Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

federal biru: sekolah bidadari

Sekolah bidadari. Itulah sebutan keren yang teman-teman saya berikan untuk SMA Diponegoro. Kompleks sekolah itu ada di belakang sebuah rumah sakit terkenal di Pasar Kliwon. Satu keistimewaan sekolah tersebut: Semua muridnya perempuan. Rupanya ini alasan teman-teman saya menyebutnya sekolah bidadari. Dan saya juga menangkap rasa penasaran teman-teman saya. Saya -yang laki-laki dan notabene masih lajang- mendapat tugas mengajar di sana. “Wow, exciting!” begitu jawaban saya setiap kali mereka bertanya tentang gambaran kondisi sekolah bidadari. 

Seandainya federal biru muda bisa bicara, pasti teman-teman saya akan menyuruhnya bercerita panjang lebar. Mengapa demikian? Karena sepeda itu setia menemani saya di masa awal mengajar di sana. 

Tahun pertama saya diberi tugas mengajar les sore. Mata pelajarannya sosiologi. Saya berangkat dari Petir 8 bersama federal biru muda. Dari Sekarpace menyusur ke selatan, lalu belok ke barat. Di bangjo jalan Surya saya berbelok ke kanan, tembus ke jalan di timur Pasar Gedhe. Saya harus mlipir-mlipir setiap kali bus jurusan Wonogiri, minibus jurusan Sukoharjo, bus Damri A, bus Atmo, dan angkot lewat. Belum lagi becak dan motor yang menambah keriuhan jalan Kapten Mulyadi yang sempit.

Begitu tiba di mulut gang sebelah kantor kas BNI 46 Pasar Kliwon, saya bisa bernafas lega. Tidak ada lagi angkutan umum yang berseliwaran. Paling-paling hanya becak atau motor yang melaju pelan. Sekira 50 meter dari mulut gang, berdirilah SMA Islam Diponegoro (khusus Putri).

Si biru muda saya parkir berjajar dengan sepeda para murid. Saya pun masuk ke ruang guru. Beberapa murid kelas XII yang akan les sudah datang. Mereka tengah asyik mengobrol. Tahu-tahu saya melihat kelebatan si biru muda. Dia berkeliling lapangan basket. Rupanya ada murid yang sengaja mengendarainya. Tentu saja teman-temannya ramai bersorak-sorak. Ada juga yang berteriak-teriak melaporkan perbuatan pelaku padaku. Sementara yang menjadi pusat perhatian prengas-prenges saja. Uhhh, ada-ada saja.

Pukul 17.00 les selesai. Saya mengayuh sepeda melalui rute yang sama. Inilah waktu yang nyaman untuk menikmati suasana kota Solo. Suasana meredup karena sinar matahari terhalang oleh gedung-gedung tinggi. Para pedagang di pasar mulai berkemas untuk pulang. orang-orang pulang bekerja. Giliran para pedagang kaki lima yang menggelar dagangan. Sate ayam, susu segar, roti bakar, bubur kacang hijau, nasi goreng, bisa dijumpai di sepanjang jalan.

Yang khas dari Solo tentu saja warung hiknya. Hampir setiap gang ada warung hik. Dulu sebelum kerusuhan Mei 1998, hampir semua warung hik buka semalam suntuk. Kini, sebagian besar memilih tutup setelah lewat tengah malam. Bersepeda di tengah suasana sore melahirkan kesan tersendiri di hati saya.

Bersama federal biru, saya bisa menikmati suasana kota Solo yang berbeda dengan suasana lingkungan kampus. Terima kasih, Aris Rendra, atas pinjaman sepedanya.