Syalom! Pada kesempatan ini saya ingin membagikan sebuah cerita yang saya peroleh dari
salah seorang sahabat saya. Dia memperoleh cerita ini dari khotbah seorang pastor saat
perayaan Ekaristi hari Minggu di sebuah gereja Katolik di Brunei Darussalam ketika ia
ditugaskan untuk bekerja di sana.
Alkisah ada seseorang yang sudah masuk ke surga. Pada suatu akhir pekan, orang ini
bertanya kepada Santo Petrus, apakah boleh dia jalan-jalan ke neraka. Lalu Santo Petrus
pun mempersilakannya. Orang ini pun jalan-jalan ke neraka. Di sana ia disambut baik dan
dijamu dengan berbagai macam hidangan yang nikmat. Dia begitu senang dengan itu
semua. Akirnya ia kembali ke surga. Pada akhir pekan berikutnya, ia ingin kembali
berkunjung ke neraka. Sekali lagi ia meminta ijin kepada Santo Petrus dan Santo Petrus pun
mempersilakannya. Di neraka, ia kembali dijamu dan disambut dengan sangat baik. Ia
sangat senang. Setelah itu ia pun kembali ke surga. Pada akhir pekan berikutnya, sekali lagi
ia meminta ijin kepada Santo Petrus untuk berkunjung ke neraka. Santo Petrus pun
mempersilakannya lagi, tetapi kali ini sambil berpesan, “Hati-hati, ini ketiga kalinya kamu
pergi ke sana,” Orang ini pun nekad kembali berkunjung ke neraka. Anehnya, kali ini dia
tidak disambut dengan baik, ia tidak dijamu dengan hidangan-hidangan yang nikmat; ia
justru dicampakkan dan dibiarkan begitu saja! Orang ini menjadi sangat heran, lalu ia
bertanya kepada iblis, “Mengapa kalian tidak menyambutku lagi dengan baik seperti
kedatangan-kedatanganku sebelumnya?” Lalu iblis pun menjawab, “Itu karena
kedatanganmu sebelumnya adalah sebagai turis, tetapi sekarang kamu sudah jadi penghuni
neraka!”
Kisah ini singkat dan sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Saya pun bertanya kepada
teman saya itu, apa pesan dari kisah itu menurut pastor yang menceritakannya. Rupanya
pastor ini mengungkapkan tiga hal berkaitan dengan makna cerita tadi. Yang pertama,
segala sesuatu yang mudah itu berasal dari iblis. Seperti godaan iblis kepada Yesus di
padang gurun. Godaan pertama adalah iblis membujuk Yesus untuk mengubah batu
menjadi roti, karena Yesus telah berpuasa selama empat puluh hari. Ini adalah lambang dari
cara-cara instan atau jalan pintas untuk memperoleh sesuatu. Dalam kehidupan sehari-hari,
terkadang kita pun dihadapkan pada godaan untuk menggunakan ‘jalan pintas’ ini. Saat kita
masih duduk di bangku sekolah, godaan ini paling sering muncul ketika ujian. “Sudahlah,
nyontek saja, toh teman-temanmu juga banyak yang nyontek kok, nggak apa-apa!” Godaan
semacam itu mungkin sering datang dalam pikiran kita. Memang jika hanya menginginkan
nilai yang bagus dengan cara mudah, ada banyak caranya. Akan tetapi, kita perlu ingat
bahwa bukan hanya nilai berupa angka yang tertulis di atas kertas yang kita butuhkan. Lebih
dari itu, yang kita perlukan sesungguhnya adalah pelajaran yang kita peroleh di sekolah:
pengetahuan, ilmu-ilmu yang bisa menjadi dasar bagi pendidikan kita selanjutnya. Dengan
30 | P a g e
membiasakan diri untuk tidak menggunakan cara mudah dalam memperoleh sesuatu, kita
akan terbiasa berjuang, dan itu akan membuat kita jauh lebih kuat dan tahan dalam
menghadapi cobaan. Demikian pula dengan godaan untuk korupsi, yang mungkin sering
dihadapi para pekerja di perusahaan yang memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Posisi-
posisi tertentu yang sangat memungkinkan untuk melakukan tindak korupsi pasti sedikit
banyak bisa menggoda iman kita, apalagi jika korupsi sudah menjadi kebiasaan di
lingkungan kerja kita. Yang lebih parah, ada yang menganggap bahwa justru aneh kalau
tidak korupsi sementara teman-teman kerja kita yang lain semuanya korupsi. Korupsi, juga
adalah salah satu cara instan untuk memperoleh uang. Siapakah manusia yang tidak
membutuhkan uang? Mungkin para biarawan dan biarawati bisa berkata bahwa mereka
bisa hidup tanpa uang. Namun, untuk orang awam yang telah memiliki keluarga, memiliki
banyak kebutuhan untuk dipenuhi..uang menjadi sesuatu yang sangat penting. Tentu saja
ada saat dimana godaan untuk memperoleh uang dengan cara instan seperti korupsi atau
berjudi, bisa jadi datang dalam hidup kita. Akan tetapi, kita perlu ingat bahwa semua itu
pada akhirnya tidak akan membawa akibat yang baik dalam hidup kita. Begitu banyak
dampak negatif dari korupsi dan saya rasa semua orang sudah mengetahuinya. Namun
anehnya, sekalipun tahu akan akibatnya, masih banyak saja orang yang melakukan korupsi.
Point yang kedua, segala sesuatu yang tampaknya keren, spektakuler, itu dari iblis. Bukan
berarti ketika kita menyaksikan mujizat penyembuhan yang luar biasa lalu kita menghakimi
dan mengatakan “Semua yang keren dan spektakuler itu berasal dari iblis!” Hahaha... tentu
saja kita tidak melihat dari ‘objek’ nya, tetapi dari motivasi di balik perbuatan itu. Misalnya
saja ada seorang yang memperoleh karunia menyembuhkan dari Tuhan. Dengan karunia itu,
ia menyembuhkan banyak orang. Apakah hal ini buruk? Tentu saja tidak, bukankah
menyembuhkan orang adalah perbuatan yang baik? Namun, yang harus kita cermati adalah
motivasi di balik perbuatan baik itu. Saya sendiri pernah mendengar khotbah salah satu
pastor di Semarang, yang mengatakan, “Apa yang berasal dari Tuhan selalu memiliki awal,
tengah, dan akhir yang baik,” Nah, dalam kasus penyembuhan ini kita harus berhati-hati
terhadap motivasi berbuat baik itu. Tentu kita tidak tahu apa motivasi orang lain, dan kita
sebaiknya juga tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Lebih baik kita berefleksi sendiri,
apakah motivasi kita dalam melakukan perbuatan baik itu karena kita ikhlas, atau karena
kita ingin dilihat keren, dilihat baik, dilihat hebat oleh orang lain? Perbuatan baik itu tidak
salah, tetapi ketika kita melakukannya hanya untuk memperoleh penghormatan dari orang
lain, hal itu menunjukkan bahwa kita telah jatuh dalam godaan iblis. Lalu apa pengaruhnya
ketika kita jatuh dalam godaan ‘ingin tampak keren’ ini?
1 "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat
mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. 2 Jadi
apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang
dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji
orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 3 Tetapi
jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat
31 | P a g e
tangan kananmu. 4 Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka
Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Mat 6:1—4 )
Firman Yesus yang dikutip dari Injil Matius itu mengingatkan kita, bahwa ketika kita
melakukan sesuatu untuk dilihat orang, untuk mendapat penghargaan dari orang lain, maka
sesungguhnya kita telah mendapatkan ‘upah’ atas perbuatan kita itu, tetapi kita tidak akan
memperoleh ‘upah’ dari Tuhan. Jadi, jika Anda bertanya, “Apa yang akan terjadi pada saya
jika saya berbuat baik hanya karena saya ingin meninggikan diri saya?” Tentu saya tidak
akan mengatakan anda akan kena kutuk, atauu anda akan mendapat kesialan. Yang akan
terjadi adalah..Anda tidak akan mendapatkan apa-apa dari Tuhan! Itu saja.
Kemudian poin yang terakhir menyinggung motivasi kita untuk tetap hadir dan mengikuti
perayaan Ekaristi di gereja. Teman saya bercerita, pastor yang menceritakan kisah tadi
bertanya, “Mengapa Anda masih ke gereja? Bukankah gereja ini sama saja, hanya begini-
begini saja?” Jujur saja, pertanyaan itu juga pernah muncul dalam benak saya ketika saya
tengah mengalami kesepian dan kebingungan rohani..karena itulah teman saya
menceritakan kisah tadi kepada saya hahaha....
Ketika iblis menggoda Yesus untuk yang ketiga kalinya, iblis menyuruh Yesus untuk
menyembahnya, maka ia akan menyerahkan seluruh kerajaan di dunia kepadaNya. Godaan
ketiga ini melambangkan kekuasaan. Secara pribadi, saya memaknai bahwa seringkali kita
ingin berkuasa melebihi kuasa Tuhan. Kita ingin semuanya terjadi dan berjalan sesuai
keinginan kita, kita ingin memiliki kekuasaan untuk mengatur segalanya! Bukankah ini
berarti kita ingin menjadi ‘tuhan’? Tidak perlu mengambil contoh yang muluk-muluk
mengenai godaan kekuasaan. Tidak perlu melihat terlalu jauh kepada orang-orang yang
ingin menjadi penguasa hanya untuk memperoleh berbagai hak istimewa dan kekuasaan
untuk memerintah dan mengatur banyak hal sekehendaknya. Coba kita renungkan
beberapa peristiwa sederhana dalam hidup kita. Contohnya saja, ketika kita memiliki
rencana untuk berlibur bersama keluarga, ternyata tiba-tiba hujan turun dan menggagalkan
rencana kita. Kita pun mulai bersungut-sungut dan berkata, “Ah..seandainya saja tidak
hujan, pasti aku saat ini sedang bersenang-senang berlibur bersama keluargaku” Mungkin
kalimat tadi terdengar biasa saja, tetapi bisa jadi di balik itu, ada suatu ketidakpuasan dan
sebuah angan-angan, ‘seandainya saya bisa mengatur cuaca, pasti saya akan membuat hari
ini tidak hujan’. Nah, bukankah pikiran seperti ini menunjukkan bahwa kita ingin menyaingi
kekuasaan Tuhan? Hal kecil dan sederhana lainnya bisa jadi secara tidak sadar menggoda
kita untuk ingin memiliki kekuasaan seperti Tuhan. Ketika kita kecewa karena saat kita
sedang cuti, ternyata di kantor diadakan pesta, kita kecewa dan mengungkapkan
ketidakpuasan kita. Ketika kita menjadi pengunjung ke-99 sementara orang yang mengantri
di belakang kita menjadi pengunjung ke-100 di sebuah supermarket dan berhak
memperoleh banyak hadiah, kita pun kecewa dan berkata, “Ah! Seandainya aku tadi
mengantri lebih lama!” Segala ketidakpuasan itu wajar saja kita rasakan. Namun, kita harus
berhati-hati agar tidak terjebak dalam godaan iblis untuk membiarkan keinginan kita
32 | P a g e
menjadi ‘tuhan’ dalam hidup kita. Hanya Tuhan saja yang berhak berkuasa atas segala
sesuatu. Kita sebagai ciptaanNya seharusnya senantiasa percaya kepadaNya dan menaruh
hormat kepadaNya yang telah memberikan begitu banyak rahmat dalam hidup kita.
Seperti yang diceritakan oleh teman saya, sang pastor menjelaskan mengapa kita tetap
pergi ke gereja? Sekalipun mungkin perayaannya hanya begitu-begitu saja, urutannya pun
baku dan selalu sama...tetapi alasan kita pergi ke gereja adalah karena Tuhan pun berkenan
hadir dalam setiap perjalanan hidup kita. Kita datang ke Gereja untuk bersyukur kepadaNya,
untuk menghormati kuasaNya, untuk menunjukkan penghargaan dan penghormatan kita
bahwa Ia adalah satu-satunya Allah yang kita sembah, bahwa tidak ada kuasa lain yang layak
menerima penghormatan begitu tinggi selain Dia. Dan Tuhan yang begitu Mahaluarbiasa itu,
telah berkenan hadir dalam hidup kita, menyelamatkan kita dari maut dan membimbing kita
untuk memiliki hidup yang penuh dan berkelimpahan. Untuk itu semua, sudah selayaknya
kita hadir dalam perjamuan yang diadakanNya. Bukankah ketika kita telah mendapat
kebaikan dari seseorang, dan orang itu mengadakan pesta lalu mengundang kita, kita akan
dengan senang hati datang ke pesta itu? Setidaknya kita merasa ingin menyenangkan hati
orang yang telah memberikan kebaikan kepada kita itu. Demikian juga seharusnya, kita
datang ke Perjamuan Kudus di Gereja, bukan hanya untuk mengikuti ritual tanpa arti, tetapi
setidaknya kita datang untuk menyenangkan hati Tuhan, untuk menunjukkan penghargaan
kita kepadaNya.
Semoga kita senantiasa diingatkan dan dikuatkan dalam menjalani hidup yang sarat dengan
godaan-godaan ini, dan semoga pada akhirnya kita berhasil menang dari godaan-godaan itu
karena kita berpegang pada firman Tuhan yang menyelamatkan! Tuhan memberkati!
33 | P a g e
APAKAH “KEBETULAN” ITU?
Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah kegiatan di tempat kerja saya yang mengharuskan
saya untuk mengikuti uji kemampuan sebuah pompa di plant. Kegiatan tersebut memang
berkaitan dengan sebuah studi yang saya lakukan. Seperti biasa, saya berangkat ke plant
berjalan kaki bersama salah seorang rekan saya, mengikuti uji kemampuan pompa itu
selama kurang lebih dua jam, sampai akhirnya kegiatan itu selesai. Ketika semuanya
berjalan, saya merasa baik-baik saja. Akan tetapi, setelah semuanya selesai dan para
personel bersiap untuk kembali ke tempat masing-masing, tiba-tiba pandangan saya seperti
menjadi gelap. Saya merasa ada yang tidak beres dengan tubuh saya. Saya mulai merasa
mual dan ingin muntah. Kepala saya terasa berat dan pandangan saya tetap tampak gelap.
Waktu itu rekan saya mengajak saya untuk kembali ke kantor dengan berjalan kaki, dan
biasanya saya pun baik-baik saja ketika harus berjalan kaki kembali ke kantor. Namun,
waktu itu entah kenapa kondisi tubuh saya seperti tidak mendukung. Tiba-tiba saja, ketika
kami hendak berjalan pulang, sebuah mobil datang dan menawarkan untuk mengantarkan
kami kembali ke kantor. Tentu saja kami pun setuju dan akhirnya kami diantar kembali ke
kantor. Saya tidak perlu berjalan kaki dan mungkin saja jika saya memaksakan diri untuk
berjalan kaki kembali ke kantor, saya bisa pingsan di tengah jalan hahaha....
Kadang kala, atau bahkan seringkali dalah hidup kita, kita mengalami sesuatu yang kita
anggap ‘kebetulan’. Ketika kita sedang pergi membeli makanan dan sudah selesai makan
lalu bersiap untuk membayar...tiba-tiba kita baru sadar bahwa kita lupa membawa dompet.
Pada saat itu ‘kebetulan’ kita bertemu seorang teman dan ia dengan murah hati membayar
bagian kita juga. Atau mungkin ketika kita ketinggalan bus untuk ke kantor dan tiba-tiba
seorang rekan kerja lewat dan menawarkan kita untuk berangkat bersama naik
mobilnya...semua ini mungkin hanya ‘kebetulan’ semata, tetapi jika kita boleh melihat lebih
dalam, sebenarnya tidak ada suatu ‘kebetulan’ semata.
Ada sebuah ungkapan yang pernah saya baca, “There are no mistakes and no coincidences.
Everything that happens is a blessing that comes from Him”. Sungguh ketika terjadi sebuah
‘kebetulan’, alangkah baiknya jika kita memaknainya sebagai salah satu bagian dari karunia
Tuhan. Ada satu hal yang harus kita tanamkan dalam diri kita, bahwa mukjizat tidak melulu
harus terjadi lewat sebuah peristiwa yang spektakuler. Setiap rahmat yang kita terima setiap
hari bisa menjadi mukjizat bagi diri kita, jika kita memaknainya demikian. Ketika saya merasa
nyaris pingsan dan tiba-tiba sebuah kendaraan datang untuk membawa kami kembali ke
kantor, saya merasa ini adalah salah satu rahmat dari-Nya. Ia tahu apa yang saya butuhkan
saat itu; Ia tidak membiarkan saya semakin jatuh dan malah bisa semakin merepotkan
banyak orang nantinya. Ia mengirimkan bantuan itu pada saat yang tepat, pada saat ketika
kita sungguh-sungguh membutuhkannya.
34 | P a g e
Mungkin sering kali kita melupakan karunia Tuhan yang terwujud dalam hal-hal sederhana
yang kita alami setiap hari, karena kita sibuk menantikan mukjizatNya yang kita harapkan
terjadi dalam hidup kita sebagai sebuah peristiwa yang luar biasa...tidak salah memang
menantikan mukjizatNya, namun jangan sampai kita malah melupakan rahmatNya yang lain
dalam hidup kita. Ia tidak hanya mengurus salah satu aspek dalam hidup kita, tetapi Ia
mengurus segala sisi kehidupan kita. Mungkin kita sedang menantikan rahmat dan
mukjizatNya dalam segi finansial kita, tetapi ingatlah bahwa Ia pun telah menjaga kita untuk
tetap sehat dan dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihi kita.
Jadi, marilah membiasakan diri untuk lebih peka akan karunia Tuhan, baik dalam hal-hal
besar maupun hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidup kita. Ia mengasihi kita dan Ia
tidak akan membiarkan kita jatuh sampai tergeletak. Tuhan memberkati kita semua
23 TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
24 apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya.
(Mzm 37:23-24)
35 | P a g e
APA ARTI HIDUP BAGIMU?
Saya teringat suatu hari ketika saya mengikuti sebuah kuliah di kampus, dosen yang
membawakan mata kuliah itu tiba-tiba memberi pertanyaan kepada beberapa orang teman
saya. “Menurut kalian, hidup itu apa?”
Ada yang mengatakan bahwa hidup adalah sebuah kesempatan, ada yang mengatakan
bahwa hidup adalah perjuangan, ada yang mengatakan bahwa hidup adalah
anugerah...banyak jawaban yang berbeda ketika orang mendapat pertanyaan ‘hidup itu
apa?’
Waktu itu saya berpikir bahwa hidup adalah sebuah anugerah, namun hari ini saya kembali
memikirkan hal itu dan saya pun bertanya, jika hidup itu anugerah, lalu apakah kita bisa
melakukan segala hal sekehendak kita sendiri? Saya pun berpikir bahwa ada sesuatu di balik
hidup sebagai anugerah. Sebuah pertanyaan mendasar yang kadang muncul dalam benak
saya, ‘Mengapa Tuhan menciptakan sesuatu?’ Mengapa Tuhan menciptakan nyamuk, lalat,
kalajengking, dan kaki seribu? Mengapa Tuhan menciptakan ular, biawak, komodo, dan
buaya? Mengapa Tuhan menciptakan bunga mawar, anggrek, melati, bahkan bunga
bangkai? Mengapa Tuhan menciptakan kita?
Sebuah pertanyaan yang saya tidak tahu juga jawabannya. Yang jelas, Tuhan menciptakan
sesuatu untuk sesuatu. Ia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Tuhan tahu
setiap titik yang diciptakanNya akan memancarkan kemuliaanNya. Jadi saya kira, Tuhan
menciptakan setiap dari kita di dunia ini, untuk suatu tujuan. Tujuan hidup yang pada
akhirnya akan berujung pada kemuliaanNya. Saya percaya, tidak ada seorang pun yang
diciptakan untuk menjadi pecundang. Semua orang diciptakan untuk menjadi pemenang.
Bahkan, sebenarnya kita tidak perlu takut akan kekurangan, kita tidak perlu takut akan
kehilangan kesempatan karena kekayaan dan kesempatan itu telah dimiliki orang lain. Kita
tidak perlu takut, karena Tuhan punya lebih banyak daripada semua yang pernah kita lihat.
Hanya saja kita belum menemukannya, dan mungkin juga Ia memang sedang menunda
untuk memberikannya kepada kita.
Setelah menyadari bahwa hidup setiap orang pasti memiliki makna dan tujuan tertentu yang
telah ditetapkanNya, kini saya mengatakan bahwa hidup adalah sebuah perutusan. Setiap
orang yang telah lahir ke dunia, tidak saja membawa egonya sendiri, tetapi juga membawa
sebuah tugas perutusan dari Yang Mahakuasa. Seorang anak yang lahir di keluarga biasa
saja ternyata mampu menjadi seorang dokter yang bertangan dingin dan mampu
menyembuhkan banyak orang. Seorang anak yang bahkan tidak tamat pendidikan sekolah
menengah ternyata berhasil menjadi seorang pengusaha terkemuka dan mampu membuka
lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Namun ada pula, anak dari keluarga terkemuka
yang terjerat kasus hukum dan pada akhirnya menjadi narapidana. Kita tidak bisa
36 | P a g e
menggunakan logika kita bahwa keluarga atau asal seseorang akan menentukan
kehidupannya kelak. Tidak seperti itu, tidak sama sekali.
Hidup adalah perutusan, dan semua orang pada dasarnya diutus untuk menjadi seseorang
bagi dunia. Tidak harus menjadi seorang penemu listrik, penemu antibiotik, atau peraih
nobel perdamaian untuk menjadi ‘seseorang’ bagi dunia. Ada sebuah ungkapan yang cukup
sering saya dengar, “Bagi dunia Anda mungkin bukan siapa-siapa, tetapi bagi seseorang,
Anda mungkin adalah dunianya”. Sebenarnya setiap insan di dunia ini adalah bagian dari
dunia. Sebuah kebaikan sederhana yang kita berikan kepada seseorang bisa saja mengubah
kehidupan orang itu selamanya. Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman yang
menemani salah seorang kerabatnya ketika ayah kerabatnya itu meninggal dunia. Teman
saya itu hanya menemani hingga larut malam, tanpa banyak bicara. Keesokan harinya,
kerabatnya itu datang kepadanya dan mengucapkan terima kasih banyak karena teman saya
itu telah menemaninya malam sebelumnya, karena ternyata sebelumnya dia berencana
untuk bunuh diri malam itu. Ia merasa hidupnya hancur setelah sang ayah meninggal dan ia
tidak punya semangat hidup lagi, tetapi karena ada seseorang yang menemaninya, ia pun
mengurungkan niatnya itu. Sungguh luar biasa bukan? Hanya sebuah perhatian yang
sederhana, menemani seseorang yang sedang berduka, tanpa banyak bicara, tanpa banyak
nasihat atau kata-kata penghiburan. Hanya sekedar kehadiran kita saja ternyata mampu
memberikan pengaruh yang luar biasa dalam hidup seseorang.
Karena hidup adalah sebuah perutusan, dan setiap dari kita mungkin memiliki tugas
perutusan yang berbeda-beda. Yang jelas, tidak ada satu pun manusia yang diciptakan tanpa
tugas ini. Semua orang memilikinya, dan alangkah baiknya jika kita dapat menyadari tugas
perutusan kita masing-masing dan melaksanakannya dengan sepenuh hati hingga pada
akhirnya semua itu bermuara pada kemuliaan Allah Sang Pencipta.
Semoga kita dapat menjalani hidup ini dengan melaksanakan tugas perutusan dari Tuhan
dengan sebaik-baiknya! Amin
37 | P a g e
MENGETAHUI APA YANG BENAR-BENAR KITA INGINKAN
Beberapa waktu yang lalu saya baru saja selesai membaca sebuah buku berjudul Training
Camp karya Jon Gordon. Buku ini mengisahkan perjuangan seorang pemain rugby untuk
menjadi bagian dari sebuah tim rugby yang sudah menjadi impiannya. Dalam buku ini
dirumuskan sebelas ciri-ciri dari ‘mereka yang terbaik’, sesuatu yang bisa menjadi pelajaran
berharga bagi siapapun yang ingin menjadi ‘yang terbaik’ dalam bidangnya. Adapun
kesebelas ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mereka yang terbaik mengetahui hal yang benar-benar mereka inginkan.
2. Mereka yang terbaik memiliki kerinduan yang lebih mendalam.
3. Mereka yang te