Jangan bugil di depan kamera!
Fantastik! Kompas (9/04/2010) mengangkat hasil survey tentang orientasi remaja Indonesia terhadap pornografi. Menurut survey tersebut, 97% responden remaja mengaku pernah menikmati pornografi. Yang lebih mengejutkan, 62% responden mengaku pernah melakukan hubungan badan.
Jika dikaitkan dengan realitas kehidupan sekarang, sekilas tidak ada yang istimewa dari hasil survey tersebut. Masyarakat sudah bisa hidup rukun dengan pornografi. Padahal yang porno itu selalu panas. Terbukti panasnya pornografi tidak pernah terkalahkan oleh isu politik terpanas di negeri ini. Diculiknya Miyabi ternyata langsung menculik perhatian sebagian kita dari huru-hara mundurnya SMI.
Akan tetapi saya lagi tidak ingin membahas SMI apalagi Miyabi. Bagi saya, ada yang perlu dicermati lebih jauh berkaitan dengan hasil survey tersebut. Saya teringat lontaran pendapat Sony Setyawan, penggagas kampanye jangan bugil di depan kamera. Sinyal tersebut disampaikan Sony beberapa waktu lalu dalam acara Kick Andy.
Pornografi menjadi salah satu perhatian utama masyarakat bukan hanya karena daya tariknya yang begitu kuat. Mereka yang sudah berkeluarga saja tetap keranjingan dengan sensasi porno. Apalagi remaja yang baru menggelegak rasa ingin tahunya. Sorotan masyarakat juga berkaitan dengan dampak negatif pornografi. Sudah banyak kajian yang membahas akibat buruk pornografi dari berbagai sudut pandang. Ada yang mengaitkan pornografi dengan keharmonisan keluarga. Laporan yang terakhir membahas efek pornografi terhadap merosotnya perekonomian nasional Amerika Serikat.
Fenomena pornografi tidak bisa diberangus begitu saja. Selain karena peminatnya yang terus bertambah, pornografi juga didukung oleh kepentingan kapitalistik. Cukup memakai logika sederhana untuk memahami pernyataan tadi. Pornografi itu barang dagangan yang dicari banyak orang. Produk porno mengalahkan buku best seller dan film box office apapun. Wajar bila kemudian produsen pornografi berlomba-lomba menyuplai per-mintaan pasar tadi. Pemasaran secara terang-terangan dilakukan melalui situs-situs porno. Sementara pemasaran produk dalam bentuk DVD dan VCD dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh banyak penjual cakram padat kaki lima. Nah, seandainya jumlah remaja indonesia itu mencapai 100 juta orang dan 62% dari mereka mengonsumsi produk pornografi, betapa banyak pemasukan yang diperoleh oleh sang produsen. Apalagi pemasarannya di-lakukan dengan menjangkau seluruh pelosok dunia.
Para pelaku bisnis pornografi kini semakin lihai dalam melancarkan aksinya. Semula mereka hanya merekam adegan esek-esek yang dilakukan oleh bintang film porno. Peng-ambilan gambarpun dilakukan di studio. Namun, sekarang pelaku bisnis pornografi sudah go public. Mereka mengiming-imingi konsumennya untuk menjual gambar erotis yang direkam bersama pasangan. Bahkan menurut sony, sedikitnya terdapat lima situs porno di indonesia yang membuat penawaran terbuka tadi. Konon, mereka bersedia membeli setiap menit adegan mesra yang dimiliki dengan harga 100.000 rupiah.
Mengapa muncul tawaran itu? Ternyata hal itu berkaitan dengan disematkannya fitur perekam gambar pada telepon seluler. Banyak anak muda tergoda untuk merekam adegan mesra mereka melalui ponsel. Gambar yang direkam pun bervariasi, mulai dari pose telanjang sampai adegan hubungan seksual. Semula gambar tersebut hanyalah untuk konsumsi pribadi. Barangkali inilah ‘prasasti cinta’ yang mereka pahatkan. Namun demi alasan ekonomis atau aktualisasi diri, foto dan video itu berpindah ke tangan pelaku bisnis esek-esek. Bagaikan kanker, gambar porno me-nyusup cepat ke seluruh kalangan.
Sony khawatir Indonesia sudah masuk pada era industri pornografi yang dilegalkan. Dia membuat klasifikasi pembuatan video porno menjadi enam peringkat. Peringkat pertama adalah video porno yang dibuat secara iseng. Misalnya, rekaman gambar telanjang seseorang yang dibuatnya sendiri.
Peringkat kedua adalah video porno yang dibuat atas nama cinta. Contohnya, sepasang kekasih yang ingin adegan mesranya didokumentasikan. Sayangnya, pihak wanita sering menjadi korban. Dia tidak menghendaki adegan mesranya direkam apalagi disebarluaskan, tetapi pihak lelaki me-maksanya. Peringkat ketiga, yaitu mengambil gambar adegan seksual atau ketelanjangan dengan menggunakan kamera tersembunyi. Tanpa disadari, ada kamera yang meng-abadikan momen itu. Orang yang direkam baru mengetahuinya setelah gambar tersebut beredar di masyarakat.
Peringkat keempat adalah pembuatan video porno yang sengaja dilakukan untuk tujuan komersil. Inilah yang dilakoni oleh bintang film porno seperti Miyabi. Peringkat kelima adalah pembuatan video porno tentang adegan perkosaan. Sedangkan peringkat keenam adalah pembuatan video porno yang me-libatkan anak-anak.
Video mesum apa yang pernah Anda putar? Gambar porno apa yang pernah Anda saksikan? Ah, tidak penting menjawab pertanyaan itu. Walau kita menyaksikannya dengan sembunyi-sembunyi demi alasan moral, ternyata adik atau anak kita sudah melangkah lebih jauh. Mereka telah mempraktikkannya bersama pasangan. Bahkan, ada yang berani unjuk gigi dengan mempertontonkan ‘kepribadiannya’ di depan umum. Na’udzubillahi min dzalik.
Tidak aneh jika sekarang Depdikbud mengangkat isu pendidikan karakter bangsa untuk membangun masyarakat yang lebih beradab. Namun, kampanye ini akan segera dikenang sebagai jargon semata jika tanggung jawab mendidik generasi muda hanya dibebankan pada guru di sekolah. Supaya efektif, peran aktif orang tua – yang sesung-guhnya menjadi guru utama dan pertama bagi anak- sangatlah diperlukan. Mari jaga diri dan keluarga kita dari murka Allah swt!