Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia by Muhri - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

BAB V

KESUSASTRAAN ZAMAN BALAI PUSTAKA1

A. LATAR BELAKANG

Latar belakang berdirinya Balai Pustaka di Indonesia erat hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda jauh sebelumnya. Kaum Liberal yang berkuasa di Negeri Belanda memandang perlu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat bumiputera (rakyat Indonesia dahulu). Lahirlah politik Etis (yang bertalian dengan moral) pada tahun 1870. Politik Etis ini meliputi edukasi (pendidikan), transmigrasi, dan irigasi (pengairan).

Di bidang pendidikan, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah seperlunya, terutama di pulau Jawa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf berpikir segelintir rakyat Indonesia, di samping untuk menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda yang dapat digaji lebih murah daripada mengangkat pegawai dari negeri Belanda atau Eropa lainnya.

Karena pendidikan ini, sebagian kecil rakyat bisa baca-tulis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda kalau-kalau kepandaian rakyat ini melunturkan kepercayaan dan kesetiaan kepada pemerintah. Lebih-lebih bila mereka ini mendapatkan bacaan dari luar yang isinya menghasut. Untuk itu perlu diatasi dengan mengadakan buku bacaan yang digemari rakyat, setelah disensor terlebih dahulu.

Pada tanggal 14 September 1908 dengan surat keputusan pemerintah no. 12 berdirilah sebuah komisi yang bernama Commissie voor de Inlandsche School (Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat). Komisi ini beranggotakan 6 orang yang dikepalai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Komisi ini berkewajiban pula member pertimbangan kepada Directuuur Onderwijs (Bagian Pengajaran) untuk memilih buku-buku yang baik bagi murid-murid di sekolah.

1 Sebagian besar pemerian karakteristik sastra dalam buku ini dikutip dari buku Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya dengan penyesuaian-penyesuaian.

B. BERDIRINYA BALAI PUSTAKA

Makin banyak rakyat ingin membaca, makin banyak buku yang dibutuhkan. Tugas komisi makin banyak dan makin sibuk. Maka pada tanggal 22 September 1917 komisi tersebut menjadi Kantoor voor de Volkslectuur(Kantor Bacaan Rakyat) yang kemudian lebih dikenal dengan Balai Pustaka. Balai artinya bangunan atau tempat yang luas untuk melakukan kegiatan dan Pustaka artinya buku-buku. Balai Pustaka ini beralamat di jalan Dr. Wahidin, Jakarta Pusat. Tugas Balai Pustaka berkenaan dengan karang- mengarang dan pencetakan buku bacaan dan buku-buku lain. Usaha Balai Pustaka dalam memajukan kesusastraan antara lain:

1. Mengumpulkan atau menghimpun cerita-cerita (dongeng) daerah dan mengalihkannya ke dalam bahasa Melayu.

2. Menerjemahkan cerita-cerita Eropa atau cerita asing lainnya ke dalam bahasa Melayu.

3. Menerbitkan majalah dalam bahasa daerah yaitu: Panji Pustaka (Melayu), Parahiayangan (Sunda), dan Kejawen (Jawa).

4. Menerbitkan buku Almanak Rakyat yang berisi ilmu pengetahuan praktis untuk kehidupan rakyat sehari-hari dengan harga murah.

5. Membuka perpustakaan rakyat melalui sekolah-sekolah di pelosok tanah air.

C. DAMPAK BERDIRINYA BALAI PUSTAKA

Pada waktu itu, bahasa yang dipakai sebagai bahasa karangan di Balai Pustaka adalah bahasa Melayu. Karena itu pengarang-pengarang Balai Pustaka kebanyakan orang Melayu. Hanya beberapa pengarang yang bukan dari Melayu yang menjadi penulis dalam Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka merupakan lembaga yang mendukung pendidikan, Balai Pustaka sangat berperan dalam perkembangan sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Jasa-jasa Balai Pustaka antara lain:

1. Mempercepat pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Indonesia.

2. Perkembangan dan kemajuan sastra menjadi pesat karena naskah karangan yang disusun pengarang dapat terbit dengan biaya Balai Pustaka.

3. Pertumbuhan dan perkembangan bahasa lebih terpelihara karena hanya naskah cerita yang bahasanya baik yang dapat diterbitkan.

4. Membangkitkan semangat pengarang-pengarang muda dan mengembangkan bakat mereka.

5. Sampai sekarang merupakan gelanggang karang- mengarang dan cetak mencetak buku.

Karena berdiri dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, ada dampak-dampak yang merugikan bagi karangan yang akan diterbitkan. Hal ini terjadi karena naskah-naskah yang masuk bisa dicetak hanya jika memenuhi kriteria tulisan yang diperkenankan pemerintah Hindia Belanda. Hal-hal yang berdampak buruk tersebut antara lain:

1. Pengarang tidak bebas mengemukakan pikiran dan perasaan karena harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan pemerintah Hindia Belanda, misalnya naskah tidak boleh berbau politik, harus netral dan tidak boleh menyinggung suatu golongan.

2. Staf redaksi sebagai pengemban kemauan pemerinth Hindia Belanda sangat menentukan nasib sebuah naskah. Tidak jarang naskah yang terbit itu sudah berbeda jauh dari aslinya karena disesuaikan dengan selera staf redaksi.

D. BALAI PUSTAKA SEBAGAI NAMA ANGKATAN

Angkatan Balai Pustaka diambil dari nama penerbit ini karena sebagian besar pengarang pada periode ini berkumpul pada lembaga penerbitan ini. Sebelum dicetak Balai Pustaka berhak memperbaiki baik isi maupun bahasanya. Karena perana Balai Pustaka terhadap karya periode ini, angkatan tersebut disebut Angkatan Balai Pustaka

Selain Balai Pustaka, nama lain yang digunakan untuk menyebut angkatan ini adalah Angkatan Dua Puluhan karena angkatan ini lahir pada rentang waktu tahun dua puluhan. Angkatan ini dimulai dari terbitnya buku Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang terbit tahun 1920 yang memiliki corak yang sama dengan karya-karya berikutnya. Kesamaan corak pada rentang waktu tersebut mendasari penamaan angkatan tersebut menjadi angkatan Dua Puluhan

Selain dua nama tersebut angkatan ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya. Penamaan ini diambil dari judul sebuah roman karangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya. Hal ini sebagai akibat dari kepopuleran tema roman tersebut pada waktu itu.

E. PEMBAHARUAN YANG DILAKUKAN OLEH BALAI PUSTAKA

Pada periode ini terjadi perkembangan sastra yang berbeda dari sastra sebelumnya, yaitu sastra Melayu lama. Perkembangan ini terjadi pada setiap genre sastra yang dikenal dalam sastra Melayu, yaitu prosa, puisi, dan drama.

Dalam prosa, angkatan Balai Pustaka telah bergerak jauh berbeda dari sastra Melayu lama. Dari segi isi, prosa periode ini mengambil bahan cerita dari Minangkabau. Hal ini berbeda dengan prosa lama yang kebanyakan mengambil setting istana dangan tempat negeri “antah berantah” yang tidak bisa ditelusuri tempat sebenarnya.

Kisah yang diceritakan dalam prosa-prosa Balai Pustaka mengangkat tema perjuangan kaum muda dalam menanggapi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam masyarakat. Kejanggalan-kejanggalan itu membentuk pertentangan-pertentangan antara kaum muda yang berpikiran maju dengan kaum tua yang berpikiran kolot. Secara lebih khusus tema-tema yang menjadi latar pertentangan antara kaum tua dan kaum muda mengenai adat, kawin paksa, kebangsawanan, poligami, gaya hidup barat dan sebagainya.

F. KARAKTERISTIK BALAI PUSTAKA

Dalam menunjukkan karakteristik periode angkatan Balai Pustaka Pradopo (2007: 23-4) membagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ciri-ciri struktur estetik dan ciri-ciri ekstra estetik. Struktur estetik lebihdekat dengan istilah unsur intrinsik dan ekstra estetik dengan unsur ekstrinsik

a. Ciri-ciri struktur estetik

1) Gaya bahasanya menggunakan perumpamaan klise (yang paling banyak dalam deskripsi fisik), pepatah- pepatah, dan peribahasa, namun menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama. Perumpamaan klise ditemukan pada kutipan roman Sitti Nurbaya berikut.

Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari. Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambah manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi lalat yang hitam. Pandang matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung... Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya ... (Sitti Nurbaya, hal.1-2)

Selain perumpamaan klise, dalam roman Balai Pustaka sering ditemukan kutipan-kutipan pepatah yang disampaikan secara eksplisit oleh pengarang.

“Tentu tak dapat,” jawab Samsu. “memang bagi seorang pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai bertemu buah si mala kamo. Dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?”

...

“... Bukankan sudah dikatakan dalam peribahasa: Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, tak berkeputusan.” (Sitti Nurbaya, 39– 40)

2) Alur roman sebagian besar alur lurus. Ada juga yang menggunakan alur sorot balik tapi sedikit, misalnya pada Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Kaabah.

3) Teknik penokohan dan perwatakannya banyak mempergunakan analisis langsung (direct author analysis).

4) Tokoh-tokohnya berwatak datar (flat character).

5) Setting berlatar kedaerahan. Selain itu setting yang digunakan adalah saat ini dan pada sebuah tempat tertentu di masa kini, bukan dahulu kala di negeri antah- berantah

6) Pusat pengisahan pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga atau diaan. Ada juga yang menggunakan orang pertama atau akuan misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Kaabah.

7) Banyak terdapat digresi, yaitu sisipan yang tidak secara langsung berkaitan dengan cerita, misalnya uraian adat, dongeng-dongeng, syair, pantun, dsb.Digresi tersebut terdapat, misalnya, dalam kutipan-kutipan berikut.

Pantun

Demikian sekalian perempuan itu tertawa– tertawa pula, sehingga malu Asri tadi itu terlipur sudah. Apabila karena Asnah pun ikut tertawa jua. Akan tetapi tertawanya itu sebagai bunyi pantun:

Maninjau berpadi masak,

batang kapas bertimbal jalan.

Hati risau dibawa gelak,

bak panas mengandung hujan. (Salah Pilih, 1990: 82-3)

Syair

Maka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang mencekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Bertambah-tambah besar hatinya menerima surat, karena telah dua Jumat ia tiada mendapat kabar dari Samsu. Segeralah ia masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar, dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya:

Awal bermula berjejak kalam,

Pukul sebelas suatu malam,

Bulan bercahaya mengedar alam,

Bintang bersinar laksana nilam.

Langit jernih cuaca terang,

Kota bersinar terang benderang,

Angin bertiup serang menyerang,

Ombak memecah di atas karang.

... (Sitti Nurbaya, 2008: 112)

Dongeng

“Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?” tanya Samsu.

“Sungguh belum, Sam,” sahut Nurbaya.

...

Cerita yang pertama demikian bunyinya: Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari, tatkala ia hendak pergi, ditinggalkanya anaknya di atas suatu tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia kembali ke rumahnya, dilihatnya kucing itu duduk di muka rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah.... (Sitti Nurbaya, hal. 52)

8) Bersifat didaktis. Ciri-ciri didaktis ini merupakan karakteristik utama angkatan Balai Pustaka. Pendapat ini diambil dengan menilik fungsi pendirian Balai Pustaka, latar belakang penulis-penulis balai pustaka yang sebagian besar adalah guru, digresi yang dipakai untuk melestarikan sastra tradisional seperti pantun, syair, pepatah, peribahasa, dsb. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa angkatan ini benar-benar menganut paham “seni bertendens.”

9) Bercorak romantis sentimental

b. Ciri-ciri ekstra estetik

1) Pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda soal adat lama dan kemodernan

2) Tidak mempermasalahkan nasionalisme dan rasa kebangsaan

G. PENGARANG-PENGARANG ANGKATAN BALAI PUSTAKA

Pengarang-pengarang Balai Pustaka seperti telah disebutkan di muka kebanyakan berasal dari Sumatera hanya sebagian kecil yang bukan berasal dari Sumatera. Dalam tulisan ini akan dibagi 2, yaitu pengarang yang berasal dari Sumatera dan bukan Sumatera.

a. Berasal dari Sumatera

1) Abdul Muis

2) Adinegoro (Djamaluddin)

3) Aman Datuk Madjoindo

4) Hamidah

5) Hamka

6) Marah Rusli

7) Merari Siregar

8) Moh. Yamin

9) Muhammad Kasim

10) Sa’adah Alim

11) Nurani

12) Nur Sutan Iskandar

13) Rustam Effendi

14) Selasih

15) Suman Hs.

16) Tulis Sutan Sati

b. Berasal dari daerah lain

17) H.S.D. Muntu (Sulawesi)

18) I Gusti Nyoman Panji Tisna (Bali)

19) Marius Ramis Dayoh (Sulawesi)

20) L. Wairata (Pulau Seram)

21) Paulus Supit (Sulawesi)

22) Sutomo Djauhar Arifin (Jawa)