SH Mintardja - Tanah Warisan by S.H. Minardja - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Persoalan itu bersangkut paut dengan matinya seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat yang bernama Sapu Angin. Kau tahu. Semakin cepat Bramanti tersingkirkan akan menjadi semakin baik, “Ki Demang menelan ludahnya, lalu, “He, Temunggul. Apakah kau benar-benar dapat aku percaya?”

“Kenapa?”

 

“Bahwa kau benar-benar berani menyingkirkan Bramanti.”

 

“Ada atau tidak ada orang yang mempercayai aku, itu adalah persoalan pokok bagiku. Tanpa orang lain, aku akan melakukannya.”

 

“Bagus. Bagus. Aku memang lebih baik berterus terang kepadamu.”

 

Temunggul mengerutkan keningnya.

 

“Tetapi ingat. Setiap usaha mengkhianatinya, maka akan berhadapan dengan Panembahan Sekar Jagat.”

 

Temunggul masih tetap berdiam diri.

“Temunggul,” berkata Ki Demang itu perlahan-lahan hampir berbisik. Sekali-kali dipandanginya regol halaman kalau ada seorang yang memasukinya, “Aku akan berterus terang. Panembahan Sekar Jagat akan segera datang. Segera. Untuk meyakinkan bahwa kehadirannya di Kademangan ini tidak akan menemui rintangan yang berarti, maka Bramanti harus disingkirkan lebih dahulu dengan caramu itu. Lebih daripada itu, Panembahan Sekar Jagat akan sangat berterimakasih kepadamu, dan kau akan mendapat tempat yang baik sekali di Kademangan ini kelak. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat akan menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya. Ki Tambi, Panjang dan bahkan Ki Jagabaya.”

Dada Temunggul berguncang mendengar keterangan Ki Demang itu. Kini sedikit banyak ia telah dapat membayangkan, apakah niat Ki Demang yang sebenarnya. Agaknya orang ini telah berhubungan dengan Panembahan Sekar Jagat yang menuntut kematian Bramanti sebagai ganti Sapu Angin. Namun lebih daripada itu, Temunggul jadi semakin curiga, bahwa selama ini Ki Demang selalu menakut-nakuti dan menghalang-halangi usaha perlawanan terhadap Panembahan Sekar Jagat itu.

“Agaknya Ki Demang mamang mempunyai hubungan sejak lama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

 

Namun Temunggul mencoba menahan gejolak di dalam dadanya, supaya tidak berkesan diwajahnya.

 

“Apakah kau sekarang menjadi jelas?” bertanya Ki Demang.

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.” Dan Ki Demang itu berkata seterusnya, “Dan kau harus menyadari, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat melawan Panembahan Sekar Jagat. Seandainya kau tidak berhasil sekalipun, Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengurungkan niatnya. Bahkan kau sendiri akan dilibatkan pula dalam persoalan ini, karena terbukti kau ikut serta dalam pertempuran di halaman rumah Bramanti. Namun akulah yang berusaha dengan susah payah untuk menyisihkan kau. Selama ini kau adalah pembantuku yang paling baik.”

Temunggul masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

“Tetapi ingat pula akan waktu. Kalau kau mungkin melakukannya, lakukanlah hari ini.”

 

“Hari ini?” Temunggul terperanjat.

 

“Ya, hari ini. Carilah kesempatan. Kau dapat datang kerumahnya, atau dibendungan atau ditengah sawah atau dimana saja.”

 

“Kenapa hari ini?”

 

Ki Demang menarik nafas. Jawabnya, “Begitu pesannya.”

 

Dada Temunggul menjadi semakin terguncang-guncang. Namun untuk menyembunyikannya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil.”

 

Ki Demang menepuk pundak Temunggul, “Tentu. Kau tentu berhasil. Aku percaya kepadamu.”

 

Temunggul mengangguk-angguk.

“Sayang, sebenarnya aku masih akan berbicara agak panjang. Tetapi itu, seorang pengawal telah datang. Bagiku lebih baik untuk sementara mengasingkan diri sampai pada saatnya aku akan bekerja bersama dengan orang-orang yang dapat mempergunakan otaknya.”

“Baiklah Ki Demang, aku pun akan segera minta diri setelah ada orang lain yang menggantikanku disini.”

 

“Hati-hatilah,” desis Ki Demang sambil berdiri dan melangkah menyeberangi pendapa, masuk ke pringgitan.

Temunggul kemudian berdiri termangu-mangu. Yang di dengarnya itu adalah sebuah berita yang sangat berharga baginya. Ia dapat memanfaatkannya dari dua segi. Melanjutkan pesan Ki Demang, dengan harapan-harapan yang dapat diberikan oleh Panembahan Sekar Jagat kepadanya, atau berdiri teguh di atas keyakinannya selama ini.

Wajah Ratri yang kadang-kadang membayang memang dapat mempengaruhinya. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Bramanti harus segera mengetahui masalah ini.”

 

Ketika seorang lagi telah datang, maka Temunggul pun kemudian minta diri kepada kedua orang pengawal yang akan menggantikan tugasnya, berjaga-jaga di gardu Kademangan.

 

Di sepanjang jalan, Temunggul masih saja bergulat di dalam angan-angan. Tanpa disadarinya ia telah berdiri di pinggir desa. Namun ia tidak tahu, kemana ia akan pergi.

 

Sejenak, Temunggul berdiri saja termenung memandangi dedaunan yang hijau terhampar dihadapannya. Cahaya yang segar, bekejar-kejaran sambil berloncatan dengan riangnya.

 

Temunggul menarik nafas. Serasa segarnya udara pagi akan dihirupnya sepuas-puasnya.

 

Temunggul terkejut ketika ia mendengar sapa seorang gadis. Ketika ia berpaling, dilihatnya gadis yang menyapanya itu menjinjing sebuah bakul penuh dengan cucian yang akan dibawanya ke bendungan.

 

“Sepagi ini kau sudah berada disini Temunggul?”

 

“Ya, ya,” Temunggul tergagap.

 

“Apakah kau akan pergi ke bendungan?”

 

Temunggul ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Aku tidak bermaksud ke bendungan.”

 

“Kenapa?”

 

Pertanyaan itu telah membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab, “Aku baru saja pulang dari Kademangan. Semalam aku berada disana. Aku ingin pulang dan beristirahat.”

 

Gadis itu mengerutkan keningnya. “Dimana rumahmu sekarang?”

 

Temunggul menjadi semakin bingung. Ia tahu gadis itu telah menyindirnya, karena jalan simpang yang menuju ke rumahnya telah lewat.

 

“Aku tahu,” sambung gadis itu. “Kau menunggu seseorang.”

 

Temunggul menggeleng, “Aku tidak menunggu siapapun.”

 

“Jalan ini adalah jalan ke rumahku. Di sebelah rumahku ada rumah yang paling kau kenal.”

“Ah,” segores sentuhan telah membekas dihatinya. Ia tahu bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ratri. Gadis ini adalah gadis yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Ratri. Gadis yang pernah di antarnya bersama Ratri dimalam hari, setelah pertunjukan di Kademangan selesai. Ketika kedua gadis ini bersama Ratri, hampir saja diterkam oleh kebuasan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

“Bukan begitu?” bertanya gadis itu sambil tersenyum.

 

“Tidak. Aku tidak menunggunya.”

 

Gadis itu tertawa. Dan dengan manjanya ia berkata. “Tetapi tanpa Ratri kau pasti akan mau mengantarkan aku.”

 

“Ah.”

 

“Aku berani bertaruh hitam kukuku.” “Jangan mengganggu. Kalau kau memerlukan kawan, marilah aku kawani kau ke bendungan.”

 

“Tidak mau. Kecuali bersama Ratri.”

 

“Tidak ada bedanya bagiku, siapapun orang itu. Ratri, atau Sumi, atau Sari atau kau.”

 

Gadis itu memandang Temunggul dengan sorot matanya yang cerah. Namun ketika tatapan mata mereka bertemu, gadis itu memalingkan wajahnya.

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa tertarik oleh seorang gadis selain Ratri. Gadis ini pun tidak, meskipun ia telah lama mengenalnya, sepanjang perkenalannya dengan Ratri. Bahkan sejak mereka masih berlari-larian dengan telanjang di pematang sawah.

Tetapi tiba-tiba Temunggul menangkap sorot mata yang cerah itu dengan hati yang berdebar-debar.

 

Temunggul berpaling ketika ia mendengar gadis itu berkata, “Jalan inilah yang akan dilewatinya. Tunggulah disini.”

 

“Ah,” sekali lagi berdesah. “Aku tidak menunggunya.”

 

Gadis itu mencibirkan bibirnya sambil mengerling. Tiba-tiba ia melangkah sambil berkata, “Selamat pagi Temunggul.”

 

Temunggul memandangnya dengan tajam. Namun kemudian ia pun tersenyum. “Marilah, aku bawakan bakulmu.”

 

“Jangan.”

 

Tetapi gadis itu tidak mempertahankannya ketika Temunggul meraih bakul cuciannya. Keduanya kemudian berjalan di sepanjang pematang menuju ke bendungan.

Hari pun ternyata memang masih terlampau pagi, sehingga belum ada seorang pun yang mendahului keduanya. Meskipun demikian keduanya hampir tidak berbicara apapun. Gadis itu langsung mencelupkan pakaian-pakaian kotor yang dibawanya ke dalam air. Terasa tubuhnya menggeramang karena air yang masih terlampau dingin.

“Kau tidak mandi?” bertanya gadis itu.

 

Temunggul menggeleng, “Tidak. Aku tidak membawa ganti pakaian.”

 

Gadis itu tersenyum. Wajahnya menjadi semburat merah.

 

“Aku akan menunggu Bramanti di sini,” tiba-tiba Temunggul berkata.

 

“He? Kenapa?” tiba-tiba gadis itu menjadi cemas. Ia pernah mendengar kabar bahwa keduanya pernah bertengkar, meskipun akhirnya mereka menjadi baik kembali.

“Tidak apa-apa. Aku mengharap ia tidak terlampau cepat datang, sebelum kau habis mandi.” Sekali lagi wajah gadis itu menjadi semburat merah dan tertunduk dalam-dalam. Meskipun demikia ia masih sempat menyahut, “Temunggul. Ratri juga akan mandi nanti.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi ia melangkah ke atas pasir tepian menjauh. Sekilas terngiang katakata Ki Demang kepadanya. Tentang Bramanti, Panembahan Sekar Jagat dan tentang Ratri.

 

“Ratri berhak menentukan sikapnya,” katanya, “Agaknya ia tidak menanggapi perasaanku. Buat apa aku menjadi gila karenanya.”

Tetapi tiba-tiba teringat otaknya, bahaya yang mengancam Kademangannya seperti yang dikatakan oleh Ki Demang. Sehingga ia berdesis di dalam hatinya, “Aku harus segera bertemu dengan Bramanti.” Tetapi ketika terpandang olehnya gadis yang sedang mencuci sambil membenamkan dirinya di dalam air yang jernih itu, ia mengurungkan niatnya, “Biarlah aku menunggu Bramanti di sini. Hari masih cukup panjang.”

Dan Temunggul itu pun kemudian duduk berjuntai di atas sebuah batu sebesar kerbau.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan kawan-kawan gadis yang sedang mencuci itu berdatangan, Temunggul memutar dirinya, membelakangi bendungan. Dan bendungan itu kemudian sama sekali sudah tidak menarik lagi baginya.

Karena itu, tanpa memberitahukan kepada siapapun juga, Temunggul melangkah naik ke atas tebing yang landai, kemudian berjalan menyusur tanggul. Kepalanya sekali-kali tertunduk dan sekali-kali menengadah, oleh kepepatan isi dadanya.

Temunggul tertegun ketika ia melihat Suwela sedang sibuk memperbaiki pematang sawahnya. Perlahanlahan ia mendekatinya sambil berkata, “Kenapa pematangmu?”

 

“Anak-anak nakal,” jawabnya, “Mereka mencuri belut disini, sehingga pematangku hampir putus.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Suwela adalah orang yang pertama-tama ditemuinya, kecuali gadis-gadis dan orang-orang yang tidak begitu dekat. Sedang Suwela adalah salah seorang dari para pengawal yang dipimpinnya.

Tiba-tiba saja Temunggul yang merasa dadanya terlampau pepat itu pun ingin mengurangi beban yang serasa memberatinya. Maka katanya berbisik, “He, aku mendengar sebuah berita yang menarik. Apakah kau mau mendengar?”

Suwela meletakkan cangkulnya. “Tentang?”

Temunggul menjadi agak bingung. Yang manakah yang akan dikatakan kepada Suwela untuk mengurangi beban perasaannya. Tentang hubungan Ki Demang dengan Panembahan Sekar Jagat? Tentang Bramanti dan Panggiring atau tentang gadis yang sudah lama dikenalnya, tetapi baru pagi ini ia melihat matanya yang lincah dan cerah.

“Tentang apa?”

 

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyimpan semuanya di dalam hati tanpa menumpahkannya kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada siapapun.” Suwela berpikir sejenak, kemudian, “Baiklah, aku berjanji.” “Panggiring ada disini sekarang.”

 

“He? Panggiring kakak seibu Bramanti?”

 

“Ya. Dan Bramanti menjadi gelisah. Ia berusaha menolak kedatangan perampok yang ganas itu.”

 

“Tentu. Tentu Bramanti menolaknya.”

 

Sejenak mereka masih berbicara. Kening mereka berkerut merut. Dan pembicaraan mereka tampaknya menjadi bersunguh-sungguh.

 

“Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

 

Suwela menganggukkan kepalanya, “Tentu. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan Suwela yang melanjutkan kerjanya, memperbaiki pematang sawahnya. Namun Suwela itu pun terhenti pula ketika ia melihat kawannya, seorang pengawal yang lain lewat di atas pematang yang sedang diperbaiki.

“Hus, seharusnya kau mencari jalan lain.”

 

“Kenapa?”

 

“Bukankah kau lihat bahwa pematangku sedang aku perbaiki? Kalau kau injak juga, maka bagian yang baru saja aku tambal itu akan longsor.”

 

“Dukung aku, supaya pematangmu tidak rusak.”

 

“Aku memang ingin melemparkan kau ke dalam parit itu.”

Kawan Suwela itu tersenyum. Tetapi ia berjalan turun. Ketika ia sampai ke bagian yang baru diperbaiki, ia pun turun ke dalam parit sambil bergumam, “Aku masih menaruh belas kasihan kepadamu. Biarlah kakiku menjadi agak kotor dan dingin.”

“Kalau kau tidak mau turun, aku seret kau.”

 

Kawannya tertawa. Tetapi tiba-tiba Suwela berbisik, “He berhentilah sebentar.”

 

Kawannya mengerutkan keningnya. Dan Suwela mendekatinya, “Kau mau mendengar? Tetapi janji, bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

 

“Apa?”

 

“Bramanti telah siap melawan Panggiring.”

 

“He,” pengawal itu pun terkejut. “Ya. Mereka memang sudah saling mendendam. Dan agaknya mereka akan bertempur.”

 

“Darimana kau dengar?”

 

“Temunggul. Tetapi ingat jangan kau katakan kepada orang lain lagi. Nanti aku dicekiknya.”

 

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih bertanya beberapa hal. Dan Suwelapun telah mengarang sebuah ceritera yang paling menyeramkan tentang Panggiring dan Bramanti.

 

“Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Sepeninggalan kawannya, Suwela pun telah tenggelam lagi di dalam kerjanya. Namun sementara itu berita tentang Panggiring telah merambat ke setiap telinga. Setiap kata mereka berpesan, “Ingat, jangan kau katakan kepada orang lain,” Namun belum tengah hari hampir seisi Kademangan telah mendengar bahwa Panggiring telah berada di sekitar Kademangan itu.

Dalam pada itu Ki Tambi telah memerlukan datang ke rumah Nyai Pruwita untuk menyampaikan permintaan Panggiring yang terakhir. Bagaimanapun juga, ia masih ingin bertemu dengan ibu dan adiknya. Sebentar saja, untuk melepaskan kerinduan dari anak yang selama ini terasing untuk menyampaikan bakti dan salam kepada keluarganya yang lebih dari dua orang itu saja.

Tetapi sekali lagi Ki Tambi menjadi kecewa. Sekali lagi Nyai Pruwita harus menitikkan air mata.

Dengan bersungguh-sungguh Bramanti berkata, “Aku tidak cepat mempercayainya paman,” Bahkan kemudian terngiang kembali ditelinganya kecurigaan Panjang. “Apakah tidak mungkin bahwa Panggiring itu juga menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” Dan kata-kata itupun diulangnya dihadapan Ki Tambi dan ibunya.

“Tidak. Tidak mungkin,” bantah Ki Tambi dengan serta merta, “Aku bertemu dengan Panggiring di pesisir Utara, sedang Panembahan Sekar Jagat berada di daerah ini. “Panggiring bukan seorang anak yang dungu paman. Ia dapat berbuat lebih daripada itu. Ia dapat berada disepuluh tempat sekaligus meskipun hanya nama-namanya yang mungkin berbeda-beda.”

“Tidak. Aku yakin tidak. Ia tidak selicik itu. Meskipun ia seorang penjahat, tetapi ia adalah seorang lelaki jantan. Ia jantan sebagai seorang penjahat yang besar.”

 

Bramanti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada seorang penjahat yang dapat berlaku jujur. Ia mesti seorang yang tidak lagi dibatasi oleh adab yang manapun juga.”

“Sudahlah,” potong Nyai Pruwita di sela-sela tangisnya, “Jangan saling memaki. Biarlah anak-anakku masing-masing berada ditempatnya,” suara perempuan itu tenggelam di dalam isaknya yang mengeras, namun kemudian, “Ki Tambi sampaikan kepada Panggiring, bahwa kali ini aku jugalah yang menolak kehadirannya. Aku tidak dapat menerimanya.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Tangis perempuan itu semakin mengeras, sehingga amben tempat duduknya itu pun terguncang-guncang. Sebelah tangannya memegangi dadanya, dan sebelah tangannya yang lain berpegangan pada bingkai amben bambunya, seakan-akan ia sedang mencari kekuatan untuk menahan kepahitan perasaannya.

Ki Tambi menarik nafas melihat perempuan itu menangis sampai terbungkuk-bungkuk ditempat duduknya.

 

Bramanti pun menjadi iba melihat ibunya menangis. Bahkan matanya pun menjadi basah, dan tenggorokannya serasa tersumbat.

Namun ia tidak dapat membiarkan Panggiring memasuki halaman rumahnya, bahkan memasuki Kademangan ini. Penjahat yang mengerikan itu dapat berbuat apa saja tanpa diduga-duga. Apabila tibatiba saja Ratri mengetahui kedatangannya dan menyongsongnya dalam kerinduan.

“Gila,” tiba-tiba Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Ia harus segera pergi. Kalau perlu dengan kekerasan. Ia telah meninggalkan ibu dan ayah ada waktu itu. Bramanti mengerutkan keningnya, “Selama ini, selama ibu dalam kesulitan, ia tidak pernah memperhatikannya. Kini setelah semuanya menjadi baik, tiba-tiba saja ia datang dengan tuntutan-tuntutannya yang gila itu.”

“Aku tidak menyangka,” desis Ki Tambi perlahan hampir kepada dirinya sendiri.

Bramanti berpaling. Dipandanginya wajah orang tua yang suram itu. Namun wajah itu tiba-tiba menjadi merah seakan-akan membara. Dengan nada yang berat Ki Tambi berkata, “Bramanti, sayang. Selama ini aku telah mengagumimu. Kau aku anggap sebagai manusia yang terbaik didunia. Karena telah berhasil melepaskan dendam atas kematian ayahmu. Tetapi ternyata semua itu berhasil kau lakukan atas dasar nalar. Tetapi tidak dasar perasaanmu yang paling halus. Ternyata kau juga seorang pendendam, justru terhadap saudaramu sendiri. Sampai permintaannya yang begitu lembut dari dasar hati manusianya, sebagai seorang anak yang merasa berdosa itu pun kau tolak. Aku kecewa Bramanti. Kecewa sekali. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kau berhati batu.”

Dada Bramanti berdesir mendengar tuduhan itu. Secercah warna merahpun membayang pulang di wajahnya. Bagaimana pun juga terasa kata-kata Ki Tambi itu menyengat telinganya, dan membekas dijantungnya.

Meskipun ia masih berusaha menahan hati, namun terloncat pula jawabannya, “Paman tergesa-gesa melontarkan kata-kata itu. Apakah paman yakin bahwa kakang Panggiring berkata sebenarnya? Apakah paman percaya sepenuhnya bahwa kakang Panggiring mengatakan penyesalannya itu dari lubuk hatinya, dari dasar hati manusianya? Bagaimanakah jadinya apabila pada suatu ketika kakang Panggiring itu sendiri telah menelan paman dan seluruh Kademangan ini? Aku tidak percaya. Kalau dengan demikian paman menuduh aku tidak berperikemanusiaan, terserahlah. Tetapi aku ingin berhati-hati.”

Ki Tambi mengatubkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia pun segan bertengkar dengan Bramanti yang selama ini dikaguminya.

“Tidak ada gunanya kalian berbantah,” terdengar suara Nyai Pruwita yang tersendat-sendat. “Aku memang sudah mengambil keputusan, bahwa seandainya Panggiring meninggalkan Kademangan ini. Seandainya ia memaksa dan berkeras hati, akibatnya sama sekali tidak akan aku inginkan.”

Ki Tambi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik Nyai. Aku akan mengatakannya. Aku bukan sanak dan bukan kadangnya. Apapun yang akan terjadi atas anak itu sama sekali bukan tanggung jawabku. Aku sudah menyampaikan pesan yang seharusnya aku sampaikan, dan aku sudah mendengar jawabannya.”

“Ki Tambi,” potong perempuan tua itu. Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia berdiri dan berkata hambar, “Aku minta diri. Nanti malam aku akan menyampaikan jawaban ini kepadanya.”

Ki Tambi tidak menunggu jawaban siapapun. Segera ia melangkah meninggalkan ruangan itu.

 

Sejenak ruangan yang ditinggalkan oleh Ki Tambi itu serasa membeku. Nyai Pruwita masih tetap ditempatnya dan Bramanti pun belum beranjak pula.

 

Dan tiba-tiba saja kebekuan itu telah dipecahkan oleh tangis Nyai Pruwita yang tidak dapat ditahankannya pula. Sekali lagi ia menangis sejadi-jadinya, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati ibunya dan kemudian berjongkok di hadapannya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ibu, aku telah menyakiti hati ibu.”

Nyai Pruwita mengangkat wajahnya, tetapi air matanya masih tetap mengalir tanpa tertahankan lagi.

 

Tiba-tiba diraihnya kepala anaknya sambil berdesis, “Kau tidak bersalah Bramanti. Kau tidak bersalah.”

 

Bramanti tidak menjawab. Dibiarkannya ibunya memeluk kepalanya dan dibiarkannya rambutnya dibasahi dengan air mata.

Meskipun tidak terucapkan namun perempuan tua itu melanjutkannya di dalam hati. “Akulah yang bersalah di masa muda itu. Akulah yang bersalah, sehingga terentang jurang yang dalam di antara kedua anak-anakku.”

Dan kata-kata itu selalu diulang-ulang. Selalu terucapkan didalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka hati itupun terasa menjadi semakin pedih.

 

Ketika kemudian tangis perempuan itu mereda, dilepaskannya kepala anaknya. Perlahan-lahan perempuan itu berdiri. Alangkah hausnya. Serasa sudah berhari-hari ia tidak menenguk air.

 

Setelah menengguk air dari dalam kendi yang terletak digeledek kayu, maka perempuan itu pun berkata, “Aku akan menanak nasi, Bramanti.”

 

Bramanti mengangguk kaku. Jawabnya, “Sebaiknya ibu beristirahat meskipun hanya sejenak, untuk menentramkan perasaan ibu.”

 

“Aku tidak apa-apa.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia menyeret kakinya keluar dari rumahnya, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Dipandanginya kehijauan dedaunan yang selama ini dipeliharanya baik-baik. Pohon sawo yang sedang berbuah. Beberapa potong bambu anyaman dibawah pohon sawo itu. Kandang yang telah diberinya berdinding. Pagar batu, regol yang telah rapat dan atap rumahnya yang tidak berbahaya lagi. Keseluruhan rumahnya telah menjadi utuh lagi, meskipun belum berisi seperti masa hidup ayahnya.

Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya. Terbayang dikepalanya tangan-tangan yang halus sedang membersihkan regol rumahnya. Tangan Ratri. Tetapi apakah Ratri telah melakukan untuknya? Tidak untuk Panggiring.
Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Tidak. Panggiring tidak akan pernah menyentuh halaman, regol dan apalagi rumah ini. Aku tidak akan memberikannya walaupun secuil tanah disudut yang paling jauh.”

Bramanti terperanjat ketika ia mendengar pintu regol itu bergerit. Ketika ia berpaling, dilihatnya sesosok tubuh menyelinap masuk. Temunggul.

 

“O, kau,” sapa Bramanti.

 

Temunggul menganggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia melangkah masuk, “Tidak ada seorang pun yang datang kemari?” bertanya Temunggul.

 

“Baru saja paman Tambi datang kemari.”

 

“O,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah ada sesuatu yang penting?”

 

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada sesuatu apapun. Paman Tambi hanya singgah sebentar.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas terngiang pesan Ki Demang untuk membunuh anak muda itu. Dimana saja ada kesempatan. Di rumah, di sawah atau di manapun. Dengan demikian ia akan memiliki Ratri dan kesempatan yang baik.

“Tetapi Ratri acuh tak acuh kepadaku. Buat apa aku melakukan kegilaan itu apabila kelak justru Ratri akan mengutukku?”

 

“Marilah,” ajak Bramanti. Dan Temunggul yang bimbang itu tergagap.

 

Bramanti kemudian mengajak Temunggul duduk di bawah pohon sawo yang sedang berbuah, seperti kebiasaan mereka, apabila mereka tidak duduk di dalam kandang.

 

“Darimana kau Temunggul?” bertanya Bramanti.

 

Temunggul mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Itu tidak penting, Bramanti.”

 

“Apakah kau membawa berita atau pesan atau ada yang lebih penting?”

 

Temunggul masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Apakah bijaksana untuk mengatakan keseluruhannya dibumbui oleh prasangka yang belum dapat dibuktikannya atas Ki Demang.

 

“Kau tampak ragu-ragu,” tebak Bramanti.

“Ya, aku ragu-ragu,” jawab Temunggul. Namun kemudian ia mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari apa yang menggelepar di dalam dadanya. Kalau ia mengatakan seluruhnya tentang Ki Demang ia khawatir apabila Bramanti segera bertindak. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat melihat peran apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Demang.

Karena itu, maka Temunggul pun kemudian berkata, “Bramanti, aku mendengar keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat sudah merasa perlu untuk bertindak.”

 

Bramanti mengerutkan keningnya. Dengan bersungguh-sungguh ia bertanya, “Dari siapa kau tahu?”

“Seseorang telah mengatakan kepadaku bahwa sehari dua hari ini, mereka akan datang. Terutama mereka ingin melepaskan sakit hati atas kekalahan Sapu Angin dan bahkan orang itu telah terbunuh pula.”

“Apakah kabar itu dapat dipercaya?”
“Aku menganggap bahwa kita harus meningkatkan kewaspadaan.” “Ya, tetapi dari siapa kau mendengar?”
“Dari Ki Demang?.”
“Darimana ia tahu.”

Itulah yang ingin aku ketahui. Tetapi biarlah kita tidak menghiraukannya. Mungkin yang dikatakan itu mengandung kebenaran, meskipun maksudnya bukan suatu pemberitahuan untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.”

Bramanti semakin tidak mengerti. Karena itu ia bertanya pula, “Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh Ki Demang?”

“Aku memang sedang mencari. Tetapi tentang Panembahan Sekar Jagat itu agaknya dapat kita percaya. Selebihnya aku belum dapat mengatakan sekarang. Meskipun aku sedang menduga bahwa perbuatan Ki Deman

You may also like...

  • Los Reyes del Cypher
    Los Reyes del Cypher International by Andy Torres
    Los Reyes del Cypher
    Los Reyes del Cypher

    Reads:
    5

    Pages:
    76

    Published:
    Nov 2024

    Un grupo de estudiantes de diferentes nacionalidades y orígenes se encuentran en un viaje inesperado hacia la amistad, el autodescubrimiento y el poder transf...

    Formats: PDF, Epub, Kindle, TXT

  • Chronologie der Neuen Weltordnung
    Chronologie der Neuen Weltordnung International by ELI YAH
    Chronologie der Neuen Weltordnung
    Chronologie der Neuen Weltordnung

    Reads:
    0

    Pages:
    136

    Published:
    Nov 2024

    Seit Anbeginn der Zeit ist GOTT (YHVH) ) dabei, für SICH ein eigenes Volk zu schaffen, eine heilige Nation, die von oben geboren wurde (Offb 1,6; 1Petr 2,9-10...

    Formats: PDF, Epub, Kindle, TXT

  • Das Mamilch-Mysterium: Himmel- und Höllenfahrt in der Schweiz?
    Das Mamilch-Mysterium: Himmel- und Höllenfahrt in der Schweiz? International by Michael Gauger
    Das Mamilch-Mysterium: Himmel- und Höllenfahrt in der Schweiz?
    Das Mamilch-Mysterium: Himmel- und Höllenfahrt in der Schweiz?

    Reads:
    0

    Pages:
    21

    Published:
    Nov 2024

    Gemäss dem apokryphen Nicodemus-Evangelium (alias "Pilatus-Akten") soll die Himmelfahrt Jesu Christi sich am "Berg Mamilch" ereignet haben. Dieser wird allerd...

    Formats: PDF, Epub, Kindle, TXT

  • Я больше не одинока
    Я больше не одинока International by Майана Оуэнн
    Я больше не одинока
    Я больше не одинока

    Reads:
    2

    Pages:
    45

    Published:
    Oct 2024

    У маленькой Тори уже в пять лет началась череда бед. Эти несчастья, шедшие одни за другими, преследовали и семью девочки ещё до её рождения. Кажется, что будт...

    Formats: PDF, Epub, Kindle, TXT