Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

Bakso Penthol Memukul Jiwa

 

Sebenarnya aku yakin bahwa banyak hal yang diajarkan kepada kita sepanjang hidup. Karena hidup kita dijalani melalui hitungan hari-hari, maka sepanjang hari itu sesungguhnya Allah SWT mengajarkan aneka hikmah. Tentu saja hikmah yang akan menjadikan diri kita semakin dewasa. Namun, sayangnya tidak setiap saat aku menyadari adanya hikmah tersebut. Inilah yang kemudian membuatku merasa tidak memiliki pelajaran baru dari waktu yang Allah SWT gelar bagiku.

Lantas, bagaimana cara menagkap hikmah dari sekian banyak peristiwa yang kita alami sepanjang hari?

Menurutku, dengan melihat lebih jeli setiap pengalaman kita. Kemudian memunculkan pertanyaan kritis tentang pengalaman tersebut. Niscaya kita akan mampu menemukan simpulan hikmah yang dapat diuraikan.

Seperti yang kualami pagi ini.

Jam 7.20 pagi. Aku harus segera melaju ke Intan sebab kantor masuk jam 7.30. Motorku menyusuri jalan kampung pinggir rel kereta api. Sampailah di titik penyeberangan. Aku harus melintasi rel ganda itu untuk mencapai jalan kampung Karanganom, lokasi Intan berada.

Posisi jalan kampung itu lebih rendah daripada perlintasan kereta. Kebetulan ada seorang menuntun sepeda yang tengah melintasi rel. Aku berhenti sejenak, menunggu orang itu selesai menyeberang. Sambil memindahkan gigi sepeda motorku mataku memperhatikannya. Masya ALLAH, ternyata orang itu seorang nenek yang tengah menuntun sepeda tua. Di boncengan belakang terdapat keranjang seng lengkap dengan dagangannya. Nenek itu berjualan bakso penthol. Ini sejenis makanan terbuat dari tepung kanji dan kuah daging. Anak-anak kecil menyukai jajanan itu.

Namun yang membuatku terhenyak bukanlah karena jajanan yang ditawarkan sang nenek. Hatiku tersentak saat menyadari bahwa orang yang tengah menuntun sepeda sarat beban itu adalah seorang nenek tua. Pikiranku memunculkan sejumlah tanya. Mengapa sang nenek bekerja seperti itu? Untuk apa nenek ini bekerja keras? Apakah nenek itu bekerja dengan hati bahagia? Tega sekali keluarganya membiarkan sang nenek bekerja keras begitu.

Masih banyak lagi pertanyaan yang sebenarnya bisa dimunculkan. Akan tetapi hatiku terhenyak saat sampai pada pertanyaan, bagaimana pula dengan diriku? Ah, aku menjadi malu jika membandingkan diriku dengan nenek tadi. Aku malu karena aku terlalu banyak mengeluh dengan segala yang kupunya saat ini. Yang nampak di depan mata hanyalah kekurangan-kekurangan. Padahal sesungguhnya banyak sekali nikmat Allah yang dilimpahkan padaku hingga saat ini. Aku tidak harus bekerja sekeras sang nenek untuk mendapatkan rejeki yang Allah tetapkan. Aku tidak harus berangkat dengan perasaan penuh harap dan berjuang keras untuk mewujudkan harapan tersebut sepanjang hari. Segala yang kulakukan nampak jauh lebih ringan daripada yang harus dikerjakan sang nenek. Namun, mengapa aku tidak mensyukuri segala nikmat tersebut?

Padahal ALLAH sudah menegaskan bahwa sangat banyak nikmat yang telah dilimpahkan kepada manusia. Tapi sangat sedikit hamba yang menyadarinya. Lantas, nikmat dari Tuhanmu yang mana lagi yang kita dustakan?