wang sinawang
Wong urip iku padha wang sinawang.
Ungkapan berbahasa Jawa tersebut me-nunjukkan bahwa kita saling memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Inilah yang melahirkan dinamika dalam kehidupan bersama.
Ketika kita melihat rekan kita memiliki suatu barang, kita lalu ingin memilikinya pula. Munculnya keinginan tersebut mendorong kita berusaha untuk mewujudkannya. Jika dana mencukupi, segera kita beli barang yang sama. Apabila dana belum ada, kita pun berusaha menabung sebagian uang kita.
Selama masa mengumpulkan tersebut muncullah beragam pengalaman yang mewarnai emosi kita. Ada rasa tak sabar menanti saat cukupnya tabungan untuk men-dapatkan barang tadi. Ada rasa kecewa ketika kita harus menggunakan tabungan tersebut untuk keperluan mendadak yang lebih penting. Pada kondisi semacam ini, kita cenderung menilai teman yang sudah memiliki barang idaman kita itu pasti bahagia.
Di sisi yang lain, tahukah Anda bahwa teman kita juga menganggap kita hidup bahagia? Karena ternyata barang yang dimiliki tersebut menuntut biaya tidak sedikit untuk me-rawatnya. Bisa jadi biaya itu sudah sangat besar sementara hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan. Bisa jadi barang tersebut sudah tidak memberikan kepuasan batin bagi pemiliknya, sehingga si pemilik merasa iri justru pada orang yang tidak memiliki barang tersebut.
Barangkali akan lebih mudah memahami uraian tersebut jika kita buat satu analogi yang konkret. Saat itu saya ingin sekali punya laptop. Melihat teman-teman yang sudah memiliki laptop, saya merasa iri. Wah, pasti senang jika punya barang tersebut. Saya membayangkan banyak hal yang bisa mereka lakukan dengan laptopnya. Sementara saya tidak bisa me-lakukan hal yang sama karena belum punya. Dari sini tumbuh keinginan saya untuk memiliki laptop. Tapi karena saya tidak punya cukup uang untuk membelinya, saya harus bersabar menungu uang terkumpul dulu. Entah kapan terwujud, saya belum tahu.
Nah, di saat yang sama, teman-teman yang sudah punya laptop berpikir bahwa laptopnya sudah tidak lagi memberi kepuasan batin baginya. Dia yang dulu mengira dirinya paling bahagia karena punya laptop sekarang justru merasa terbebani dengan barang tadi. Mengapa demikian?
Ternyata memiliki laptop berarti pengeluaran baru. Dia harus beli tas laptop karena laptopnya tidak berbonus tas. Dia harus membeli modem agar bisa online pakai laptop. Dia harus beli cool pad agar laptopnya tidak cepat panas. Dia juga harus membawa-bawa laptopnya yang terasa berat. Akhirnya dia merasa bosan dengan semua itu sehingga memilih meninggalkan laptop tersebut di rumah. Ke kantor dia seperti halnya karyawan yang tidak berlaptop.
Inilah yang saya maksud dengan wang sinawang. Bahwa setiap orang saling melirik dan membandingkan kondisinya dengan kondisi orang lain. Ketika melihat kondisi orang lain tampak lebih bahagia, dia merasa kon-disinya tidak membahagiakan. Tapi ternyata mekanisme logika seperti itu justru membuat hidup kita hanya tertuju kepada materi. Astaghfirullahal’adhim.