SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terbelenggu oleh pesan gurunya dan pendirian ibunya. Ibunya lebih senang melihat Bramanti sebagai seorang yang jinak dan selalu berada di halaman rumahnya. Setiap kali ia menjadi ngeri, apabila teringat olehnya akan kematian suaminya, ayah Bramanti. Justru karena ayah Bramanti memiliki ilmu kanuragan, sehingga ia tidak pernah menghindari pertengkaran.

Sebagai seorang anak yang patuh kepada gurunya dan kepada orang tuanya, maka Bramanti masih mencoba menahan hati. Supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri, maka ia lebih baik selalu berada di rumahnya. Di bawah pohon sawo, menganyam wuwu atau berbaring di kandang apabila ia tidak mempunyai pekerjaan yang lain.

Namun akhirnya ia menjadi jemu juga untuk selalu berada di dalam lingkungan halaman. Kawannya yang sering datang mengunjunginya adalah Panjang dan kadang-kadang Ki Tambi. Namun apabila keduanya kemudian pergi, maka Bramanti kembali merasa tercencang oleh kesepian.

Satu-satunya kawannya adalah pedang pendek yang disembunyikannya di dalam kandang. Namun pedang itu kemudian harus disimpannya kembali apabila ia berada di kebun atau di halaman. Yang selalu ada di tangannya adalah sebilah parang pemotong kayu, atau cangkul atau bahkan sapu lidi.

Namun sampai juga saatnya, Bramanti tidak dapat bertahan lagi. Ia tidak dapat mencegah lagi keinginannya untuk keluar barang sekejap dari halaman rumahnya. Karena itu, maka ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke sungai, mencuci pakaiannya yang kotor.

“Kenapa tidak kau cuci di rumah saja Bramanti? Bukankah sumur kita tidak kering?”

 

“Aku ingin melihat-lihat ibu. Sudah agak lama aku tidak keluar rumah. Aku ingin mandi sambil berjemur seperti ketika aku masih kanak-kanak.”

 

“Tetapi jangan terlampau lama Bramanti. Dan sebaiknya kau tidak usah pergi ke bendungan. Di sana selalu banyak orang yang akan dapat membuat persoalan.”

 

“Aku tidak pernah pergi ke bendungan. Lebih baik aku mencuci dan mandi disebelah pedesaan ini.”

 

“Baik. Dan hati-hatilah. Jangan membuat persoalan apapun dengan siapapun. Kau masih belum dapat diterima dengan baik oleh orang Kademangan ini.”

 

“Ya bu.”

 

Namun peringatan ibu nya itu memang membuat Bramanti menjadi ragu-ragu. Apakah tidak lebih baik ia tinggal di rumah, berbaring di kandang atau menganyam keranjang?”

 

“Sebentar saja,” desisnya.

Bramanti pun kemudian meninggalkan halaman rumahnya membawa sehelai kain panjang selain yang dipakainya untuk dicuci. Perlahan-lahan ia melangkah, menyusur jalan sempit yang akan sampai ke sudut desa. Kemudian dilangkahinya parit kecil yang membujur sepanjang jalan. Lalu langkahnya terayun di atas pematang yang akan sampai ke tanggul sungai.

Sekali-kali Bramanti menarik nafas. Sinar matahari pagi yang menjamah punggungnya yang telanjang terasa semakin hangat. Burung bangau yang berdiri dengan sebelah kakinya di sepanjang pematang, menghambur berterbangan. Namun kemudian satu persatu mereka hinggap lagi di atas pematang menunggu mangsanya yang meloncat dari rerumputan.

Bramanti menebarkan pandangan matanya, menyapu batang-batang padi yang sedang menghijau. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Hasil panen ini, setiap kali selalu diambil oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Apabila beberapa orang petani berhasil menabung dan membeli barang-barang berharga, maka mereka akan menjadi sasaran yang menyenangkan.”

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah hal ini akan berlangsung terus, dan anak-anak muda di Kademangan ini masih tetap tidur? Aku harap Ki Tambi akan berhasil.”

 

Bramanti tertegun ketika ia mendengar derap seekor kuda. Ketika ia berpaling dilihatnya Panjang berada di atas punggung kudanya berlari menyusur jalan yang baru saja ditinggalkannya, melintas parit.

Bramanti melihat Panjang melambaikan tangannya, dan Bramanti pun mengangkat tangannya pula. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi? Panjang tidak terlampau biasa naik kuda di Kademangan sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba ia ingin bertemu dengan anak muda itu.
Tetapi Panjang tidak berhenti. Ia berjalan terus meskipun ia masih juga melambai-lambaikan tangannya.

Ketika Panjang menjadi semakin jauh, Bramanti pun meneruskan langkahnya, menyusur pematang pergi kesungai untuk mencuci pakaiannya.

 

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan langkahnya, menyusur pematang pergi ke sungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan kakinya di atas pasir yang hangat, terasa seolah-olah ia menjadi kanak-kanak kembali. Di gusur-gusurnya onggokan pasir tepian dengan kakinya, kemudian dengan sebuah terikan nafas yang dalam ia menjatuhkan dirinya duduk menjelujur di atas pasir itu.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke air yang jernih yang mengalir di antara batu-batuan yang berserakan.

Bramanti pun kemudian membuka kainnya, sehingga ia tinggal memakai celana dalamnya yang panjang sampai ke lutut. Kemudian kain yang baru saja dipakainya itu pun dicelupkannya ke dalam air, dan kemudian dicucinya dengan lerak. Sedang kainnya yang lain diletakkannya di atas pasir yang kering.

Sejenak Bramanti berendam di dalam air beserta sisa pakaiannya. Sambil mencuci kain panjangnya ia mandi. Alangkah segarnya. Seolah-olah semua perasaan lelah dan letih hilang hanyut bersama arus sungai yang bening itu.

Namun tiba-tiba saja Bramanti itu terperanjat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya dua orang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang. Salah seorang dari mereka adalah Temunggul.

 

Sejenak Bramanti menahan nafasnya. Ia tidak menyangka bahwa Temunggul akan mendapatkannya.

 

Sekilas terbayang apa yang telah terjadi ditepi sungai ini untuk beberapa hari yang lampau. Ketika tibatiba saja ia bertemu dengan Ratri, dan kemudian dengan Temunggul.

Selain Temunggul dan Ratri, ia adalah orang yang ketiga yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mendengar orang-orang mempercakapkan Ratri dan Temunggul yang seakan-akan sedang bergurau dan bekerjaan di atas tanggul sungai sehingga Ratri tergelincir, ia dapat menebak dengan tepat, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Dan kini tiba-tiba Temunggul itu telah berada di atas tanggul pula.

Tetapi Bramanti kemudian, pura-pura tidak memperhatikannya. Seakan-akan ia tidak mempunyai persoalan sama sekali dengan Temunggul dan kawannya yang seorang itu. Dengan demikian, maka Bramanti pun melanjutkan kerjanya membersihkan dirinya sambil mencuci kain panjangnya.

Temunggul melihat sikap Bramanti dengan wajah yang tegang. Dan tiba-tiba sja ia berkata lantang, “Apa kerjamu disini Bramanti?”

 

Bramanti berpaling. Jawabnya kemudian, “Aku sedang mandi dan mencuci pakaian seperti apa yang sedang kau lihat Temunggul.”

 

Temunggul memandangnya dengan penuh kebencian. Kemudian bibirnya bergerak membuat sebuah senyuman yang kecut.

 

“Aku tahu apa yang sebenarnya kau lakukan,” desisnya.

 

Bramanti mengerutkan keningnya. Seperti di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah yang aku lakukan selain mencuci pakaian?”

 

“Jangan berpura-pura,” sahut Temunggul.

 

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”

 

Sekali lagi Temunggul tersenyum. Senyum yang kecut. “Jadi begitulah yang sering kau lakukan?”

 

Dalam kebingungan Bramanti mengangguk, “Ya. Beginilah.”

 

“Setiap kali tanpa aku ketahui?”

 

“Apakah untuk melakukannya aku harus memberitahukannya kepadamu?”

 

“Diam,” tiba-tiba Temunggul membentak. “Kau berpura-pura tidak mengerti maksudku. Tetapi jangan mencoba ingkar. Kau akan terjerat oleh janjimu sendiri. Jangan menyesal.”

Bramanti menjadi bingung. “Apalagi salahku sekarang?” pertanyaan itu telah melonjak di dalam dadanya. “Seakan-akan hampir setiap langkahku dianggap bersalah.” Bramanti menarik nafas dalamdalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Temunggul itu.

Karena Bramanti tidak segera menjawab, maka Temunggul mendesaknya, “He, kenapa kau diam saja. Ayo katakan, bahwa kau telah melanggar janjimu. Dan pelanggaran itu akan berakibat jauh bagimu.”

 

Bramanti yang benar-benar tidak mengerti maksud Temunggul masih bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan akhirnya dilontarkannya pertanyaan itu, “Apakah salahku Temunggul? Apa salahku?”

 

“Kau masih berpura-pura saja Bramanti. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran,” Temunggul menggeram. “Cepat naik kemari.”

 

“Aku belum selesai.”

 

“Cepat naik kemari,” Temunggul membentak semakin keras.

 

“Maaf. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini dahulu. Aku masih harus menjemur cucianku dan celanaku.”

 

“Jangan membantah lagi. Naik.”

Terasa dada Bramanti bergetar. Sudah terlampau lama ia mengorbankan harga dirinya. Sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan dapat menerima perintah itu begitu saja. Tetapi setiap kali ia selalu dibayangi oleh wajah ibunya dan pesan-pesan gurunya.

Sejenak Bramanti dicengkam oleh kebingungan. Namun akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan pakaian yang basah ia berjalan perlahan-lahan di atas pasir tepian.

 

“Ayo cepat, naik.”

 

Bramanti tidak membantah lagi. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan singgungan-singgungan di dalam dadanya, tetapi ia melakukan perintah itu.

Dengan hati-hati ia naik. Dirambatinya tebing yang curam, meskipun tidak begitu tinggi. Kemudian dengan tubuh dan pakaiannya yang basah ia berdiri dihadapan Temunggul yang masih bertolak pinggang.

“Bramanti,” geram Temunggul. “Apakah kau masih ingin berpura-pura terus.”

 

“Aku tidak berpura-pura Temunggul. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti, apakah yang sebenarnya kau maksudkan.”

 

Temunggul menjadi semakin marah. Sekali lagi ia membentak, “Jangan bermain gila terhadapku Bramanti. Aku dapat berlaku sopan, tetapi aku juga dapat berlaku kasar.”

 

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut ketika ia melihat dua orang lagi kawan Temunggul berjalan mendekatinya.

 

“Apakah anak itu bertingkah?” bertanya salah seorang daripadanya.

 

“Ia masih berpura-pura,” jawab Temunggul. “Ia sama sekali tidak merasa bersalah,” kemudian kepada Bramanti ia bertanya, “Betulkah begitu? Kau tidak merasa bersalah?”

 

“Bukan aku tidak merasa bersalah, Temunggul. Tetapi aku belum mengetahui, apakah kesalahanku. Kalau kau menunjukkannya, aku kira aku akan segera mengerti.”

Sekali lagi Temunggul menggeram. Namun ia berkata juga, “Kau berpura-pura mandi dan mencuci pakaianmu Bramanti, tetapi agaknya kau sedang menunggu gadis-gadis lewat. Agaknya sudah menjadi kebiasaanmu untuk mengganggu gadis-gadis.”

Tuduhan itu serasa bara api yang menyengat telinga Bramanti. Kini ia menyadari keadaan yang dihadapinya. Kini ia mengerti, apakah sebenarnya yang dimaksud Temunggul. Agaknya meskipun tidak disebutkan, Temunggul sangat berkeberatan atas pertemuannya dengan Ratri di tempat ini beberapa waktu yang berlalu.

“Nah, apakah katamu sekarang?” desis Temunggul.

Bramanti tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Temunggul yang telah menjadi merah, wajah kawan-kawannya yang tegang, dan ketika diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya, dilihatnya satu dua orang sedang bekerja di sawah.

“Tidak ada kesempatan lagi bagimu Bramanti,” geram Temunggul. “Kau harus menerima akibat. Selama ini kita berusaha melindungi gadis-gadis kita dari tangan-tangan orang Panembahan Sekar Jagat, ternyata kau sendiri akan melakukannya.”

“Temunggul,” jawab Bramanti, “Apakah kau pernah melihat aku melakukannya seperti apa yang kau katakan?”

 

Pertanyaan itu agak membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab kasar, “Jangan banyak bicara. Kau harus ikut kami. Jangan mencoba melakukan kebodohan.”

 

“Pakaianku masih basah,” Bramanti mencoba mencari dalih.

 

“Aku tidak peduli,” jawab Temunggul. “Kau harus ikut aku.”

 

“Kemana?”

 

“Jangan bertanya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Apakah ia harus menuruti kemauan Temunggul, mengikutinya kemana ia pergi? Meskipun tidak pasti, namun Bramanti dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya.

“Cepat,” Temunggul hampir berteriak.

 

“Tetapi kainku?”

 

“Cepat ambil. Kemudian ikuti aku.”

Bramanti yang masih mencoba untuk tidak membuat keonaran tidak berusaha membantah lagi. Ia pun kemudian turun ke tepian mengambil kainnya yang basah dan melingkarkan kainnya yang kering di atas celananya yang basah. Kemudian ia merangkak kembali naik ke tanggul.

“Ayo, ikuti kami.”

 

Bramanti tidak menjawab. Ia mengikuti saja langkah Temunggul, sedang kawan-kawannya berjalan dibelakangnya.

 

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika Bramanti mengetahui kemana mereka berjalan. Namun demikian ia masih bertanya, “Kemana kita, Temunggul?”

 

“Kau tahu, jalan ini akan sampai kemana? Kita menyusur parit itu, kemudian berbelok ke kiri di atas jalan pematang.”

 

“Ke gerojokan di bawah bendungan?”

 

“Kau menebak tepat.”

Dada Bramanti berdesir tajam. Ia menyadari apa yang akan terjadi. Gerojokan di bawah bendungan itu jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka segera terbayang, Temunggul akan melepaskan kemarahannya itu tanpa diganggu orang.

“Gila,” desis Bramanti. “Kalau aku menjadi gila pula, maka aku akan mengalami kesulitan.”

Tetapi Bramanti tidak mendapat kesempatan untuk menolak. Ia harus mengikuti langkah kaki Temunggul. Pergi ke bawah bendungan ke gerojogan.
Sejenak kemudian mereka pun telah meniti pematang yang akan sampai ke tanggul sungai di sebelah gerojogan itu. Disisi tebing sungai itu agak tinggi dan terjal, sehingga jarang sekali orang yang memerlukan turun, apabila tidak mempunyai kepentingan apapun.

Semakin dekat dengan gerojogan, dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih sempat mengendapkan perasaannya. Dan bahkan ia selalu berkata di dalam hatinya, “Aku harus mengendalikan diri sebaik-baiknya.”

Tetapi ketika mereka telah sampai di atas tanggul, Bramanti menjadi ragu-ragu atas dirinya sendiri. Kalau ia tidak berhasil mengendalikan perasaannya, maka akibatnya akan menghapuskan semua usaha yang pernah dirintisnya. Karena itu, maka ketika ia telah berdiri di atas tanggul, ia berhenti.

“Cepat kau turun Bramanti. Aku pun akan segera turun.”

 

Bramanti masih tetap berdiri diam.

 

“Cepat,” teriak Temunggul.

 

“Apa yang akan kalian lakukan atasku?” bertanya Bramanti.

“Itu bukan persoalanmu. Terserah kepada kami. Kau sudah melanggar janjimu. Aku hanya akan sekadar memberi peringatan kepadamu. Berterima kasihlah kau, bahwa aku masih berbaik hati, memberimu sekadar peringatan. Ayo cepat.”

Bramanti masih tetap berdiri tegak.

 

“Jangan membuat aku semakin marah Bramanti. Cepat turun.”

 

Tiba-tiba Bramanti menggelengkan kepalanya. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri. “Aku tidak ingin turun.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ketegangan yang tumbuh dari dalam dadanya.
“Satu, dua, tiga.....” setiap bilangan telah membuat dada Bramanti semakin tegang. Dan bilangan itu pun semakin naik juga, “empat,..... lima.”
Bramanti masih tetap berdiri saja ditempatnya. Sehingga karena itu, maka Temunggul pun telah kehilangan kesabarannya. Tebing itu memang cukup dalam, tetapi Temunggul telah memperhitungkannya, apabila Bramanti terjerumus, ia tidak akan mati karenanya. Karena itu, maka dikejapkannya matanya kepada salah seorang kawannya.

Kawannya mengerti maksud Temunggul. Dengan serta merta ia meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah Bramanti yang berdiri tepat di atas tanggul.

Bramanti memang sudah menduga, bahwa Temunggul akan melakukannya, meskipun ia meminjam tangan orang lain. Tetapi Bramanti sama sekali tidak ingin jatuh terguling dan terbanting di tepian meskipun di alasi dengan pasir. Tubuhnya pasti akan terluka oleh goresan batu-batu padas pada lereng yang terjal.

Karena itu, hampir di luar sadarnya Bramanti berusaha untuk menghindari hal itu. Kawan Temunggul yang berusaha mendorong Bramanti, sama sekali tidak melihat Bramanti bergerak. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia maju beberapa langkah lagi dan dengan sekuat tenaganya ia berusaha melempar Bramanti.

Tetapi orang itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Bramanti telah membuat suatu perhitungan yang tepat. Kalau ia jatuh terdorong oleh kekuatan orang lain, dan kemudian berguling ditebing itu, ia pasti akan terluka. Karena itu, maka ketika tangan kawan Temunggul itu menyentuh tubuhnya, Bramanti justru melemparkan dirinya sendiri meloncat ketepian di bawah. Dengan demikian ia dapat mengatur dirinya dan sama sekali tidak menyentuh batu-batu padas tebing sungai yang agak tinggi itu.

Namun hal itu sama sekali tidak diduga oleh kawan Temunggul yang berusaha untuk mendorongnya, bahkan oleh Temunggul sendiri dan kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, maka tenaganya sama sekali tidak menemukan tahanan apapun. Maka, tanpa dapat menahan dirinya sendiri, orang itupun terjerumus pula masuk ke dalam sungai. Karena ia sama sekali tidak bersiap untuk mengalami hal serupa itu, maka tubuhnya itu pun terguling di atas batu-batu padas tebing, untuk kemudian terbanting di atas pasir.

Melihat hal itu Temunggul dan kawan-kawannya yang lain terkejut bukan kepalang. Namun justru sejenak mereka seakan-akan membeku ditempatnya. Mereka melihat dengan mulut ternganga, Bramanti meloncat turun. Ketika ia jatuh diatas kedua kakinya ia berhasil berdiri tegak tanpa mengalami cidera apapun. Kemudian disusul oleh tubuh kawan Temunggul, yang jatuh seperti seonggok tanah liat.

Sebelum Temunggul dapat berbuat sesuatu, ia masih melihat Bramanti berlari-lari mendapatkan kawannya yang terjatuh itu. Kemudian menolongnya, menyandarkan pada sebuah batu padas di tebing. Dengan kainnya ia membersihkan wajah orang itu yang penuh dengan pasir dan tanah berlumpur.

“Gila kau Bramanti,” tiba-tiba Temunggul berteriak. Suara teriakan itu telah mengejutkan Bramanti, sehingga orang yang sedang ditolongnya itu dilepaskannya. Beberapa langkah ia menjauhi sambil memandang ke atas tanggul.

Namun kemudian disadarinya, bahwa sebentar lagi Temunggul dan kawan-kawannya yang lain pasti akan turun pula. Karena itu, maka daripada terjadi keributan, lebih baik baginya untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan demikian, maka Bramanti pun kemudian berlari meninggalkan orang yang masih duduk dengan lemahnya bersandar sebongkah batu padas yang berwarna kehijau-hijauan.

 

Dada Temunggul berdesir melihat Bramanti masih sempat melarikan dirinya. Karena itu, dengan serta merta ia berteriak, “He, tangkap anak itu. Jangan biarkan ia lari.”

 

Tetapi kawan Temunggul yang bersandar batu padas dibawah, sama sekali sudah tidak berdaya. Apalagi menangkap Bramanti, sedang untuk bernafaspun terasa betapa sukarnya.

Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang dapat menahan Bramanti. Ia berlari menyusur sungai. Meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain, dan kemudian menyeberangi arus yang tidak terlampau deras. Semakin lama semakin jauh. Ketika Bramanti kemudian memanjat tebing diseberang dan naik ke bendungan, maka Temunggul pun baru menyadari seluruh keadaan.

“Anak setan,” ia menggeram. “Marilah kita tolong anak itu.” Temunggul dan kawan-kawannya kemudian menuruni tebing yang agak curam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mendekati kawannya yang hampir menjadi pingsan. Beberapa bagian tubuhnya terluka oleh goresan batu-batu padas yang menjorok di tebing.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” bertanya Temunggul.

 

Kawannya yang terluka itu menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

 

“Kau kurang hati-hati,” sahut yang lain.

 

“Tidak,” potong Temunggul. “Memang Bramanti adalah seorang yang sangat licik. Kali ini ia berhasil melepaskan diri dari tanganku. Tetapi tidak lain kali.”

“Aku telah dilukainya,” desis orang yang terluka itu. “Aku harus membalasnya. Aku tidak akan dapat menunggu terlampau lama. Apabila aku sudah baik, aku akan segera mencarinya. Kemana saja. Kalau perlu aku akan datang ke rumahnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan seorang kawannya yang lain berkata pula. “Aku sependapat. Kalau perlu kita datangi rumahnya. Anak itu kita ambil saja dan kita bawa kemana kita inginkan. Tetapi hati-hati. Ternyata ia memang sangat licik.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Kita pergi ke Kademangan. Mereka akan melihat kau terluka. Kita dapat mengatakan apa saja. Misalnya kita dapat mengatakan, bahwa Bramanti telah mulai dengan usaha pembalasan dendamnya, dengan mendorong kau ke dalam jurang ini. Dengan demikian maka pembalasan kita kepadanya akan sepengetahuan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Sebab apabila kita bertindak sendiri, mungkin oleh Ki Jagabaya kita dianggap bersalah.”

Kawan-kawannya berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi Bramanti bukan seorang anak yang bisu. Ia dapat mengatakan yang lain. Ia dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tidak mengapa. Aku yakin bahwa mereka akan lebih mempercayai kita daripada Bramanti.” sahut Temunggul. “Nah, bagaimana? Kita tidak perlu membalasnya dengan bersembunyi-sembunyi. Akulah yang akan melakukannya dihadapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan dihadapan orang-orang Kademangan Candi Sari. Biarlah mereka melihat, bahwa kita memang tidak menganiayanya. Nah, aku kira Bramanti akan benar-benar menjadi jera dan tidak akan berani berbuat lagi.”

“Kalau saja Ki Demang dan Ki Jagabaya mempercayai kita,” gumam salah seorang kawannya.

 

“Aku yakin,” sahut Temunggul, kemudian kepada kawannya yang terluka ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Baik. Aku sependapat.” anak muda itu berhenti sejenak lalu. “Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Luka-lukaku terasa terlampau pedih. Mungkin tangan kiriku terkilir pula. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Bramanti mempunyai akal yang begitu licik dan licin.”

“Oh,” Temunggul berjongkok di samping kawannya itu, “Marilah aku bersihkan luka-lukamu dengan air sungai. Kemudian kita pulang bersama-sama untuk mencari obat.”
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ketika Temunggul dan kawan-kawannya mencoba mengangkatnya, ia menyeringai menahan sakit.

“Tahankan,” desis Temunggul. “Sebentar lagi kau akan mendapat kesempatan untuk membalas.”

 

“Aku akan membuatnya cacad seumur hidupnya.”

Temunggul pun kemudian memapah orang itu pergi ke air yang mengalir gemericik di sela-sela batu. Kemudian meletakkannya duduk di atas sebuah batu. Seperti memandikan anak-anak. Temunggul membersihkan anak muda itu. Menghilangkan pasir dan lumpur dari tubuhnya, mencuci luka-lukanya yang berdarah dan memijit-mijit punggungnya yang serasa patah perlahan-lahan.

Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu anak itu mampu berdiri dan berjalan sambil bersandar kepada kawannya. Dengan susah payah mereka berjalan menyusur sungai, naik ke bendungan yang tidak setinggi tebing, kemudian dari bendungan mereka merayap perlahan-lahan ke atas tanggul.
Temunggul menarik nafas ketika mereka berdiri di atas tanggul sungai itu. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Sekarang kita langsung ke Kademangan,”
“Kenapa?”

“Biarlah setiap orang Kademangan melihat sendiri luka-luka ditubuhmu. Biarlah mereka melihat darah itu. Dengan demikian maka hati mereka akan segera terbakar daripada mereka melihat kau kelak, apabila kau sudah sembuh.”

“Tetapi punggungku sakit sekali.”

 

“Justru karena itu.”

 

Anak muda yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Baik. Baiklah. Aku sependapat.”

Maka mereka itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan menuju ke Kademangan. Disepanjang jalan mereka telah bersepakat untuk membuat ceritera palsu tentang Bramanti. Apapun yang mereka lakukan namun mereka ingin mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada Bramanti.

Ternyata usaha mereka sebagian terbesar dapat berhasil. Orang-orang yang kebetulan melihat Temunggul memapah seorang kawannya segera bertanya, apakah sebabnya kawannya itu terluka.

 

“Kami akan mengatakannya di Kademangan,” jawab Temunggul.

 

“Kenapa mesti di Kademangan?” bertanya orang itu.

 

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Ada sesuatu yang kami anggap penting.”

 

Orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia bergumam di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak mempunyai keperluan lain, aku akan memerlukan pergi ke Kademangan.”

Namun demikian, ada juga satu dua orang yang memerlukan pergi untuk sekadar mendengar sebab dari luka-luka itu.
Di Kademangan, Ki Demang segera memanggil orang-orang terdekat. Termasuk Ki Jagabaya atas permintaan Temunggul. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang lain.

“Katakan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kami ingin segera mengetahui, apakah yang telah terjadi. Kalau hal ini tidak kau anggap penting, aku kira anak ini tidak akan kau bawa kemari selagi ia masih menyeringai kesakitan.”

“Ya Ki Demang, justru ia masih dalam keadaannya, ia aku bawa kemari, supaya Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang lain melihat apa yang telah terjadi.”

 

“Ya, katakanlah.”

 

“Ki Demang, Ki Jagabaya dan kawan-kawan,” berkata Temunggul, yang meskipun agak gemetar, namun kemudian ia dapat berbicara dengan lancar juga. “Ternyata Bramanti telah mulai.”

 

“Apa maksudmu?”

“Seperti yang kita duga semula. Ia telah mulai melakukan balas dendam. Yang pertama-tama menjadi sasaran adalah anak ini. Bramanti menyangka bahwa ayahnya ikut serta melakukan pembunuhan kirakira sepuluh tahun yang lalu.”

Dada Ki Demang berdesir. Apalagi Ki Jagabaya. Wajahnya segera menjadi merah padam. “Kenapa anak itu?” bertanya Ki Jagabaya.

 

“Ia terperosok ke dalam pereng sungai di gerojokan,” jawab Temunggul.

 

“Ya, kenapa?”

“Itulah yang akan kami katakan. Bramantilah yang mendorongnya. Selagi anak itu berdiri di tanggul, tanpa diketahuinya Bramanti mendekatinya. Tiba-tiba ia didorong masuk. Untunglah, bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya. Meskipun demikian, inilah keadaannya.”

“Setan alas,” Ki Jagabaya menggeram. “Bukankah ia sudah berjanji, bahwa ia tidak akan melepaskan dendamnya itu?”

 

“Tetapi sekarang Ki Jagabaya melihatnya sendiri.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi seakan-akan terbakar. Hampir saja ia langsung meloncat ke rumah Bramanti, seandainya Temunggul tidak berkata, “Nah, marilah kita bicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

“ Beberapa hari ya