Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia by Muhri - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

BAB III

SASTRA INDONESIA KLASIK

A. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PERIODISASI SASTRA KLASIK

Dalam periodisasi sastra klasik, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Berikut akan disajikan beberapa pendapat penulis-penulis buku sejarah sastra.

img6.png

img7.png

Pembagian di atas menunjukkan perbedaan para ahli dalam menetapkan periode-periode dalam kesusastraan Indonesia klasik. Dalam buku ini pendapat yang digunakan adalah pendapat Liau Yock Fang. Pendapat ini lebih konkret menampilkan kesusastraan Indonesia klasik karena didasarkan pada bukti-bukti sejarah berupa naskah-naskah klasik yang masih bisa ditelusuri keberadaannya. Pembagian ini juga memisahkan kesusastraan masa peralihan dalam bab tersendiri.

B. KESUSASTRAAN RAKYAT

Sastra klasik periode pertama ini sering disebut kesusastraan zaman animisme-dinamisme. Penamaan ini didasarkan pada kepercayaan yang dianut masyarakat pada waktu itu. Mudah dipahami pula jika melihat zaman berikutnya, yaitu zaman Hindu dan Islam yang dinamakan berdasarkan kepercayaan yang dianut pada masa berikutnya.

Penamaan ini kurang tepat jika ditinjau dari isi kesusastraan pada zaman ini tidak semua mengandung nilai animisme-dinamisme. Hal ini berbeda dengan zaman sesudahnya yang mengandung nilai-nilai ajaran Hindu dan Islam. Dengan pertimbangan ini, kesusastraan zaman awal ini diberi nama kesusastraan rakyat.

Kesusastraan rakyat adalah kesusastraan yang berkembang di kalangan rakyat yang kebanyakan tidak bisa membaca. Kesusastraan rakyat, dengan demikian, diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, misalnya oleh ibu terhadap anaknya, tukang cerita kepada penduduk- penduduk kampung, dsb. Kesusastraan rakyat ini berbeda dengan kesusastraan istana. Jika kesusastraan rakyat diturunkan dengan media lisan, kesusastraan istana ditulis, disimpan, dan bisa diturunkan dengan membaca.

Kesusastraan rakyat ini termasuk dalam kajian yang lebih luas yang disebut folklor. Dalam folklor, ada tiga bagian besar yang menjadi kajiannya, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Yang termasuk dalam kajian ini hanya folklor lisan (Danandjaya, 1991). Dan dalam folklor lisan ini hanya sajak atau puisi rakyat dan prosa rakyat yang dimasukkan dalam kesusastraan lisan.

1. Sajak atau Puisi Rakyat

Sajak atau puisi rakyat biasanya berupa bentuk terikat. Bentuknya antara lain ungkapan tradisional (peribahasa), mantra, dan pantun. Ketiga bentuk puisi rakyat ini dibahas sebagai berikut.

a. Peribahasa

Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunanya, ringkas, padat dan biasanya mengiaskan maksud tertentu, misalnya nasihat, prinsip hidup, dsb. Dalam peribahasa terdapat bidal, pepatah, dan ungkapan.

b. Mantra

Mantra adalah sejenis puisi yang berkaitan dengan kepercayaan (Simanjuntak, 1955: 59). Mantra berfungsi sebagai salah saru ritual pada kepercayaan tersebut. Kebanyakan mantra berisi pemujaan, kutukan, dan larangan.

Dalam bentuknya, mantra tidak mewajibkan rima atau persajakan akhir. Kata-katanya terpilih. Sebagian disusun dengan kata-kata yang sama. Yang terpenting dari semuanya adalah susunan kata yang enak didengar.

Yang cape datang bertongkat,

Yang buta meraba-raba,

Yang tuli lekas bertanya,

Yang kecil terambil lintang,

Yang jarak tolak-tolakan,

Yang pendek bertinjau-tinjau,

Yang kura mengekur angin,

Yang pekak membakar meriam,

Yang buta mengembus lesung,

Yang lumpuh penghalau ayam,

Yang pekong penjemuran,

Yang kurap pemikul buluh. (Hikayat Raja Muda)

c. Pantun

Pantun adalah salah satu bentuk puisi terikat asli Indonesia. Seperti kebanyakan sastra lama, pantun juga merupakan seni kolektif masyarakat Indonesia. Hampir semua daerah di Indonesia mengenal pantun dengan sebutan yang berbeda-beda sesuai bahasa daerahnya. Di Madura, misalnya, pantun disebut sendèlan [səndεlan], di Jawa ada yang disebut pari’an, dsb.

Karena milik bersama, pantun dalam peredarannya bersifat anonim atau tidak diketahui pengarangnya. Akan tetapi, meskipun tidak diketahui pengarangnya, pantun tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada otoritas tertentu yang menguasai pembuatan dan memiliki posisi dalam adat.

Dalam kesusastraan Indonesia baru, pantun masih ditemukan dalam periode balai pustaka atau yang lebih terkenal dengan Angkatan Balai Pustaka. Pada periode ini pantun sering ditemukan pada karya berbentuk prosa, misalnya pada Sitti Nurbaya karya Marah Rusli yang cenderung dipaksakan. Dalam roman ini, pantun menjadi ucapan-ucapan mesra dalam dialog antara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri.

Seperti halnya sastra lama yang lain, pantun juga sudah mulai ditinggalkan. Perkembangan pantun mandeg karena sudah tidak diminati lagi. Bahasa pantun seolah-oleh menjadi bahasa-bahasa klise yang sudah tidak bernyawa lagi. Ironisnya, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi warisan kebudayaan ini. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang dengan tokoh Jarjit Singh dalam film kartun anak-anak Upin dan Ipin telah mengenalkan pantun pada usia dini. Bagaimana dengan Indonesia?

1) Definisi Pantun

Pantun berarti misal, umpama, ibarat, dan tamsil. Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia yang terdiri atas empat baris. Dua baris pertama adalah sampiran dan dua bait terakhir adalah isi. Keempat baris tersebut dihubungkan dengan persamaan bunyi suku kata terakhir yang disebut rima atau sajak.

2) Syarat-Syarat Pantun

Pantun dengan berbagai jenisnya harus memiliki syarat-syarat berikut.

  • Terdiri atas sejumlah baris yang jumlahnya genap, yaitu 2 (karmina), 4 (pantun), dan 6 atau lebih (talibun).
  • Dalam satu baris biasanya terdiri atas 4 sampai 6 kata atau 8 sampai 12 suku kata.
  • Separuh baris pertama disebut sampiran; separuh kedua disebut isi.
  • Tiap-tiap baris dihubungkan dengan persamaan bunyi suku terakhir dan kemiripan bunyi pada suku kedua sebelum akhir yang disebut rima atau sajak.

img8.png

Dalam hal sampiran dan isi, para ahli berbeda pendapat mengenai kaitan antara keduanya. William Marsden dan John Crawfurd berpendapat bahwa kaitan antara sampiran dan isi merupakan kaitan bunyi dan arti. Mereka berpendapat bahwa sampiran adalah kiasan dari isi.

Senada dengan keduanya adalah Ajip Rosidi yang menyatakan bahwa keadaan alam dalam sampiran merupakan gambaran dari isi dalam baris-baris berikutnya. Tokoh lain, seperti Abbe P. Favre dan Dr. Pynappel, A. Van Ophuysen, dan Van der Tuuk berpendapat bahwa kebanyakan dari sampiran memiliki hubungan dengan isi, bahkan sampiran sering merupakan peribahasa.

Sudah gaharu cendana pula

Sampiran tersebut sudah berdiri sendiri menjadi kias dari larik/baris berikutnya, yaitu “Sudah tahu bertanya pula”. Baris pertama tersebut merupakan peribahasa yang artinya adalah baris kedua.

Persajakan sebuah pantun, seperti persajakan sastra lama lainnya, terdiri atas sajak akhir (rima), sajak tengah, dan sajak depan. Di antara ketiganya, sajak akhir merupakan inti dari persajakan. Sajak tengah dan sajak depan merupakan penyempurna sajak akhir.

img9.png

2. Prosa Rakyat

Prosa-prosa Indonesia tidak hanya mengadopsi gaya prosa Barat. Sebelumnya telah ada prosa asli Indonesia sebelum ada pengaruh dari Eropa. Untuk mempermudah, prosa Indonesia, secara historis, dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu prosa Indonesia lama dan prosa Indonesia baru. Prosa barau akandijelaskan pada kesempatan lain. Rincian pembagian tersebut tersusun sebagai berikut.

1. Prosa Indonesia Lama

a. Prosa Asli

Dongeng

Epos

Parabel

Cerita lucu

Cerita didaktis

Pelipur lara

Cerita sejarah

Dsb.

b. Prosa Pengaruh Hindu

1. Prosa Pengaruh Islam

Danandjaya (1991) menggunakan pembagian yang berbeda dalam prosa lama Indonesia. Pembagian ini lebih mudah dimengerti dan terstruktur dengan baik berdasarkan kategori. Prosa lama Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng.

Mite adalah cerita rakyat yang dianggap pernah terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Mite Indonesia biasanya bercerita tentang terjadinya alam semesta (cosmogony), susunan atau dunia para dewa (pantheon), manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero), terjadinya makanan pokok untuk pertama kalinya, dan sebagainya.

Seperti halnya dengan mite, legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita. Perbedaan dengan mite adalah legenda bersifat sekuler (keduniawian) terjadi pada waktu yang tidak begitu lampau dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang.

Legenda, seperti juga mite, memiliki jenis yang beragam. Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991: 65) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok. Keempat kelompok itu adalah legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.

Legenda keagamaan adalah legenda yang bercerita tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama di luar kitab suci. Termasuk dalam legenda jenis ini adalah legenda orang(-orang) suci. Legenda jenis ini, misalnya, kisah Wali Sanga di Jawa. Selain tentang orang-orang suci, terdapat pula legenda-legenda tentang kemu’jizatan, kekeramatan, wahyu, permintaan melalui doa, ikrar yang terkabul dan sebagainya. Selain itu ada “kitab suci rakyat” yang termasuk dalam legenda keagamaan.

Legenda semacam ini biasanya berbentuk cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. C.W. von Sydow menamakan legenda ini memorat yang merupakan pengalaman pribadi seseorang. Legenda ini bercerita tentang makhluk halus, desa gaib, hantu, dsb.

Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi. Cerita Panji adalah salah satu jenis legenda ini yang berasal dari Jawa. Di Madura ada Bangsacara-Ragapadmi, Joko Tole, Ke‟ Lesap, dan sebagainya.

Legenda jenis ini memiliki cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, bentuk topografi, dan sebagainya. Legenda yang termasuk nama tempat, misalnya, nama kota Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari nama Arya Kemuning, yang lahir dari istri Sunan Gunung Jati yang dari Cina, legenda nama desa Trunyan, Bali, dan sebagainya. Legenda topografi terdapat pada legenda Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Batok, dan sebaginya.

Jika mite dan legenda merupakan cerita yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita, dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan. Namun, selain sebagai hiburan, banyak dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi pelajaran hidup, atau bahkan sindiran.

Anti Aarne dan Stith Thomson (1964: 19-20, dalam Danandjaya, 1991: 86) membagi dongeng dalam empat golongan besar, yaitu dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng berumus.

Dongeng binatang disebut juga fabel. Dongeng ini ditokohi oleh binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan, dan serangga. Binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Tokoh fabel terpenting di Indonesia adalah kancil dan kera. Kedua ini adalah hewan yang dianggap cerdik dan licik. Kedua hewan tersebut biasanya melawan hewan yang kuat tetapi bodoh. Di Indonesia hewan ini diwakili dengan sosok harimau dan buaya.

Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling populer bertipe Cinderella. Tipe ini bersifat universal dan tersebar di seluruh dunia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada Ande-Ande Lumut, di Jakarta ada Bawang Putih dan Bawang Merah, dan di Bali ada I Kesuna lan I Bawang.

Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati sehingga menyebabkan tawa baik bagi yang mendengar maupun bagi yang menceritakan. Perbedaan antara lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang atau beberapa orang tokoh, lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku, golongan, agama, dan ras. Anekdot dapat dianggap sebagai bagian dari “riwayat hidup” fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai “sifat” atau “tabiat” fiktif anggota suatu kolektif tertentu.

Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya mengalami pengulangan. Dongeng jenis ini dibagi menjadi tiga subtipe, yaitu dongeng kumulatif (cumulative tale), dongeng mempermainkan (catch tale), dan dongeng tanpa akhir (endless tale). Berikut adalah contoh contoh dongeng berumus.

Alkisah pada suatu hari di suatu lorong sepi terlihat seekor nyonya lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Si tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Si kucing lari terbirit-birit ketakutan karen diburu oleh seekor anjing. Si anjing lari terbirit-birit karena diburu seorang Batak. Si orang Batak lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang polisi. Dan si polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB (operasi tertib) [kumulative tales]

C. KESUSASTRAAN ZAMAN HINDU

Sastra tertulis mulai dikenal pada kira-kira tahun 500- an. Namun, tidak banyak masyarakat yang mengenal tulisan pada waktu itu. Hanya golongan tertentu yang mengenal tulisan, seperti raja-raja, pendeta, dan sejumlah kecil orang biasa (Wirjosoedarmo, 1990: 34).

Meskipun ada pengaruh Hindu dalam sastra Melayu lama tetapi sastra Hindu tersebut ditulis pada saat setelah agama Islam masuk ke Indonesia (1990: 35). Ini terbukti dalam sastra melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu atau jawi.

Karya-karya masa ini disajikan sebagai berikut.

1. Mahabarata

2. Ramayana

3. Pancatantra

D. KESUSASTRAAN ZAMAN ISLAM

Dalam penyebutan sering disebut sastra Islam. Sastra Islam sebagai istilah bermakna rancu sebab mungkin muncul pertanyaan adakah bagian sastra dalam Islam? Jawabannya tentu saja tidak. Wirjosoedarmo menamakan sastra masa Islam yaitu masa ketika Islam menjadi agama negara. Dengan sedikit berbeda, Liau Yock Fang (1991) menamakan kesusastraan zaman Islam. Dua nama ini bisa dianggap sama, yaitu sastra Indonesia (Melayu) yang dipengaruhi sastra yang dibawa oleh penyebar agama Islam. Namun, kembali pada hakikat sistemnya sastra masa ini bisa dikatakan sastra yang dipengaruhi sastra arab, misalnya syair melayu. Pengaruh Islam bisa ditemukan dalam isi yang diceritakan. Seperti juga sastra zaman hindu, hanya isinya yang dipengaruhi agama Hindu sedang bentuknya diadaptasi dari sastra India, misalnya gurindam. Berdasarkan isinya inilah sastra pada masa kerajaan Islam disebut kesusastraan zaman Islam.

1. Jenis-Jenis Kesusastraan Zaman Islam

Jenis-jenis sastra bisa ditinjau dari beberapa segi. Berdasarkan isi, Liau Yock Fang (1991) membagi kesusastraan zaman islam menjadi lima yaitu cerita al- Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi, cerita pahlawan Islam, dan sastra kitab. Wirjosoedarmo (1990: 60– 168) menyajikan pembagian yang berbeda. Berikut pembagiannya.

a. Buku-buku yang berhubungan erat dengan ajaran Islam.

1) Buku-buku yang berisi ajaran Islam: berhubungan dengan rukun Islam dan rukun iman

2) Buku yang berisi riwayat para nabi dan rasul: riwayat Nabi Adam,Nabi Idris, dsb.

3) Buku-buku yang berisi hikayat pahlawan-pahlawan Islam: Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, dsb.

4) Buku-buku yang berhubungan dengan ketatanegaraan: Tajussalatina "mahkota raja-raja‟, Bustanussalatina (taman raja-raja), dsb.

b. Buku-buku yang bercorak sejarah

c. Buku-buku yang bersifat pelipur lara

d. Buku-buku yang bersifat simbolis atau didaktis

2. Tokoh-Tokoh Kesusastraan Zaman Islam

Berikut tokoh-tokoh yang termasuk dalam kesusasraan zaman Islam.

  1. Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang
  2. Hamzah Fansuri
  3. Syamsuddin al-Sumatrani
  4. Nuruddin ar-Raniri
  5. Bukhari al Jauhari
  6. Raja Ali Haji
  7. Siti Saleha