Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

Keinginan Tak Selalu Yang Kau Butuhkan

Inilah alasan yang paling logis disampaikan untuk menentramkan batin kita ketika gagal meraih sesuatu  yang diinginkan. Memang  banyak keinginan yang kita tumbuhkan. Setiap saat pun terus bertambah. Melihat orang lain beli sesuatu, langsung tumbuh keinginan kita untuk memiliki barang yang sama. Waktu berjalan-jalan kita melihat baliho iklan produk baru.  Kita pun ingin segera memiliki barang tersebut. Menonton televisi pun menumbuhsuburkan keinginan dalam hati.

            Saya sempat merasa heran dengan keinginan saya yang selalu bertambah. Mengapa bisa sebanyak ini? Setelah saya mengambil jarak dari pusaran keinginan itu, saya pun menemukan pemicunya. Menurut saya, keinginan berkembang bak jamur di musim hujan karena saya memberi nilai terlalu tinggi untuk setiap barang yang diinginkan.

            Ambil contoh pengalaman pribadi saya. Sewaktu teman saya membeli laptop, saya pun langsung ingin memiliki barang yang sama. Sekian lama pikiran saya terbebani oleh keinginan tadi. Saya ingin mempunyai laptop karena itu akan sangat membantu dalam bekerja. Sebagai penulis, saya ingin setiap saat dan setiap waktu bisa menuangkan apa yang terlintas dalam benak. Apalagi saya juga tengah membangun jaringan dengan orang-orang yang bervisi saya di dunia maya. Dengan laptop saya akan bisa melakukan hal tersebut. Itulah dasar pemikiran yang mengobarkan keinginan saya.

            Setiap keinginan yang terus dipelihara akan menggerakkan alam bawah sadar untuk mewujudkannya. Begitulah nasihat yang pernah saya terima. Karena sering saya pikirkan, akhirnya keinginan punya laptop sering muncul dalam obrolan saya dengan istri. Akan tetapi, lama-lama istri saya kesal juga. Terlebih ketika saya menyinggung batalnya membeli laptop karena uang hasil menulis buku terpakai untuk keperluan keluarga yang lain.

Karena teguran istri,  saya mencoba memikirkan ulang keinginan tersebut. Seberapa penting laptop bagi kehidupan saya? Apakah fungsinya masih bisa digantikan oleh komputer yang sudah ada?

            Mulailah saya merekonstruksi pemikiran saya tentang keinginan tadi. Saya harus realistik, makanya saya berusaha jujur dalam menjawab pertanyaan yang saya ajukan.

Ternyata saya masih bisa bekerja sebagai penulis walau tanpa laptop. Ini disebabkan karena saya diberi fasilitas komputer di meja kerja. Jika ingin menulis di rumahpun, saya bisa menggunakan komputer yang  ada. Di rumah dan kantor saya tetap bisa menulis.

            Saya pun harus menguji asumsi-asumsi yang saya munculkan. Pertama, saya perlu laptop karena supaya saya bisa bekerja saat tugas luar kota. Asumsi ini sekarang sudah tidak berlaku lagi. Pindahnya saya ke divisi R&D membuat saya lebih banyak berada di ruangan. Saya sudah tidak berhubungan langsung dengan para penulis di luar kantor. So, semakin kecil kemungkinan saya mendapat tugas luar kota. Apalagi berdasarkan pengalaman, saya pun selama ini tidak sempat menulis selama dinas luar. Jadi asumsi pertama itu patah.

            Kedua, saya perlu laptop agar saya bisa bekerja saat pulang kampung. Setelah ada kereta prameks, saya memang sering pulang kampung. Karena mudah mengakses layanan ini, hampir setiap acara keluarga saya berusaha ikuti. Nah, pada waktu di kampung, ternyata saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama orang tua dan sanak saudara. Saya nyaris tidak menggunakan sebagian waktu  mudik untuk menulis. Sementara untuk sekedar menyapa teman-teman di dunia maya bisa saya lakukan menggunakan handphone.

            Dari sini saya menyimpulkan bahwa saya ternyata belum membutuhkan laptop. Fungsinya sebagai alat kerja masih bisa diambil alih oleh dua komputer yang ada di kantor dan rumah. Setelah berpikir objektif tadi, alhamdulillah sekarang keinginan itu sudah tidak membebani pikiran.

            Barangkali Anda pernah merasakan beratnya menggendong keinginan. Ketika keinginan itu semakin membebani benak kita, cobalah untuk menurunkannya dari gendongan. Pandanglah keinginan itu dengan seksama, lalu jawablah dengan jujur seberapa besar nilai barang tersebut bagi kehidupan kita.

Kesadaran akan arti barang tersebut, memudahkan kita mengambil sikap yang tepat. Jika suatu keinginan nampak berkilau karena manfaat abstrak yang akan kita dapatkan (misalnya gengsi), lebih baik Anda tinggalkan keinginan tadi. Gunakan energi Anda untuk menyelesaikan urusan lain yang lebih penting.

Sebaliknya, jika dialog jujur Anda menyimpulkan barang tersebut harus ada agar kehidupan Anda berjalan lancar, berarti keinginan itu sudah naik status menjadi kebutuhan. Mau tidak mau, Anda harus berusaha memenuhinya.

            Berkaitan dengan kebutuhan, kita harus lebih banyak bersyukur. Tanpa kita sadari, sebenarnya Allah swt sudah memenuhi setiap kebutuhan hidup kita. Oksigen tersedia secara cukup bagi kita tanpa kita harus memintanya. Jantung, hati, otak, dan semua organ tubuh kita bekerja normal tanpa kita harus memintanya. Begitu pula kebutuhan akan rasa aman, pertemanan, dan keharmonisan.

Ternyata jauh lebih banyak kebutuhan yang sudah disediakan Allah swt bagi kita tanpa harus memintanya secara rinci. Kalau sudah demikian, maka nikmat apa lagi yang berasal dari Tuhanmu yang engkau dustakan? Fabi ayyi alaa irobbikuma tukaddzibaan.