Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Jadi Ibu Harus Cerdas

Catatan harian ini memang telah berselang hampir 3 tahun lalu. Ini tentang kasih sayang ibu yang begitu besar pada anaknya. Sayangnya, cara yang beliau tempuh kurang tepat. Berharap ada yang bisa menjadikannya sebagai bahan renungan, maka aku beranikan diri mengunggahnya.

Hari Minggu, 26 Agustus 2007, aku mau pulang ke Klaten bersama anak dan istriku. Mereka seminggu tinggal di Kiyangkong dan Lugosobo menemani simbah dan simbah buyut yang sakit. Alhamdulillah, kedatangan Dzaky menjadi hiburan tersendiri bagi simbah-simbahnya.

Agar dapat berjalan pulang dengan nyaman, kami sepakat naik travel rahayu persada. Karena agen travel itu di Purworejo tidak melayani rute Purwokerto-Solo, aku mesti memesan tiketnya di agen Kutoarjo. Aku menunggu di pinggir jalan Purworejo-Jogja karena travel tidak masuk kota Purworejo. Menurut rencana travel berangkat pukul 07.30. Akan tetapi travel baru datang satu jam kemudian. Segera barang-barang bawaan dimasukkan. Sopir kemudian membuka pintu depan. Ternyata sudah ada dua perempuan berjilbab di bangku depan. Mereka ibu anak. Dari tampilannya, aku tahu mereka orang kaya.

Si ibu berkata kepadaku sambil makan apel, “Ya, saya pindah, tapi satu aja ya.”

Aku kaget dengan kata-katanya. “Lho, saya pesan dua tempat. Bagaimana dengan istri saya? Dia mau duduk di mana?” kata-kataku meninggi karena aku berusaha mendapatkan hakku yang ingin direbut ibu tadi.

“Toleransi, pak, toleransi,” kata ibu itu.

Aku tidak paham dengan toleransi yang dimaksudnya. Sementara sopir juga hanya diam.

Aku tegaskan pada ibu itu,”Saya minta bangku seperti yang saya pesan.”

Akhirnya, ibu itu menyuruh sopir mengambilkan kruk di belakang.

Aku termenung. Ternyata gadis itu membutuhkan kruk untuk pindah bangku. Dia nampak kerepotan. Aku berusaha membantu, tetapi ibu itu menukas, “Gak usah!”

Si ibu marah. Dia mengomel. Aku dikatakan sebagai orang super egois. Untung omelannya teredam oleh suara mesin mobil. Tetapi pada istriku yang ada di belakangku, dia mengancam,” Tak sumpahin kamu!”

Kejadian tersebut merusak suasana perjalanan keluargaku. Dzaky yang biasanya ceria menjadi murung. Aku sempat melihat Dzaky yang menengok ke bangku belakang. Tetapi dia tidak tersenyum. Bahkan anakku nampak ketakutan. Entah apa yang sempat dilihatnya tadi.

Istriku mengontak agen travel di Kutoarjo. Dari petugas agen, kami tahu bahwa ibu dan anaknya itu penumpang dari Purwokerto. Agen meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Istriku bermaksud meminta maaf lewat hp atas kejadian itu. Istriku enggan meminta maaf secara langsung karena mungkin ibu itu masih marah. Sayangnya, petugas tidak tahu nomor hp ibu itu.

Kejadian tersebut mengajarkan beberapa hikmah padaku. Pertama, aku melihat satu bukti besarnya kasih sayang ibu kepada anaknya. Ibu itu mungkin ingin memberikan pelayanan yang baik bagi anaknya yang habis mengalami kecelakaan. Keinginan tadi dia wujudkan dengan menempatkan anaknya di bangku depan walaupun bangku depan sudah dipesan orang lain.

Kedua, ibu itu berpikir bahwa keinginan itu pasti disetujui oleh semua orang. Dia akan bernegosiasi dengan pemesan bangku depan supaya anaknya bisa tetap duduk di depan. Saat negosiasi denganku berlangsung, dia berusaha menyampaikan keinginannya. Dia ingin aku setuju dengan rencananya.

Ketiga, ibu itu ternyata gagal menyampaikan keinginannya kepadaku dengan gamblang. Hal ini terlihat dari terjadinya kesalahpahaman antara aku dengan dia. Jika ibu itu menjelaskan padaku bahwa anaknya habis kecelakaan dan akan repot pindah bangku, tentu aku akan mempersilakan dia tetap duduk di depan. Sayangnya, dia tidak ungkapkan alasan tersebut. Apalagi sikap ibu itu bukan sikap yang tepat untuk bernegosiasi. Semestinya dia bangkit dari duduknya dan menemuiku. Tapi yang dia lakukan hanyalah duduk sambil memakan apel, sehingga aku berpikir ibu ini ingin bertindak semaunya sendiri. Berdasarkan pemikiran inilah, aku menegaskan,”Saya minta bangku seperti yang saya pesan.”

Keempat, mungkin ibu itu malu dengan kondisi anak gadisnya. Menurut cerita sopir, gadis itu tertabrak sepeda motor saat berjalan bersama temannya di kampus. Akibat kecelakaan itu, dia harus memakai kruk. Nah, kondisi si anak mungkin dimaknai sebagai aib oleh ibunya. Cacat anaknya dianggap akan mengurangi kehormatan dirinya di mata orang lain. Ini harus ditutup-tutupi. ketika aku meminta bangku itu, aku dianggap mempertontonkan aib dirinya kepada orang banyak. Ibu itu merasa harga dirinya jatuh. Sebagai reaksinya, dia marah dan menyumpahi aku sekeluarga.

Kelima, kehormatan diri kita tidaklah ditentukan oleh materi yang kita miliki. Orang lain akan menghormati kita jika kita dapat bersikap tepat dalam setiap keadaan. Seperti halnya ibu itu. Secara materi, ibu itu nampak seperti orang kaya. Dandanannya mencerminkan hal itu. Selera makannya juga. Barangkali dia memang istri seorang pejabat atau petinggi negara ini. Selama ini dia mendapat penghormatan dari anak buah suaminya di kantor. Akibatnya, dia merasa semua orang harus menghormatinya pula. Padahal itu keinginan yang tidak realistis. Tidak setiap orang tahu suaminya dan kekuasaan yang dimiliki. Apalagi dengan dirinya sebagai ‘istri pak pejabat’. Maka wajar jika dia tidak mendapat penghormatan sebagaimana yang diterima di lingkungan kerja suaminya. Atau mungkin dia istri pengusaha kaya yang terbiasa dilayani. Dia berpikir semua orang harus melayaninya pula sebagaimana perlakuan para buruh kepadanya. Nah, ketika aku meminta hak atas bangku yang kupesan, dia merasa aku telah berbuat kurang ajar kepadanya.

Keenam, semestinya kita mengubah cara pandang tentang musibah dan orang lain. Bahwa musibah bukanlah suatu hukuman yang Allah berikan kepada kita. Musibah diberikan Allah untuk mengukur tingkat keimanan manusia kepada Allah. Mungkin ini yang belum berhasil dilakukan ibu tadi. Ketika anaknya mendapat kecelakaan, dia menganggap itu sebagai hukuman yang tidak adil. Mengapa kejadian itu menimpa diri anaknya yang sangat dibanggakan? Mengapa Allah tidak mengabulkan setiap harapan yang dia miliki? Inilah gugatan yang menggelayuti benak si ibu, hingga dia merasa mendapat aib besar dengan kondisi anaknya yang mesti memakai kruk. Sedangkan tentang orang lain, selama ini kita sering menilai orang lain berdasarkan prasangka kita. Seperti yang dilakukan ibu itu. Kebetulan teman duduk di bangku belakang adalah seorang laki-laki cacat. Itu sepenglihatan istriku. Nah, barangkali dia merasa tidak pantas duduk bersama laki-laki itu. Mungkin tindakan itu dapat menurunkan harga dirinya di mata orang lain. Karena anggapan itu, dia ingin pindah tempat duduk.

Ketujuh, seorang ibu harus cerdas. Tujuannya agar ibu dapat memberikan yang terbaik bagi anaknya serta dapat bersikap bijaksana. Tanpa kecerdasan, ibu akan gagal menjalankan tugasnya. Sedangkan sikap bijaksana diperlukan saat berhubungan dengan orang lain. Semua itu memerlukan latihan yang panjang.