SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

Ki Jagabaya tidak membantah lagi. Memang itu adalah haknya. Tetapi bagi Ki Jagabaya, hal itu terasa aneh. Bukankah setiap orang sudah bertekad untuk mempertahankan Kademangan ini dengan pengorbanan apa saja.

Tetapi ternyata Ki Demang pun tidak segera melakukan maksudnya. Meskipun dari hari ke hari ia menjadi semakin jarang tampak.

 

Dengan demikian maka pimpinan Kademangan itu seolah-olah telah berpindah. Orang yang dalam kedudukannya masih selalu bertindak adalah Ki Jagabaya.

Namun Ki Jagabaya tidak pernah meninggalkan Ki Tambi dan Bramanti, karena Ki Jagabaya sendiri adalah seorang yang malas berpikir. Ia terlampau biasa menjalankan tugas-tugas yang telah diatur terlebih dahulu.

Sedang di lingkungan anak-anak muda dan para pengawal pengaruh Temunggul pun menjadi semakin susut. Kini mereka telah meyakini, bahwa Bramanti adalah seorang yang mengagumkan lahir dan batin. Setiap orang Kademangan Candi Sari kemudian menjadi yakin, bahwa Bramanti memang bermaksud baik. Dendam dan kebencian yang mereka cemaskan, semakin lama semakin hilang dari ingatan mereka.
“Kalau ia ingin berbuat demikian, maka Kademangan ini telah dihancurkannya,” desis orang di dalam hatinya.

Demikianlah , maka kedudukan Bramanti semakin lama menjadi semakin mantap. Tidak ada seorang pun lagi yang dapat mengasingkannya lagi.
Namun Bramanti sama sekali tidak merubah cara hidupnya. Ia masih tetap sering duduk di bawah pohon sawo, menganyam berbagai macam barang dari bambu. Keranjang, caping kuwung, dan bermacammacam lagi. Tetapi kini yang sering singgah ke rumahnya menjadi semakin banyak. Bukan sekadar Ki Tambi dan Panjang. Bahkan Ki Jagabaya pun sering datang ke rumah itu pula.

Dengan demikian, maka semakin banyak pula orang-orang yang sering membawa barang-barang anyaman Bramanti. Namun Bramanti memberikannya dengan senang hati, karena Bramanti sadar, bahwa bukan barang-barang itulah yang sebenarnya dikehendaki. Tetapi mereka hanya sekadar menunjukkan sikap semanak, sikap yang baik kepadanya.

Dalam pada itu, ibu Bramanti tidak henti-hentinya mengamati perubahan yang terjadi pada anak lakilakinya. Diam-diam mengembanglah suatu kebanggaan di dalam dirinya. Kebanggaan yang selama ini terendam dalam-dalam di dalam dadanya.

Ketika ia melihat kemenangan Bramanti, kemudian disusul dengan sikap yang berubah dari seluruh rakyat Candi Sari, maka kenangan masa lampaunya seolah-olah telah terungkat kembali. Tanpa sesadarnya perempuan itu sering membayangkan, selagi ia masih dihormati oleh seisi Kademangan.

Setelah kebanggaan itu tertekan di dalam dadanya untuk waktu yang sekian panjangnya, sepanjang umur Bramanti, maka tiba-tiba ia melihat anak laki-lakinya telah melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tidak disangka-sangka olehnya dan oleh seluruh Kademangan.

“Mudah-mudahan ia mampu mengembalikan masa kebanggan itu. Masa kebesaran ayahnya,” namun angan-angannya itu tiba-tiba terputus. Kerut merut yang dalam membayang dikeningnya. “Bukan ayahnya. Tetapi ayah Panggiring,” desisnya. “Laki-laki itulah yang pernah menjadi Demang kebanggan Candi Sari. Bukan Pruwita ayah Bramanti.”

Namun dicobanya untuk menghibur dirinya, “Tetapi apakah bedanya? Bramanti adalah anaku pula, seperti Panggiring.”

 

Meskipun demikian, disela-sela kebanggaan yang mulai mengembang itu, terbersitlah kekecewaan yang semakin lama semakin terasa menggigit jantung.

 

“Bagaimanakah seandainya pada suatu saat Panggiring itu pulang? Tanah ini dan Kademangan ini akan menjadi persoalan yang dapat meretakkan dada.”

Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Sekarang Bramantilah yang ada. Bramantilah yang mendapat kepercayaan dari rakyat Candi Sari. Dan kepercayaan itu sama sekali bukan sekadar kepercayaan yang dibuat-buat. Tetapi karena Bramanti pada suatu saat telah benar-benar melakukan sesuatu.”

Meskipun demikian, Nyai Pruwita tidak dapat menghindarkan diri dari kerisauan itu. Kebanggaan yang bercampur baur dengan kecemasan. Harapan dan kebingungan. Kadang-kadang ia merasakan betapa ia merindukan anaknya yang seorang lagi. Tetapi kadang justru ia mencemaskannya kalau anaknya yang seorang itu akan datang kembali ke Kademangan ini.
Namun bagaimanapun juga ia adalah seorang ibu. Ia adalah orang yang melahirkan, betapapun bentuk dan jadinya. Panggiring adalah anaknya seperti juga Bramanti.

Tetapi yang dapat dilihatnya sehari-hari sikap yang semakin baik dari setiap orang di Candi Sari kepadanya. Kepada anaknya dan kepada keluarga yang seakan-akan telah hampir dilupakan itu.

Bramanti sendiri, kini tidak pernah lagi ragu-ragu untuk pergi kemanapun. Semua orang bersikap baik kepadanya. Anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Hampir setiap hari, apabila ia telah duduk di bawah pohon sawo, dan jemu berbaring di dalam kandangnya maka ia pun kadang-adang pergi juga ke bendungan. kadang-kadang bersama-sama dengan satu dua orang anak-anak muda, tetapi kadangkadang ia pergi sendiri.

Meskipun demikian, meskipun ia tidak mencemaskan dirinya lagi, namun apabila ia bertemu dengan Ratri hatinya selalu menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia mengumpat sambil berdesis. “Semua ini adalah salah Temunggul. Kalau ia tidak mempersoalkan hubunganku dengan Ratri, aku kira akupun tidak akan terlampau banyak menaruh perhatian kepadanya. Tetapi kini agaknya telah terlanjur.”

Setiap kali ia berpapasan, maka keringatnya menjadi semakin deras mengalir. Apalagi kalau mereka berpapasan di pematang yang sempit.

 

“Kemana kau Bramanti?” Ratri selalu menyapanya lebih dahulu.

Seperti kanak-kanak yang berpapasan dengan bibi yang kurang dikenalnya. Bramanti selalu menundukkan kepalanya. Dengan jantungnya yang berdebar ia menjawab, “Aku akan ke bendungan Ratri.”

“Sendiri?”

 

“Ya. Dan kau?”

 

“Aku sudah selesai mencuci di bendungan. Kau kesiangan agaknya.”

 

Bramanti tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.

 

“Bramanti,” tiba-tiba suara Ratri merendah.

 

Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah gadis itu, tampaklah ia bersungguhsungguh.

 

“Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Setiap kali ia bertemu dengan Ratri, maka setiap kali gadis itu bertanya tentang Panggiring. Ia sama sekali tidak senang mendengar pertanyaan itu. Bukan saja ia kurang senang mendengar nama Panggiring, tetapi lebih daripada itu, Ratrilah yang menyebut nama itu.

Tetapi sejauh-jauh mungkin Bramanti menyembunyikan perasaannya itu, meskipun kadang-kadang terloncat juga lewat kata-katanya.

 

“Belum Ratri,” jawab Bramanti. “Aku belum mendengar berita tentang kakang Panggiring.”

 

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia bertanya lagi, “Bramanti, apakah umurmu terpaut banyak dari kakakmu?”

 

Bramanti mengerutkan keningnya, “Kenapa?” ia bertanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Ratri. “Ketika ia pergi, kita masih sama-sama kecil. Tetapi aku masih ingat benar, bahwa Panggiring adalah seorang anak muda yang tegap, meskipun saat ini agak kekuruskurusan,” Ratri berhenti sejenak lalu. “Ketika aku pertama kali melihatmu Bramanti, aku sangka kau adalah Panggiring.”

Bramanti menarik nafas.

 

“Hampir seperti kau inilah kira-kira, ketika ia pergi.”

 

“Tidak,” tiba-tiba Bramanti menjawab. “Masih jauh lebih muda dari aku sekarang.”

 

“Ya, ya, begitulah,” jawab Ratri. “Tetapi ia memberikan kesan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.”

 

Debar di dada Bramanti menjadi semakin keras.

 

“Aku tidak dapat membayangkan, bagaimanakah Panggiring sekarang,” desis Ratri.

 

Bramanti menahan nafasnya. Ketika ia memandang wajah Ratri, tampaklah betapa angan-angan gadis itu membubung menerawang ke alam angannya.

 

“Bramanti,” tiba-tiba Ratri bertanya lagi. “Apakah kira-kira Panggiring juga setinggi kau? Atau bahkan lebih tinggi lagi?”

 

Bramanti menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu Ratri. Yang aku ketahui, Panggiring sekarang adalah seorang penjahat. Seorang yang sudah terasing dari pergaulan.”

Wajah Ratri tiba-tiba menjadi suram. Dan terdengar ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Ya. Panggiring memang seorang penjahat menurut Ki Tambi,” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah menurut dugaanmu seorang penjahat tidak akan dapat menjadi baik Bramanti?”

Tanpa sesadarnya Bramanti menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak. Apalagi seorang penjahat sebesar Panggiring.”

 

“Jadi apakah dengan demikian kau menganggap bahwa kakakmu itu sudah hilang dan tidak akan kembali lagi?”

 

Bramanti menjadi ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia menggeleng sekali lagi. “Aku tidak tahu Ratri. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak mengharapkannya kembali.”

 

Kenapa? Bukankah ia kakakmu satu-satunya?”

“Aku masih terlampau kecil untuk mengerti kenapa Panggiring saat itu tidak mau tinggal bersama kami. Tetapi suatu kenyataan bahwa ia telah pergi meninggalkan aku, ibu dan ayah.” Bramanti berhenti sejenak. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengatakan lebih banyak lagi tentang Panggiring.

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebuah kenangan telah membayang dikepalanya. Kenangan semasa kanak-kanaknya. Sejak ia masih seorang gadis kecil ia telah mengagumi seorang yang bernama Panggiring, yang ketika itu sedang meningkat remaja. Anak muda pendiam yang selalu berwajah muram. Namun pendiam itu sangat baik kepadanya.

Ia tidak menyangka, bahwa anak yang baik dan pendiam itu pada suatu saat akan dapat menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara.

 

Meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia telah dibelit oleh suatu keinginan untuk bertemu kembali dengan Panggiring setelah sekian lama berpisah.

Ratri tersadar ketika terasa panas matahari pagi menggatalkan kulitnya. Ketika dilihatnya Bramanti berdiri kaku di hadapannya, maka ia pun tersenyum sambil berkata. “Ah, kau akan semakin kesiangan. Pergilah ke bendungan. Beberapa kawan masih di sana. Aku pulang lebih dahulu karena ibu tidak dapat masak hari ini, sehingga aku harus melakukannya.”

“Kenapa?”

 

“Pening. Ibu terlampau banyak kepanasan kemarin menunggui jemuran padi.”

 

“O,” Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

“Aku akan lewat,” tiba-tiba Ratri berdesis.

 

“Oh,” Bramanti tergagap. Namun ketika terpandang olehnya senyum Ratri yang cerah, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

 

Tanpa menunggu Ratri mengulangi kata-katanya, Bramanti pun kemudian turun ke sawah yang berlumpur, sementara Ratri berjalan di sepanjang pematang.

 

“Terima kasih Bramanti,” katanya kemudian, “Kau sekarang tidak perlu cemas lagi, bahwa Temunggul akan membentak-bentakmu. Bukankah begitu?”

 

“Ah.”

Ratri tertawa kecil. Katanya kemudian, “Jangan gusar. Aku hanya bergurau saja,” kemudian agak bersungguh-sungguh Ratri berkata, “Bukankah kau akan memberitahukan kepadaku, apabila kau mendapat kabar tentang kakakmu?”

Terbata-bata Bramanti menjawab, “Ya. Ya.”

“Terima kasih,” desis Ratri sambil melanjutkan langkahnya. Sekali lagi ia berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan ketika tiba-tiba seorang perempuan yang sedang mengambil daun lembayung di sawahnya mendeham beberapa kali.

Ketika Ratri berpaling perempuan itu tersenyum. “Ah bibi,” desah Ratri.

 

“Kenapa?” bertanya perempuan itu sambil tertawa.

 

“Bibi mengejutkan aku.”

 

“Kau terlampau asyik saja.”

 

“Ah,” sekali lagi Ratri berdesah. “Bibi menggangguku.”

 

Perempuan itu tidak menjawab. Tangannya telah bermain kembali di atas daun-daun lembayung muda.

 

“Apakah kau perlu dedaunan untuk masak,” bertanya perempuan itu.

 

“Terima kasih bibi. Aku sudah menyuruh mengambil pula.”

 

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Ratri pun kemudian berjalan menyusur pematang, menuju ke jalan pedesaan.

Dalam pada itu di kejauhan seorang anak muda duduk di balik rimbunnya daun jarak di pinggir sawah. Sekali-kali wajahnya menjadi merah, namun kemudian menjadi pucat dan tertunduk lesu. Kadangkadang ia ingin melihat Ratri yang sedang bercakap-cakap dengan Bramanti di pematang, namun kadang-kadang ia membuang wajahnya, membenturkan pandangan matanya kepada batang-batang padi yang hijau dihadapannya.

Berbagai perasaan sedang bergolak di dalam dadanya. Ia tidak dapat melupakan Ratri begitu saja, betapapun ia sadar, bahwa jurang yang terbentang di antara mereka kini menjadi kian lebar.

 

Tiba-tiba anak muda itu terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya. “Temunggul.”

 

Temunggul berpaling. Dan ia terperanjat ketika ia melihat Ki Demang telah berdiri di belakangnya.

 

“Oh, Ki Demang agaknya,” sapanya sambil berdiri.

Ki Demang tidak segera menyahut. Dipandanginya Ratri yang berjalan di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian ketika ia berpaling ke arah yang lain dilihatnya Bramanti seakan-akan hilang ditelah oleh hijaunya dedaunan di sawah, ketika ia turun ke bendungan.

“Anak-anak muda itu telah mengecewakan kau bukan Temunggul?” bertanya Ki Demang.

 

Temunggul menggigit bibirnya.

 

“Apakah sekarang Ratri menjauhimu?”

 

Temunggul masih belum menjawab.

 

“Kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki,” berkata Ki Demang kemudian.

 

Temunggul terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia bertanya, “Maksud Ki Demang?” Ki Demang tersenyum hambar. Desisnya, “Bukankah kau mencintai Ratri?”

 

Temunggul tidak segera menyahut. Tetapi dadanya dijalari oleh keragu-raguan. Dipandanginya saja wajah Ki Demang dengan sorot mata keheranan.

 

“Benar?” desak Ki Demang.

 

Temunggul masih belum menjawab. Seolah-olah ia ingin meyakinkan apakah Ki Demang sebenarnya memang bertanya demikian.

 

“Benar begitu, Temunggul?” desak Ki Demang pula.

 

Perlahan-lahan Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau kau benar-benar mencintainya, kau harus berbuat sesuatu. Kau tidak akan dapat bertopang dagu seperti yang kau lakukan itu. Meratap dan mengeluh. Kemudian bersembunyi dan menelungkup di pembaringan sambil menangis. Tidak Temunggul. Itu adalah laku seorang perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng. Sedang kau adalah seorang laki-laki . Seorang pemimpin pengawal Kademangan ini. Apakah kau akan tinggal diam?”

Terasa sesuatu bergolak di dada Temunggul.

 

“Kau tahu maksudku Temunggul?”

 

Temunggul tidak menyahut.

“Ada seribu jalan yang dapat kau tempuh. Tetapi tidak menyita diri sendiri seperti yang kau lakukan. Kau harus merebutnya dengan segala macam cara.”
Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera mengerti, jalan manakah yang dimaksud oleh Ki Demang. Suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya bahwa ia tidak akan dapat melawan Bramanti. Bahkan lima orang setingkatnya sekaligus.

Temunggul menjadi semakin bingung ketika ia melihat Ki Demang tersenyum.

 

“Temunggul,” desis Ki Demang. “Ada persamaan persoalan antara aku dan kau, meskipun sasarannya berbeda. Kalau kau kehilangan seorang gadis, maka aku akan kehilangan Kademangan ini.”

 

“Kenapa?” tiba-tiba Temunggul bertanya.

“Beberapa orang telah berbuat terlampau bodoh. Bahkan kau sendiri telah ikut terseret ke dalamnya. Coba katakan, apakah perlawanan kalian terhadap orang-orang Panembahan Sekar Jagat, dan yang kalian anggap suatu kemenangan itu telah memberikan ketentraman kepada kalian kini?”

Temunggul mengerutkan keningnya.

 

“Semua itu akan membawa bencana bagi tanah ini. Sebentar lagi Kademangan ini akan menjadi karang abang.”

 

“Tetapi hal itu telah terjadi beberapa hari sampai sekarang Ki Demang. Dan belum ada tanda-tanda bahwa Penambahan Sekar Jagat akan menuntut balas atas kematian orang-orangnya disini.”

 

“Itulah kelebihan Panembahan Sekar Jagat. Ia membiarkan korbannya dalam kecemasan untuk waktu yang lama sebelum sampai saatnya ia datang untuk menghancurkannya.”

 

Tanpa disadarinya Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Adalah kebetulan sekali Temunggul, bahwa orang yang telah merampas gadis itu dari tanganmu, adalah sumber dari bencana yang bakal melanda Kademangan ini. Bramanti, kemudian Tambi dan beberapa orang yang lain yang sama sekali tidak berpengaruh apapun juga.”

Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau orang itu tidak ada, maka baik kau maupun aku akan menjadi tentram karenanya. Kau tidak akan kehilangan Ratri, dan aku tidak akan kehilangan Kademangan ini. Bukan aku seorang diri. Bukan aku pribadi, tetapi seluruh Kademangan inilah yang aku maksud. Sehingga apabila kau dapat melakukannya, maka kau adalah sebenarnya pahlawan bagi Candi Sari.”

Temunggul tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia merenung. Dibayangkannya apakah yang kira-kira terjadi apabila ia melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Demang itu. Tetapi bagaimana mungkin hal itu terjadi?

Ki Demang agaknya melihat keragu-raguan di wajah Temunggul. Karena itu ia menyambung, “Temunggul. Aku tahu, bahwa tingkat ilmumu masih jauh berada di bawah Bramanti. Ternyata Bramanti selama ini telah memalsu dirinya dan berpura-pura. Aku tidak tahu dengan pasti, apakah maksudnya. Namun sebenarnya ia adalah seorang yang luar biasa. Karena itu, kau pasti tidak akan dapat melawannya. Kau harus menemukan kesempatan untuk melakukannya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Kini ia tahu pasti maksud Ki Demang. Ia harus membunuh Bramanti dengan cara yang licik.

“Nah, pertimbangkan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kau tidak hanya akan mendapat Ratri. Tetapi seluruh Kademangan akan berterima kasih kepadamu. Serahkan Tambi kepadaku, sedang Panjang dan beberapa orang yang lain sama sekali tak akan banyak berarti bagimu.”

Jantung Temunggul serasa berdenyut semakin cepat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa ia akan mendapat tawaran serupa itu. Tawaran yang sama sekali bertentangan dengan sifat-sifatnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Kalau ia harus bertempur, maka akan lebih baik baginya bertempur berhadapan, meskipun ia harus mati. Tetapi tidak dengan cara yang licik itu.

Namun segera terbayang, betapa Bramanti mampu membunuh seorang yang bernama Sapu Angin. Kalau ia menantang anak muda itu sebagai seorang laki-laki maka itu akan berarti bahwa ia akan membunuh dirinya.

Karena itu, maka Temunggul kini justru berada di dalam kebingungan. Semula ia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan untuk merebut Ratri dengan cara apapun. Ia lebih baik duduk bertopang dagu sambil menyesali nasibnya. Karena ia tidak akan dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya.

Namun hal itu kini menjadi persoalan baginya, justru suatu persoalan baru. Ki Demang yang masih berdiri di tempatnya tersenyum. Katanya, “Pikirkanlah Temunggul. Kau masih mempunyai cukup waktu. Kau dapat datang ke rumahku setiap saat. Tetapi sudah tentu, jangan terlampau lama. Aku sebaiknya berterus terang kepadamu, bahwa Panembahan Sekar Jagat akan melepaskan tuntutannya atas kematian Sapu Angin, asal kita dapat menyerahkan pembunuhnya hidup atau mati. Nah, bukankah dengan demikian kita akan terlepas dari bencana yang maha dahsyat yang dapat menimpa Kademangan ini, termasuk Ratri.” Ki Demang kemudian berhenti sejenak, kemudian, “Selain semuanya itu Temunggul, kau akan mendapat imbalan yang lain. Apa yang kau ingini sebagai bekal kawinmu? Sawah atau pendok emas?”

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Temunggul. Namun dengan demikian, maka justru hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dan bahkan ia tidak dapat mengerti, bagaimanakah sebenarnya tanggapannya atas usul Ki Demang itu. Temunggul merasa dirinya sendiri seolah-olah menjadi asing setelah ia mendengar tawaran Ki Demang itu.

“Jangan kau paksa dirimu memutuskan sekarang Temunggul. Kalau kau tergesa-gesa mungkin kau akan keliru. Renungkanlah seperti yang aku katakan. Aku menunggu keputusanmu.”

 

Sebelum Temunggul menjawab, Ki Demang telah melangkah pergi meninggalkan Temunggul seorang diri.

 

Sepeninggalan Ki Demang, Temunggul menjadi bingung. Ia tidak pernah dicengkam oleh kebimbangan seperti itu. Kebimbangan yang membuat kepalanya seakan-akan terlepas dari lehernya.

“Tawaran itu cukup baik,” desisnya. “Aku dapat mencari kesempatan yang sebaik-baiknya. Aku dapat berbuat licik sekalipun. Namun aku akan mendapatkan segala-galanya. Ratri dan bekal yang cukup untuk mengawininya. Bahkan aku tidak akan pernah kehilangan kedudukan dan pengaruhku di antara anak-anak muda Kademangan Candi Sari ini.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya yang memancarkan kerisauan hatinya, menyapu hijaunya tanah persawahan.

 

“Aku akan mempunyai segala-galanya,” desisnya.

TIba-tiba Temunggul itu tersenyum, “Persetan dengan kejantanan. Aku akan membunuhnya dengan cara apapun. Mungkin aku akan meracunnya atau menikamnya dari belakang di bendungan, atau dimana saja. Mudah sekali. kemudian aku mendapat sebidang sawah yang subur untuk memperluas sawahku sendiri, atau sebuah perhiasan emas teretes berlian, atau apapun yang aku minta.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bahkan mungkin aku akan menjadi semakin berpengaruh di Kademangan ini. Kini nama Ki Demang telah menjadi semakin susut. Apakah tidak mustahil bahwa suatu ketika aku akan sampai pada kedudukan itu? Seperti menyingkirkan Bramanti, akupun harus dapat menyingkirkan Ki Demang.”

Tanpa sesadarnya Temunggul tertawa.

 

Untunglah bahwa segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian suara tertawanya itu pun terputus. Dengan nanar ia memandang kesegala arah.

“Apakah ada seseorang yang melihat aku tertawa sendiri?” ia bertanya kepada dirinya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Agaknya tidak ada seorang pun yang melihatnya.
“Aku harus segera pulang dan mempersiapkan diriku lahir dan batin,” desisnya, kemudian, “Aku harus melepaskan segala macam perasaan harga diri dan kehormatanku. Apabila masih ada sepercik keraguraguan di dalam dada ini, maka semuanya pasti akan gagal. Kegagalan itu hanya akan menambah kepahitan hidupku saja,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apa boleh buat. Apa boleh buat.”

Langkah Temunggul pun semakin lama menjadi semakin cepat tanpa disadarinya. Dengan tangan gemetar Temunggul membuka pintu rumahnya, kemudian langsung menuju ke dalam biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Sejenak kemudian, angan-angannya telah terbang menerawang sampai ke lapis tingkat ketujuh.

Bayangan-bayangan tentang masa depannya yang mengawang itu pun seolah-olah senjadi semakin jelas.

 

Pada saat itu Bramanti masih duduk merenung di atas sebuah batu di bendungan. Ia menunggu beberapa orang gadis yang masih belum selesai dengan cuciannya.

Sekali-kali Bramanti melihat gadis-gadis itu serentak berpaling kepadanya, kemudian tertawa tertahantahan. Namun Bramanti tidak mempedulikannya lagi. Ia ingin gadis-gadis itu segera selesai. Kemudian ia sendiri akan mencuci bajunya pula.

Namun sambil menunggu, Bramanti selalu teringat akan pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya, Panggiring. Setiap kali dadanya terasa seakan-akan tergores seujung duri. Kenapa setiap kali Ratri selalu bertanya tentang Panggiring. Panggiring dan tidak yang lain?

Bramanti mengerutkan dahinya. Bahkan ketika ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Ratri, gadis itu menyangkanya panggiring juga.

 

“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

 

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memaksa Ratri untuk melupakan Panggiring. Apalagi berterus terang kepada gadis itu.

 

“Beginilah kira-kira perasaan Temunggul pada waktu itu, dan bahkan mungkin sampai saat ini,” desis Bramanti. “Tetapi apaboleh buat. Sedang akupun telah disiksanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.”

Dan tanpa sesadarnya Bramanti telah mulai menilai kakaknya yang bernama Panggiring itu. Meskipun saat itu ia tidak mengerti dengan jelas, apakah sebenarnya yang telah terjadi, tetapi kebencian ayahnya kepada Panggiring telah membuatnya membenci kakaknya itu pula.

“Kebencian ayah pasti bukan tidak beralasan,” desisnya. “Dan agaknya kakang Panggiring memang mempunyai pembawaan buruk.”

 

Dengan demikian maka Bramanti pun menjadi semakin jauh dari kakaknya itu. Meskipun mereka saudara seibu, tetapi Bramanti sama sekali tidak merasakan sentuhan apapun dari pada perasaannya.

Namun Bramanti terkejut ketika ia merasakan punggungnya disentuh oleh sebuah batu kerikil. Ketika ia berpaling maka dilihatnya gadis-gadis yang sedang ditunggunya itu berada di atas tebing. Salah seorang dari mereka telah melemparinya dengan kerikil.
“He, apakah kau tertidur?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Alangkah asyiknya mimpimu Bramanti,” berkata yang lain.

 

Bramanti menarik nafas. Namun kemudian ia tersenyum.

 

“Siapakah bunga di dalam mimpimu Bramanti?” bertanya yang lain.

 

Sekenanya saja Bramanti menjawab, “Kau.”

 

Terdengar gadis-gadis itu pun tertawa sambil saling mendorong, sehingga salah seorang dari mereka menjerit, “He, jangan. Hampir saja aku terjerumus tebing.”

 

“Jangan takut,” sahut yang lain. “Masih ada yang akan menolongmu di bawah.”

 

Suara tertawa gadis-gadis itu pun menjadi semakin riuh.

 

Namun mereka pun kemudian berlari-larian meninggalkan tebing dan hilang di balik rerumputan di atas tanggul.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Gadis-gadis itu kini bersikap baik kepadanya. Tidak seperti beberapa saat sebelumnya. Namun dengan demikian, Bramanti merasa semakin sepi, karena setiap kali Ratri selalu menanyakan Panggiring.

“Ah, apa peduliku,” ia menggeram. Kemudian ia pun meloncat ke bendungan dan melemparkan bajunya ke dalam air. Sejenak kemudian ia pun telah sibuk mencuci bajunya dengan air lerak.

Untuk meniadakan angan-angannya maka dihentakkannya bajunya itu beberapa kali. Kemudian ditariknya sebuah tembang dengan suara yang sumbang. Adalah kebetulan sekali bahwa ia menembang lagu Asmarandana.

Di malam hari, seperti biasanya, Bramanti selalu pergi ke Kademangan. Meskipun Ki Demang sendiri sudah jarang-jarang sekali keluar dari rumahnya, namun pendapa rumah itu, dan gardu di halaman, masih selalu penuh dengan anak-anak muda dan para pengawal. Apalagi setelah Sapu Angin terbunuh di Kademangan Candi Sari, maka halaman Kademangan itu tampak menjadi semakin sibuk.

Ketika Bramanti memasuki halaman, dilihatnya Temunggul mendekatinya. Sambil tertawa ia berkata, “Bramanti, kau tampak