BAB VIII PERIODE ANGKATAN 45
A. LATAR BELAKANG
Periode Angkatan 45 dimulai tahun 1942, tidak lama sesudah masuknya Jepang ke Indonesia. Periode ini merupakan pengalaman dan saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Pada masa ini, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan diganti dengan bahasa Melayu. Hal ini memberi dampak pada intesifikasi pada penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) dan, tentu saja, mengintensifkan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Secara politik, Jepang mengumpulkan para seniman di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho). Awalnya, banyak seniman yang dengan penuh semangat menerima panyatuan di bawah satu organisasi. Namun, bersama lalunya waktu, para seniman tersebut sadar bahwa mereka diperalat untuk kepantingan propaganda Jepang yang sedang berusaha menguasai seluruh Asia. Kesadaran tersebut muncul setelah mengetahui janji-janji kosong, kekejaman, dan penindasan yang dilakukan oleh Jepang.
Dalam bidang seni, kekecewaan itu merupakan dampak dari kebijakan Jepang yang membatasi kreativitas para seniman. Kebijakan tersebut antara lain sebagi berikut.
1. Segala macam surat kabar dan majalah dilarang terbit kecuali terbitan yang berada di bawah pengawasan Jawa Shimbun Kai.
2. Pendirian Kantor Pusat Kebudayaan yang pada dasarnya digunakan untuk menindas kebudayaan Indonesia dan sebagai alat propaganda Jepang.
B. 45 SEBAGAI NAMA ANGKATAN
Penamaan angkatan ini dengan nama Angkatan 45 didasarkan pada peristiwa politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Selain nama tersebut ada beberapa nama yang digunakan dengan maksud yang sama. Nama-nama tersebut antara lain Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Pembebasan, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Chairil Anwar, dan Anggkatan Gelanggang.
Sebagai sebuah angkatan, Angkatan 45 adalah sebuah rentang waktu dalam kesusastraan Indonesia. Rentang waktu angkatan ini adalah antara 1942-1953. Periode ini dibagi menjadi dua, yaitu masa penjajahan Jepang dan masa sesudah penjajahan Jepang. Masa penjajahan Jepang antara 1942-1945 dan masa sesudah penjajahan Jepang antaara 1945-1953.
C. KARAKTERISTIK ANGKATAN 45
Jika dibandingkan dengan Angkatan sebelumnya (Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru), Angkatan 45 memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk memperjelas karakteristik Angkatan 45, pembahasan dilakukan dengan menggunakan sudut-pandang tertentu.
1. Karakteristik Struktur
a. Puisi
1) Puisi bebas, tak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan.
2) Gayanya ekspresionisme.
3) Aliran dan gayanya realisme.
4) Diksi mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti mempergunakan kosa kata bahasa sehari-hari sesuai dengan aliran realisme.
5) Bahasa kiasan yang dominan metafora dan simbolik; kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
6) Gaya sajaknya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris dan kalimat- kalimatnya implisit.
7) Gaya pernyataan pikiran berkembang (nantinya gaya ini berkembang menjadi gaya sloganis).
8) Gaya ironi dan sinisme menonjol
b. Prosa
1) Alur sorot balik lebih banyak dari periode sebelumnya.
2) Alur padat dan digresi tidak digunakan lagi.
3) Dalam menggambarkan perwatakan/penokohan, analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung, melainkan dengan cara dramatik: dengan arus kesadaran dan cakapan antar tokoh.
4) Seperti juga dalam puisi, gaya ironi dan sinisme banyak digunakan.
5) Gaya realisme dan dan naturalisme: penggambaran kehidupan sewajarnya.
2. Karakteristik Pandangan Hidup
1) Pandangan hidup angkatan 45 adalah humanisme universal. Hal ini, secara implisit, ditunjukkan pada studi-studi mereka terhadap sastra dunia antara lain Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika. Secara eksplisit pandangan hidup ini diungkapkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesia-an kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata- ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu aseli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
2) Individualisme menonjol dalam genre puisi; kesadaran akan eksistensi diri terpancar kuat dalam sajak-sajak periode ini.
3) Dalam filsafat, periode ini banyak mengindikasikan adaya pengaruh eksistensialisme.
3. Tema
1) Dalam puisi, periode ini menghadirkan karya yang berbicara tentang kehidupan batin/jiwa manusia melalui peneropongan diri sendiri.
2) Menggambarkan masalah kemasyarakatan, di antaranya ketimpangan sosial dalam masyarakat, kemiskinan, dsb.
3) Pemecahan masalah dengan menyajikan pandangan hidup dan pemikiran pribadi.
4) Zaman peperangan merupakan tema utama dalam kebanyakan prosa terutama peranga kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang
D. SASTRAWAN-SASTRAWAN ANGKATAN 45
Sastrawan Angkatan 45, tidak seperti angkatan sebelumnya, telah berkembang jumlahnya. Dengan demikian, dalam tulisan ini disampaikan yang tercatat dalam beberapa referensi dan akan dikembangkan pada saat yang lain ketika ada referensi baru yang dapat dijangkau. Berikut sastrawan-sastrawan Angkatan 45 yang tersusun alfabetis.
1. A.S. Dharta
2. Abu Hanifah (El-Hakim)
3. Achdiat K. Miharja
4. Aoh Kartahadimaja
5. Amal Hamzah
6. Asrul Sani
7. Bachtiar Siagian
8. Bakri Siregar
9. Bandaharo Harahap
10. Buyung Saleh
11. Chairil Anwar
12. Dodong Jiwapraja
13. H.B. Jassin
14. Ida Nasution
15. Idrus
16. Kirjamulya
17. M.A. Juhana
18. Mahamanto
19. Maria Amin
20. Mochtar Lubis
21. N.H. Dini (Nurhayati Suhardini)
22. Nugroho
23. Nursyamsu
24. Pramudya Ananta Toer
25. Rivai Apin
26. Rukiah
27. Rustandi Kartakusuma
28. Sitor Situmorang
29. St. Nurani
30. Taslim Ali
31. Toto Sudarto Bachtiar
32. Usmar Ismail
33. Utuy Tatang Sontani
34. W.S. Rendra
35. Waluyati
36. Dsb.