Bulan penuh yang berpendar selalu menarik keluar para iblis. Cahaya kebiruannya yang lembut memberikan kekuatan bak mentari di hari terang bagi Manusia.
Eric menajamkan pendengaran, memandangi sekitar di tengah pelataran hutan. Menggunakan seluruh indranya, dia mengawasi sekeliling. Sekaligus berdiam diri menjadi umpan agar buruannya mendekat.
Di hutan tempat Eric berada kini, adalah naungan bagi berbagai jenis iblis dan makhluk lainnya yang sering meresahkan masyarakat. Eric merupakan salah seorang pemburu iblis, yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini, begitu pula dengan “saudara-saudaranya”. Mereka mendapat uang dan dapat bertahan hidup hingga sekarang dari imbalan atas jasa menumpas monster atau menukar benda-benda yang ditinggalkan makhluk tersebut.
Tapi telah lama waktu berselang dan Eric telah berkali-kali berpindah posisi, sayangnya dia belum menemukan satu buruan pun.
Eric tersentak. Dengan penuh semangat, mencabut sebatang anak panah dari selongsong begitu mendengar gemerisik dedaunan dari arah belakang. Secepat kerjapan dia berbalik. Belum juga menyiapkan busurnya untuk menyerang, Eric mendengus.
Itu Feorynch, rekan sekaligus orang yang dianggapnya sebagai saudara. Dia muncul begitu mendadak dari balik pohon ek, mengacungkan tongkat sihir yang memancarkan cahaya jauh lebih terang dari lentera milik Eric.
“Ssh, lihat aku dapat apa!” Feorynch mengangkat kantong kulit yang entah apa isinya. “Cukup bagi kita untuk hidup enak selama sebulan, ya, ya.”
Namun mendengar ucapan Feorynch, Eric tidak langsung percaya. Dia mengamati “saudaranya” itu untuk memastikan dia sedang bergurau atau tidak.
Feorynch Clyde seumuran dengan Eric, yakni tujuh belas tahun. Hanya saja, segala hal tentang mereka amat bertentangan.Feorynch berambut perak panjang dan diikat ekor kuda, kulitnya pun pucat sekali. Dan yang paling terkenal dari orang ini adalah, perilaku dan rupanya yang aneh. Warna matanya berbeda satu sama lain; yang kiri berwarna biru sementara hijau di mata kanan. Dia juga selalu mendesis sewaktu berbicara, lidahnya bahkan menyerupai ular. Feorynch sendiri bahkan tidak tahu bagaimana hal-hal tersebut dapat melekat pada dirinya.
“Sssh ... hei, lihat apa yang kuperoleh, ssh,” sergah Feorynch tak sabar, memutus lamunan Eric. Lidahnya yang bercabang dua keluar-masuk dengan cepat. “Aku baru saja memusnahkan Troll jahat yang menimbun harta, ya, ya. Ssh, dia banyak menyimpan keping perunggu.” Troll merupakan salah satu monster berukuran besar yang sulit dibasmi. Kebodohan luar biasa adalah kelemahan fatal mereka.
“Jadi?” Eric mengangkat sebelah alisnya.
“Jadi?” Feorynch tertawa. “Sshh, tentu saja itu artinya kita bisa pulang sekarang. Dionde pasti akan senang. Sssh, kita kembali dengan cepat dan membawa sesuatu yang baik, ya, ya.”
Eric mengangguk, paham Feorynch berkata yang sesungguhnya. Setelah membereskan senjatanya, Eric bertolak ke rumah.
Malam ini dia melakukan pemburuan berdua saja dengan Feorynch, sementara ketiga saudaranya menunggu di rumah. Meski begitu, mereka bukan saudara yang sebenarnya. Kelimanya tinggal bersama karena nasib yang sama sebagai yatim piatu dan terlantar. Satu-satunya saudara kandung Eric adalah Elisca, gadis yang paling muda di antara mereka.
Eric merapatkan mantel, angin bertiup sangat dingin sampai menusuk tulang-tulangnya. Tak sampai di sana, dia juga merasa kurang nyaman. Sejak awal berburu, dia merasa akan terjadi sesuatu yang buruk, entah oleh sebab apa.
Waktu telah berlalu lama saat mereka tiba di bibir hutan. Seusai melewati jembatan di atas sungai besar, keduanya pun sampai di Aphra, kota tempat mereka tinggal.
Aphra merupakan kota kecil yang amat sederhana. Jalanannya terbuat dari batu-batuan pipih lebar yang disusun sedemikian caranya. Dan rupanya bukan Eric saja yang kembali dari perburuan, tetapi banyak yang lainnya. Orang- orang itu membawa beragam mayat iblis mulai dari serigala hitam sampai jasad Manusia yang dikutuk sehingga dapat hidup kembali.
Perburuan iblis adalah roda utama penggerak kehidupan di kota ini. Beruntung, kemampuan Eric dan Feorynch dalam berburu iblis agak lebih baik di atas kebanyakan pemburu. Sehingga mereka tidak terlalu keberatan bersaing di antara banyaknya orang dengan pekerjaan yang sama.
Feorynch menyembunyikan kantong kulit yang ditemukannya di balik mantel hitamnya. Memang, jika mendapat ‘hasil berburu ekstra’, mereka lebih memilih menutupinya, untuk menghindari keingintahuan penjaga kota yang berlebihan.
“Kalian nggak dapat apa-apa?” Salah seorang penjaga kota menjulurkan kepala dari dalam salah satu sisi pos jaga. Dia memandangi Eric dan Feorynch dengan heran. “Tumben sekali.”
“Lihatlah, semua jatah sudah diambil yang lain!” Eric pura-pura sebal. “Sepertinya aku sedang kurang beruntung.”
“Oh, begitu...” gumam si penjaga simpatik. “Kayaknya bukan, kalian cuma kurang jauh menggali harta. Para iblis paling banyak berkumpul di balik bukit. Kalau ingin panen, datanglah ke tempat itu,” Dia menambahkan kalimat terakhir dengan nada menantang.
“Itu terlalu berbahaya,” cibir Eric. “Perlu nyawa lebih dari satu untuk bisa menghadapi apa pun di sana.”
“Terserah,” Penjaga lawan bicaranya memutar mata. “Silakan masuk.”
Orang itu membuka salah satu pintu masuk kota. Eric melangkah ke dalam lebih dulu, Feorynch mengekor. Tatkala keduanya sudah jauh, si penjaga berteriak keras sekali, “Hei, Ular! Sering-seringlah bicara! Kamu nggak hidup sendirian di sini!”
Feorynch menggemeratakkan giginya. “Ssh, dasar kurang kerjaan,” komentarnya. “Ya, ya, mengapa orang- orang selalu lebih sibuk mengurusi hidup orang lain?”
“Dia ada benarnya, kok,” tanggap Eric. “Kamu terlalu diam. Berinteraksilah sesekali.”
“Jangan bicarakan hal itu lagi, ssh, ya, ya,” Feorynch menundukkan kepala.
Mereka membelok ke gang sempit di antara dua penginapan kumuh, sehabis melewati ramainya aktivitas dan kereta rusa yang berlalu-lalang. Di ujung gang itu, pepohonan lagi-lagi menyambut mereka. Rumah Eric dan Feorynch berada di tengah kepungan pohon-pohon.
Rumah mereka tersusun dari kayu-kayu sirap dengan atap genting yang berlubang di mana-mana. Pekarangannya yang sempit dipenuhi bebungaan seadanya. Walau begitu, Eric dan saudara-saudaranya tak pernah merasa bersusah hati. Asalkan bisa tetap bertahan hidup, kegembiraan dan sukacita selalu menyertai mereka.
Di samping rumah, terdapat kolam kecil yang dipenuhi ikan berbagai warna yang memancarkan cahaya. Elisca duduk termenung di tepinya, menunggu saudaranya pulang seperti biasa. Gadis berumur sepuluh tahun itu sangat manis dengan rambut panjangnya yang berwarna cokelat dan mata hijaunya yang berkilau.
“Eric!” panggil Elisca begitu menyadari kehadiran kakaknya.
Eric tersenyum. “Biasakan pula untuk menyambut Feorynch,” Dia menganjurkan. “Dia juga saudaramu.”
Elisca melongo selama beberapa waktu. Feorynch menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Sssh, kalau tidak ada keinginan sama sekali darinya maka biarlah, ya, ya,” katanya gusar.
“Mending kalian masuk,” Elisca memberitahu. “Kak Dionde rela bangun demi menunggu kalian pulang.”
Eric dan Feorynch saling berpandangan, lantas menelan ludah.
“Eric, Feorynch,” sebut Dionde agar kedua saudaranya masuk. “Kalian lama sekali. Memangnya buruan apa yang kalian dapat?”
Eric melangkah masuk perlahan-lahan. Dionde sedang berdiri di tengah ruang tamu. Senyumnya mengembang di sela-sela keletihannya. Dionde Ferrisel, wanita itu berusia awal dua puluhan, mengenakan kacamata, dan dianggap sebagai figur tertua bersama Sheraga.
“Tanya Feorynch,” balas Eric. “Dia yang mendapat buruan.”
Tidak menjawab, Feorynch sontak mengeluarkan kantong kulit dari balik mantel. Dia menuju ke meja ruang keluarga, membuat gerakan tangan agar yang lain ikut melihat apa yang didapatnya, lalu membuka ikatan kantong di atas meja dengan hati-hati.
Eric, Elisca, dan Dionde berjengit. Tak lama, mereka tersenyum lebar. Di dalam kantong tersimpan banyak koin perunggu dengan beberapa koin emas dan perak, bahkan sebuah cincin permata. Rasanya itu tidak akan mencukupi kebutuhan serumah dalam waktu satu minggu, melainkan berbulan-bulan.
Namun kegembiraan mereka terhenti oleh sepotong dehaman saja.
Eric menoleh, sesosok jangkung dan berkulit putih janggal sudah bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada—Sheraga Asher. Pria itu berambut hitam sebahu dan bergelombang. Tampangnya sempurna menurut ukuran biasa, tak menunjukkan kenyataan dia tinggal di lingkungan kumuh.
“Sebaiknya aku yang menyimpan semua uang itu,” usulnya. “Kalau kalian mendapat tanggung jawab menjaga harta sedemikian banyak, kalian jelas tidak akan sanggup. Kalian bisa menghabiskan semua itu sebelum waktu yang semestinya.” Dia menyeringai jail, matanya berkilat liar melihat puluhan keping koin.
Tanpa ada yang menyuruh, Sheraga maju ke arah meja. Dia mengembalikan seluruh koin ke dalam kantong dan menilapnya, sementara yang lain tidak bisa berbuat apa- apa.
“Bagus. Sebelas flux, dua puluh enam crampel, dan enam puluh gilda ditambah cincin,” cetus Sheraga. Suaranya sengau dan basah, seakan bicara menyertai hidung. “Oh, terima kasih Dewa!” Dia menimang-nimang kantong uang dalam genggamannya.
Eric mengembuskan napas berat. Sheraga memang berbeda dari ketiga saudaranya yang lain. Selain fakta bahwa dia bukan berasal dari wilayah kerajaan Luminesca—terlihat jelas dari namanya—dia juga sangat perhitungan terhadap pengeluaran. Dia yang mengurus segala anggaran dan apa saja yang harus dibeli tiap bulannya, tanpa bisa didebat.
Tetapi berkat orang ini pula, syukurlah, Eric dan semua saudaranya masih bisa menyambung hidup sampai sekarang. Sheraga begitu disiplin dan teliti—kalau tidak mau dibilang pelit. Sisi baik lainnya yaitu bahwa dia membenci minuman keras atau pun mengisap cerutu, berbeda dari pemuda Aphra kebanyakan.
“Sebaiknya kalian istirahat sana,” perintah Sheraga pada Eric dan Feorynch, seraya menutupi hidungnya yang bengkok dengan satu tangan. “Kalian juga bau, bersihkan diri dulu! Dan omong-omong, bagaimana kalian bisa mendapat uang sebanyak ini? Kuharap bukan dengan cara yang tidak baik,” cecarnya.
Feorynch menceritakan kejadiannya dengan cepat, padat, dan sesingkat mungkin. “Ssh, aku membekukan Troll itu lalu menghancurkannya dengan sihirku, ya, ya. Bukan pekerjaan sulit, ssh,” pungkasnya. “Dan harusnya, aku mendapat bagian lebih! Ssh, ya, ya!”
“Enak saja,” tangkis Sheraga. “Aku dan Dionde juga bekerja keras. Kami tak pernah minta kompensasi.” Sehabis itu, Sheraga setengah berlari menuju kamarnya dan mengunci pintu. Memulai eksperimen kembali di ruang bawah tanah pribadinya.
“Ssh, kerja keras?” Feorynch menggebrak meja. “Hal yang dia lakukan tiap harinya cuma membuat ramuan tidak jelas, ssh! Dia menghabiskan uang kita demi alkimianya yang berakhir gagal!”
Dionde berdeham. “Hati-hati, dia bisa mendengarmu,” tegurnya dengan halus. “Dan asal kalian tahu, walau seperti itu dia sebenarnya sangat peduli akan keselamatan kalian. Dia sampai tidak bisa tidur. Apalagi selain dia sedang memikirkan kalian berdua?”
“Ssh, tepatnya menunggu apa yang bisa kami bawa pulang,” ralat Feorynch kesal.
Entah sudah berapa kali perdebatan seperti ini berlangsung. Feorynch dan Sheraga memang bagaikan kucing dan anjing—atau lebih tepatnya ular dan elang, yang sama-sama tangguh.
Eric mencairkan suasana sebelum terjadi perdebatan yang sia-sia. “Sebaiknya kita tidur sekarang,” Dia memberi saran. “Aku lelah sekali.”
Feorynch mengangguk. Dia pun akhirnya mau diajak beristirahat, dengan bersungut-sungut tentunya.
Benar, ‘keluarga’ Eric bisa dibilang amat sederhana, bahkan seringkali timbul per-tentangan di antara anggota- anggotanya. Meski demikian, sebenarnya mereka memiliki ikatan erat antara satu dengan yang lainnya. Serta satu hal yang menarik, yaitu bahwa mereka adalah salah satu kelompok pemburu iblis terbaik di Aphra.