Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

federal biru: jalan buntu

Sepeda membuat wilayah edar saya semakin luas. Saya tertarik untuk blusukan melewati daerah yang jarang saya lalui. Daerah Pucang Sawit misalnya. Maka sepulang dari hunting buku di Gladag, saya sengaja tidak melalui jalan umum yang akan berujung di perempatan Sekarpace. Sebuah gang sebelum perlintasan kereta api, saya masuki. Gang itu bersebelahan dengan rel kereta api. Dalam bayangan saya, ujung gang ini pasti daerah sekitar halte depan UNS. Saya tinggal menyeberang rel untuk sampai di kawasan kos Pucang Sawit. Dari situ jarak ke kos saya di Petir 8 sudah tidak jauh.

Gang sempit itu sejajar dengan rel kereta api. Saya melaju ke arah timur. Di sebelah kanan berjajar rumah-rumah sederhana. Hanya ada jarak sekira 2 meter antara rumah dengan gang. Beberapa orang tengah duduk-duduk di pinggir gang. Saya melintas di depan mereka tanpa menyapa. “Saya kan tidak kenal dengan mereka. Lagian baru sekali saya lewat sini. Gak papalah.” Begitu apologi yang saya ajukan.

Sebenarnya saya bukan tipe orang yang bisa bersikap cuek seperti itu. Saya seorang yang ramah dan sopan. Sampai-sampai teman kos memberi gelar MPSD bagi saya. Tahu kepanjangan MPSD? Manusia paling sopan se-dunia. Hehehe.

Namun entah mengapa saya merasa enggan menyapa orang-orang yang ada di gang ter-sebut. Mungkin karena saya pikir saya tengah berada di salah satu kampung kumuh. Biasanya tata kesopanan warganya berbeda dengan aturan kampung ‘normal’. Di kampung ‘normal’ menyapa dan permisi menjadi bagian dari tata kesopanan. Nah, di kampung kumuh, saya berpikir aturan itu sangat mungkin tidak ditegakkan. Makanya saya pun dengan santai mengayuh federal biru di depan orang-orang yang tengah kongkow itu.

Ada sekira 100 meter saya mengayuh sepeda lewat gang itu. Tahu-tahu deretan rumah itu pun habis. Tidak ada lagi rumah di sebelah kanan saya. Lebih kaget lagi, gang itu pun juga habis. Di depan saya hanya tanah kosong dengan semak-semak.

Saya tengok kiri kanan. Barangkali ada jalan lain yang bisa saya susuri. Saya tengok ke seberang rel. Tetap tidak ada jalan. Saya berpikir cepat. Ini gang buntu. Artinya saya harus balik kanan 180 derajat. Kembali menyusuri gang sempit tadi. Artinya lagi, saya harus kembali melintas di depan orang-orang tadi. Padahal saya sudah bersikap abai dengan tidak menyapa mereka. Artinya lebih jauh, saya harus menebalkan muka untuk kembali ke jalan yang benar. Waduh!

Karena tidak ada jalan lain untuk tiba di kos, saya pun kembali ke ujung gang. Ambil nafas dalam, baru balik kanan. Saya berusaha bersikap sewajar mungkin. Orang-orang yang tadi saya lewati masih ada. Masih kongkow di pinggir gang. Yang berbeda justru saya. Kali ini saya sapa mereka.

“Ndherek langkung, pak.”

“Ndherek langkung, bu.”

Saya tidak menggubris apakah mereka menjawab sapaan saya atau tidak. Yang terbayang di mata hanyalah segera keluar dari gang sempit ini agar muka saya tidak lagi memerah menahan malu.

Oalah, maksud hati anjajah desa amilang kori. Ternyata malah keblasuk di gang buntu. Dasar tidak peka situasi. Padahal saya sempat melihat tatapan mata mereka melemparkan tanya.

“Sapa, sih?”

“Mbuh, ra ngerti.”

“Arep nyang ngendi?”

“Mbuh.”

“Wis jarke wae! Mengko rak bocahe ngerti dhewe.”

“Ssst. Lha, kae cahe balik!”