roda tiga: masa kecil
Sepeda merupakan salah satu benda yang akrab dalam kehidupan saya. Bermula dari sepeda roda tiga di masa kanak-kanak dulu. Sepeda saya bercat biru, sementara punya adik saya berwarna merah. Hampir semua bagian sepeda terbuat dari besi. Pedalnya menyatu dengan roda depan. Setangnya tanpa rem karena laju sepeda bisa diatur dengan kaki.
Ada dua tempat duduk sepeda jenis ini. Pengendara duduk di atas sadel besi berbentuk segitiga. Pembonceng duduk di bagian belakang berbentuk kotak yang lebih luas. Jok dengan gabus tipis membuat si pembonceng dapat duduk nyaman. Posisi sadel pengendara lebih tinggi daripada tempat duduk pembonceng. Rodanya karet mentah. Kalau lewat jalan kampung saya yang belum beraspal (kala itu), yang mengendarainya akan mumbul-mumbul.
Saya biasa bermain sepeda semacam ini bersama adik dan dua orang teman di pekarangan sebelah rumah simbah. Di tanah berbentuk leter L seluas sekira 100 m itulah kami aman mengayuh sepeda roda tiga. Kami tidak khawatir dengan sepeda besar dan kendaraan yang lalu lalang di jalan kampung karena terdapat pohon teh-tehan yang me-magarinya. Debu-debu jalan tanah pun tersaring oleh jajaran pohon itu.
Selain di pekarangan tadi, kami bisa bermain sepeda roda tiga di lapangan badminton RT sebelah. Saya masih ingat pada tahun 1985-1989 di Baledono Ngentak sudah cukup susah menemukan lahan untuk bermain anak-anak. Saat itu ruang bermain kami hanyalah pe-karangan tetangga, jalan setapak yang sudah dibeton, atau berenang di kali Kedung Putri. Kenangan tentang kali yang melintasi belakang Pasar Baledono lalu membelah Kecamatan Purworejo itu tidak mungkin hilang dari benak saya. Insya Allah akan saya ceritakan di tulisan lain.
Kembali ke topik sepeda. Menginjak usia SD, teman-teman saya beralih ke sepeda anak beroda dua. Mereka begitu bersemangat belajar mengendarai sepeda jenis itu. demikian pula adik saya. Tidak heran jika dalam waktu singkat mereka bisa naik sepeda roda dua. Namun saya takut ikut berlatih sepeda itu. Saya takut jatuh lalu kaki berdarah karena terantuk batu. Akibatnya, barangkali hanya saya yang tidak bisa mengendarai sepeda roda dua. Sejak saat itu mereka enggan bermain sepeda roda tiga. Barang itupun hanya teronggok di dapur rumah simbah saya. Suatu hari dengan alasan bersih-bersih, dua sepeda roda tiga milik saya dan adik saya pun dijual ke tukang loak.
Sewaktu duduk di kelas 2 SD, saya mesti menjalani operasi amandel. Operasi dilakukan di RSU Purworejo. Untuk menyenangkan hati saya, bapak dan ibu membelikan sebuah sepeda mini merk Olympic. Sepeda itu berwarna merah dengan keranjang warna putih. Ukurannya 1,5 kali lebih besar daripada sepeda mini merk Phoenix. Karena saya masih merasa takut belajar sepeda, bertahun-tahun sepeda itu hanya dipakai oleh paklik dan bulik saya.
Tahun 1988 beberapa teman saya membeli sepeda BMX. Gagah sekali mereka di mata saya saat mengendarai sepeda itu. Tanpa keranjang, tanpa slebor panjang, tanpa lampu. Saya membayangkan mereka seperti crosser dengan motor trailnya. Sore hari mereka bersepeda sepanjang jalan setapak kampung saya. Tidak jarang di minggu pagi mereka bersepeda ke utara hingga Baledono Singodranan atau ke timur hingga buh liwung Kali Bogowonto. Pulangnya lewat pesarean Kuncen lalu ke barat ke Pasar Baledono.
Saya yang tidak bisa naik sepeda dibonceng dengan duduk di palang. Berada di depan dengan berpegangan setang membuat saya merasa bisa naik sepeda sendiri. Karena me-rasakan asyiknya bersepeda, akhirnya saya pun ingin belajar naik sepeda.
Sepeda mini yang bertahun-tahun tidak saya sentuh, kini saya tuntun ke pekarangan tetangga. Kaki kanan menginjak pedal sementara kaki kiri menyentuh tanah. Begitu sepeda berjalan, kaki kiri saya angkat. Seerdug... seerdug.... lambat laun kaki kiri saya bisa menginjak pedal kiri. Namun mengayuh pedal sepeda pun bukan perkara mudah bagi orang yang sedang belajar. Rasanya berat. Sayapun hanya berdiri di atas kedua pedal sambil menyetanginya. Akibatnya sepedapun melambat. Sesaat setelah sepeda berhenti melaju, dengan sigap saya menapakkan kaki. Biar tidak jatuh kerobohan sepeda yang besar dan berat itu. Hehehe ....
Jatuh saat bermain sepeda ternyata tidak sesakit yang saya takutkan. Semangat untuk segera bisa naik sepeda membuat saya tidak menggubris rasa perih di lutut saya. Setelah beberapa kali menabrak rumpun pohon pisang di pekarangn tadi, sore harinya saya semakin lancar naik sepeda. Rasa perih itupun tidak lagi terasa. Sejak saat itu saya pun bisa ikut teman-teman bersepeda keliling kampung. Cihuy....
Bersepeda ke rumah simbah teman saya di Kutoarjo merupakan pengalaman bersepeda paling mengesankan bagi saya. Kejadiannya terjadi di saat liburan awal Ramadhan. Sehabis sholat subuh di masjid, teman saya mengajak untuk bersepeda ke rumah simbahnya. Katanya, pohon rambutan simbahnya tengah berbuah. Siap dipetik.
Tawaran itu menarik sekali bagi kami. Beberapa orang teman pun mengiyakan tawaran tadi. Kami berangkat berbonceng-boncengan. Anak-anak yang lebih kecil seperti saya dan adik saya diboncengkan anak yang lebih besar. Matahari yang semakin panas membuat rasa haus cepat datang. Namun bayangan manisnya rambutan yang bisa dipetik untuk berbuka nanti menumbuhkan semangat kami.
Sayangnya sesampai di Kutoarjo, rupanya ram-butan itu belum matang. Kami pun pulang dengan tangan hampa. Hidangan lain yang disajikan pun tidak kami makan karena sedang puasa. Pagi itu jarak 10 km yang harus kami tempuh dengan sepeda menjadi terasa begitu berat.
Kepergian saya dan adik saya tanpa pamit bapak dan ibu. Ini sangat mencemaskan perasaan beliau. Bapak saya berkeliling ke sejumlah tem-pat keramaian mencari anak-anaknya. Di sekitar Pasar Baledono dan Pasar Tanjung, kami tidak ditemukan. Di bioskop Pusaka dan Bagelen juga tidak ada. Di alun-alun dan lapangan garnizun juga tidak ada. Ibu saya semakin cemas. Apalagi saat itu tengah muncul isu penculikan anak. Duh, pikiran bapak dan ibu saya kalut karena sudah berjam-jam anaknya pergi keluar rumah.
Setelah beberapa kali menyisir tempat-tempat keramaian tadi, bapak berhasil bertemu rom-bongan sepeda saya. Wajah cemas beliau langsung saya tangkap. Wah, pasti saya akan disidang nanti di rumah.
Tebakan saya benar. Sesampai di rumah, saya langsung diinterogasi. Dengan badan mandi keringat hasil terpanggang sinar matahari pagi, saya harus mempertanggungjawabkan perbu-atan saya pagi itu. Rasa haus semakin mencekat karena saya nangis kala dimarahi bapak dan ibu. Akan tetapi saya semakin menyadari betapa bapak dan ibu sangat menyayangi anak-anaknya. Beliau tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada diri kami. Selesai mandi pagi, bapak menyuruh saya dan adik saya sarapan. Batallah puasa di hari itu.