Saat Dzaky Sakit
Semoga Allah SWT memberikan kesembuahn bagi Dzaky. Demikian doa yang selalu saya panjatkan ke hadirat-Nya ketika dia sakit. Ya, inilah bukti kelemahan saya selaku manusia. Ketika Allah SWT berkehendak untuk memberikan nikmat sakit pada anak saya, saya langsung panik. Yang diminta hanyalah satu: kesembuhannya. Saya berharap Dzaky segera sembuh agar dia dapat kembali menghiasi hari-hari dengan keceriannya. Perasaan saya dan ibunya ikut menderita saat menemaninya yang tergolek lemah. Melihatnya tidak bisa bermain dengan teman-temannya membuat hati kami sedih. Mendengar keluhannya mendorong kami untuk lebih menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Melihat linangan air matanya membuat kami ingin selalu memeluknya agar tentram hatinya. Semua kami lakukan agar dia kembali ceria.
Selama menunggui Dzaky yang sakit, Allah swt sebenarnya tengah menyadarkan beberapa hal penting dalam hidup bagi saya. Pertama, saya menjadi sadar bahwa nikmat kesehatan itu sangat berharga. Sering kali kita baru menyadari arti penting suatu nikmat dari Allah SWT ketika nikmat itu sudah hilang dari tangan kita. Pada waktu sakit, kebebasan kita terbelenggu. Inilah yang terjadi pada Dzaky. Jangankan untuk berlari-larian dengan teman-temannya, sekedar bangun dari duduk saja dia merasa pusing. Pengalaman dia menyadarkan saya bahwa kesehatan itu menjadi bingkai bagi sekian banyak nikmat lainnya. Tengok saja keadaannya ketika sehat. Gerak-gerik anak saya begitu lincah. Dia nyaris tidak bisa diam. Ketika sehat, dia dapat berlari-larian bersama teman-temannya. Dia menentukan permainan apa yang mau dikerjakan. Namun, ketika sakit, semua kondisi itu surut. Tidak terdengar canda tawa yang dia lontarkan pada teman-temannya. Tidak saya lihat wajahnya yang penuh semangat itu bercerita tentang permainan yang dia kerjakan. Yang saya aksikan hanyalah tubuh lemah yang ingin selalu ditentramkan.
Kedua, sakit menjadi sarana untuk mendekat kepada Allah swt. Sebagai hamba, sakit membuat kita menyadari betapa lemahnya diri kita. Ternyata kita tidak mampu menolak datangnya penyakit pada diri anak. dzaky sakit merupakan kehendak Allah swt. saya dan ibunya tidak mampu menolak kehadiran penyakit tadi kendati kemarin kami sudah mengupayakan agar Dzaky tetap sehat. Obat yang saya upayakan belum menunjukkan khasiatnya. Pengalaman ini menegaskan kemahakuasaan Allah swt atas diri semua makhluk-Nya dalam benak saya. Di tengah perasaan tidak berdaya inilah saya tersadar untuk memohon kepada Allah. Namun kesadaran tadi sempat memunculkan keraguan dalam hati mengingat terlalu besarnya dosa dan maksiat yang saya perbuat. Saya bagaikan orang yang menggali kubur saya sendiri. gunungan tanah di sekitar lubang terus meninggi seiring dosa-dosa yang terus saya lakukan. Beruntung saya sempat teringat dengan tamsil dalam nasyid Raihan yang mengatakan: selangkah ku kepada-Mu, seribu langkah Kau padaku. Kalau Allah swt begitu mudah memberikan ujian berupa sakit, tentu Allah juga sangat mudah memberikan anugerah berupa sehat. Saya pun memberanikan diri melangkah ke hadirat Allah swt demi kesembuhan Dzaky. Ya Allah, saya mohon kesembuhan bagi anak kami. Ringankan sakitnya, ya Allah. Kembalikan keceriaan hatinya karena keceriaannya menghadirkan kecerahan di langit rumah kami.
Ketiga, sakitnya Dzaky merupakan tonggak bagi saya untuk mengevaluasi diri. Saya bisa rehat sejenak dari rutinitas hidup yang selama ini saya jalani. Ternyata selama ini Allah telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar, bukan hanya kuantitas. Sayangnya saya lalai dalam mensyukuri karunia tersebut. Memang saya menyadari bahwa seandainya saya bisa menghaturkan lautan syukur, itu tidak sebanding dengan setitik nikmat yang Dia berikan. Akan tetapi, saya percaya Allah Mahaadil. Tuhan tidak hanya melihat besarnya wujud syukur hamba-Nya, namun Allah swt juga bisa menghargai upaya makhluk-Nya dalam mensyukuri karunia. Apabila seorang hamba baru berniat berbuat baik saja bisa diperhitungkan sebagai satu kebajikan, tidak mustahil Allah swt memperhitungkan sekecil apapun upaya hamba-Nya dalam mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Saya pun teringat dengan iming-iming hadiah yang Allah swt janjikan bagi hamba yang bersyukur. Barangsiapa bersyukur, niscaya Allah akan menambahkan nikmat-Nya. Sebaliknya, jika kita mengingkari nikmat pemberian Allah, kita akan merasakan betapa pedihnya azab yang Allah ancamkan. Derita Dzaky saat sakit merupakan contoh kecil hilangnya satu anugerah Allah bagi keluarga saya. Karena saya tidak ingin Allah swt mengurangi anugerah yang lainnya, saya harus berubah sikap. Saya bertekad untuk menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur. Saya tidak mau menjadi bagian dari orang-orang yang kufur nikmat. Selama ini saya terlalu abai terhadap perintah-perintah Allah. Mulai saat ini, saya akan bersikap lebih serius dalam melaksanakan perintah-Nya. Selama ini kekikiran saya mencegah tangan saya terulur kepada orang lain yang memerlukan. Mulai saat ini, saya akan lebih membuka tangan.
Jika menggunakan kerangka berpikir Ibn Sina, barangkali ada yang menilai pilihan sikap saya bagaikan orang yang tengah berniaga dengan Allah swt. Kita memperlakukan Allah dengan baik karena kita berharap Allah akan memberikan imbalan yang memuaskan hati. Atau ada yang mengelompokkan sikap saya sebagaimana sikap budak. Kita bersikap baik kepada Allah karena kita takut dengan murka-Nya. Ketakutan ini yang mendorong kita berbuat sesuai kehendakNya. Penilaian semacam itu sah-sah saja Anda miliki. Namun, saya pribadi melakukan hal tersebut karena mencoba meniru sikap seorang arif dalam pemikiran Ibn Sina. Kita menyadari bahwa Allah telah memberikan begitu banyak nikmat dalam kehidupan kita. Ibadah yang kita lakukan merupakan bentuk balas jasa atas segala kebaikan yang sudah Allah berikan. Ya Allah, jadikan kami sebagai hamba-hamba yang pandai mensyukuri nikmat. Amin.