Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia by Muhri - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

BAB IX PERIODE ANGKATAN 66

A. LATAR BELAKANG

Nama Angkatan 66 digunakan pertama kali oleh H.B. Jassin dalam Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Dalam buku ini pertama kali ia menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50 dengan mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1960. Jassin mengkritisi semua konsepsi-konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya Ajip Rosidi dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafian angkatan 50 dan Angkatan Terbaru adalah kedekatan masa dengan angkatan sebelumnya yaitu angkatan 45 sehingga tidak ada konsep yang esensial berlainan dengan angkatan sebelumnya tersebut (Jassin, 20133: 17-8).

Lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh perlawanan terhadap penyelewengan-penyelewengan pimpinan- pimpinan negara demi kepentingan pribadi dan golongan. Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar negara dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang, tentu saja, melanggar sila pertama,pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, penyampaian slogan-slogan tak berisi, dsb. Semua itu hanya membuat negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat menderita. Akhirnya, perlawanan dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terjadi dua kutub pemikirian politik yang tekumpul dalam dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penanda tangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat juga sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral.

Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI, menjadi agresif sebagai salah satu media dala metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka, yaitu karyanya Tenggelamnya Kapal van der Wick dituduh sebagai plagiat dari Majdulinkarya Luthfi al-Manfaluthi. Sutan Takdir Alisyahbana, Idrus, dan Balfas yang kebetulan berada di Malaysia dicap sebagai kontra revolusi karena pada waktu itu Indonesia sedang mengumumkan “konfrontasi” dengan Malaysia. (Rosidi, 1986: 63-5)

Puncaknya, dalam bidang seni, konfrontasi terjadi antara orang-orang Lekra dan para seniman yang menandatangani Manifes Kebudayaan. Manifes kebudayaan adalah manifes untuk mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Bunyi manifes tersebut sebagai berikut.

MANIFES KEBUDAYAAN

  • Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
  • Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
  • Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
  • PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.

Manifes tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang, antara lain H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, dan Soe Hok Djin. Pasca diumumkan, manifes tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh mereka mereka menyerang Manifes Kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya. Mereka menyingkat Manifes Kebudayaan menjadi Manikebu. Puncaknya, Soekarno menyatakan bahwa Manifes Kebudayaan dilarang. Penanda tangan manifes tersebu diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.

Terbitan yang menjadi tempat menulis penanda tangan Manifes Kebudayaan dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan H.B. Jassin. Meskipun, tidak ditutup media tersebut tutup dengan sendirinya karena tertekan.

B. 66 SEBAGAI NAMA ANGKATAN

Nama ini populer dengan buku kumpulan prosa dan puisi berjudul Angkatan 66: Prosa dan Puisidengan pernyataan tentang lahirnya sebuah angkatan oleh H.B. Jassin.Ia berpendapat bahwa angkatan 66 dimulai 1953. Gagasan ini berbeda dengan Ajip Rosidi yang membagi periode ini dalam dua bagian yaitu antara 1953 - 1961 dan 1961 – sampai sekarang. Yang pertama menunjukkan pengakuan Ajip Rosidi terhadap “Angkatan 50” dan kedua adalah “Angkatan 66”.

Cetusan akan lahirnya Angkatan 66 ini mendapat tanggapan dari beberapa sastrawan. Rachmat Djoko Pradopo menyatakan bahwa lahirnya angkatan ini baru sebagai sebuah kemungkinan. Di sisi lain, Arif Budiman dan Satyagraha Hoerip Soeprobo tidak menyetujui nama tersebut. Mereka lebih memilih nama Angkatan Manifes (Kebudayaan) (Rosidi, 1986: 74-5)

C. KARAKTERISTIK ANGKATAN 66

Karakteristik angkatan 66 meliputi karakteristik dalam isi, faham yang dianut, struktur estetika, dsb. Karakterisasi ini menggunakan istilah Pradopo yaitu struktur estetik dan ekstra estetik.

Puisi

1. Struktur Estetik

a. Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada

b. Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada

c. Gaya ulangan (paralelisme) mulai berkembang

d. Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45

e. Gaya slogan dan retorik makin berkembang (Pradopo, 2007: 30-1)

2. Struktur Ekstraestetik a. Tema

1) Sesuai dengan sejarah nasional, tema utama dalam Angkatan 66 adalah perlawanan terhadap tirani pemerintah orde lama, misalnya sajak-sajak demonstrasi dari Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dsb. Khusus Taufiq Ismail, sajak-sajak demonstrasi tersebut terkumpul dalan Tirani dan Benteng yang kemudian dikumpulkan menjadi Tirani dan Benteng (Rosidi, 1983: 168-9).

2) Tema kemuraman karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.

3) Sajak-sajak yang mengungkapkan masalah- masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan yang tinggi antara kaya dan miskin, dan kemakmuran yang tidak merata.

4) Cerita-cerita rakyat menjadi tema-tema balada.

Prosa

1. Struktur Estetik

a. Pada umumnya struktur estetik angkatan 66 masih melanjutkan angkatan 45

b. Cerita hanya murni bercerita, yaitu tidak menyisipkan komentar, pikiran-pikiran sendiri, atau pandangan- pandangan tertentu.

2. Struktur Ekstraestetik

a. Cerita perang sudah mulai berkurang

b. Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari

c. Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap, misalnya novel Pulang karya Toha Mochtar, Penakluk Ujung Dunia karya Bokor Hutasuhut, dsb.

d. Banyak menceritakan pertentangan-pertentangan politik

D. TOKOH-TOKOH ANGKATAN 66

Seperti dinyatakan di muka, untuk menghasilkan pembahasan yang seimbang, penyebutan tokoh sastrawan dibagi menjadi dua yaitu sastrawan Manifes Kebudayaan dan/atau Non-Lekra dan sastrawan lekra.

Sastrawan Manifes Kebudayaan dan/atau Non-Lekra

img11.png

img12.png

Sastrawan Lekra

img13.png