebuah dongeng tentu memiliki beberapa tokoh cerita. Melalui paparan lisan, anak membangun imajinasinya tentang setiap tokoh.
Saya kerap kaget ketika dia mencoba menggambarkan imajinasinya. Misalnya, waktu saya mendongeng dengan tokoh cerita mamooth, si gajah purba. Dzaky langsung menyela, “Mamooth itu gajah yang besar sekali, gadingnya panjang, bulunya lebat. Kalau berjalan, tanah akan berguncang. Buumm … buumm …! Kayak gempa, yah.” Hehe, gambarannya tentang mamooth seperti gambaran orang yang pernah ketemu mamooth saja.
Beberapa kali menyimak dongeng membuat Dzaky mampu menyusun kerangka dongeng versinya. Order yang diberikan pun menjadi lebih spesifik, “Ayah, cerita tentang harimau dan gorila!” Kalau seperti ini, saya sering memerlukan waktu untuk menyusun kerangka dongengnya. Kebetulan saya belum pernah bercerita tentang dua tokoh tadi. Sambil menyusun kerangka cerita, saya juga berpikir tentang pesan moral yang ingin disampaikan. Tahu bapaknya agak lama berpikir, biasanya Dzaky yang merangkaikan jalan cerita.
“Nanti harimau bertemu gorila. Terus harimau ingin maem jeruk. Terus gorila membeli jeruk dari toko. Terus gimana, yah?” Dari sini kemudian saya dapat menyambungnya. Nggak mati gaya, kan?
Kedua, dongeng menjadi media tepat untuk menanamkan berbagai nilai dan norma pada anak. Saya berusaha menyisipkan pesan moral dalam setiap dongeng yang disampaikan. Pesan itu bisa berupa nilai kejujuran, nilai kasih sayang, atau nilai kesehatan.
Suatu ketika saya meminjam karakter Upin dan Ipin. Dalam dongeng versi saya, Upin dan Ipin tidak mau menggosok gigi. Akibatnya mereka sakit gigi. Supaya sembuh, mereka harus menggosok gigi dengan rajin. Dari cerita tadi, saya pahamkan pada Dzaky arti penting gosok gigi. Alhamdulillah, dia tidak rewel lagi jika disuruh gosok gigi.
Dongeng juga membuat nasihat terasa nyaman diterima. Banyak nasihat yang disampaikan orang tua melalui perintah. Tidak jarang orang tua memilih metode marah-marah guna menyampaikan nasihat pada anak. Menurut saya, kedua cara tadi tidak efektif ditempuh. Anak cenderung menolak nasihat itu melalui sikap yang ditunjukkan. Nah, dongeng sangat tepat dipilih untuk menyosialisasikan nilai dan norma yang penting bagi mereka.
Ketiga, dongeng menjadi media komunikasi antara anak dengan orang tua. Kesibukan kerja dan aktivitas sosial yang dijalani sering menyikat habis waktu orang tua untuk bertemu anak. Mendongeng memungkinkan Anda untuk berkomunikasi dengan anak. Biasanya anak mengajukan pertanyaan berkaitan dengan cerita yang dia simak. Ketika menjawab pertanyaan tadi, Anda bisa menyisipkan pertanyaan balik padanya. Dari sini, Anda bisa mengungkap pengalaman sehari anak di sekolah atau waktu bermain bersama teman. Komunikasi yang terjalin itu akan mendekatkan hati Anda dengan hati mereka.
Sempatkah Anda mendongeng sebelum anak tidur? Menurut saya, ini saat yang tepat untuk mendongeng. Cobalah untuk membatasi dominasi tv dan internet dari kehidupan anak Anda. Selagi ruang pergaulan mereka masih sebatas rumah dan sekolah, selagi jiwa mereka masih putih. Mari kita bangun pondasi moral yang luhur agar anak-anak tidak tergilas arus zaman.