Beberapa hari yang lalu, saya terus teringat dengan sebuah kisah yang pernah saya baca dari
sebuah buku renungan beberapa tahun yang lalu. Dalam kisah itu diceritakan: Ada sebuah
bencana banjir yang sangat dahsyat. Beberapa orang berusaha menyelamatkan diri dengan
naik ke atap rumah-rumah yang perlahan mulai terendam air. Tingkat permukaan air terus
naik dan rumah-rumah pun hampir tenggelam. Salah seorang hamba Tuhan yang sangat
beriman dan percaya kepada Tuhan juga tengah bertahan di atap rumah bersama beberapa
orang lainnya. Pada saat itu, sekelompok regu penyelamat datang untuk menyelamatkan
orang-orang yang tengah bertahan di atap-atap rumah. “Ayo cepat naik ke perahu ini,
sebentar lagi rumah ini akan tenggelam!” kata salah seorang anggota regu penyelamat itu.
Sang hamba Tuhan berkata kepada seorang yang bersamanya, “Saudaraku, silakan kamu
duluan saja. Saya yakin Tuhan akan menyelamatkan saya.” Lalu regu penyelamat itu pun
berlalu. Tak lama kemudian datang regu penyelamat yang lain dan mengatakan hal yang
sama, “Ayo cepat naik ke perahu ini, air semakin tinggi, rumah itu akan tenggelam!” dan
hamba Tuhan tadi berkata kepada seorang yang lain yang bersamanya, “Saudaraku, silakan
kamu duluan saja, saya yakin Tuhan akan menolong saya,” Setelah itu datanglah regu
penyelamat yang ketiga dan mengatakan hal yang sama, tetapi hamba Tuhan ini
mengatakan hal yang sama pula kepada temannya. Akhirnya regu penyelamat itu pun
berlalu, dan ternyata itu adalah regu penyelamat yang terakhir. Tingkat permukaan air
terus naik dan akhirnya rumah itu pun tenggelam, dan sang hamba Tuhan meninggal
karena tenggelam. Ketika sampai di surga, ia bertemu dengan Tuhan lalu bertanya
kepadaNya, “Tuhan, mengapa Engkau tidak menyelamatkan aku dari banjir tadi? Bukankah
Engkau berjanji akan menolong hamba-hambaMu yang berteriak minta tolong?” lalu Tuhan
menjawabnya, “Aku telah mengirimkan tiga regu penyelamat kepadamu, tetapi kamu tidak
mau mengikutinya,”
Kisah itu sederhana, namun sangat menyentuh bagi saya. Terkadang kita memikirkan hal
yang muluk-muluk dan ajaib ketika kita menantikan pertolongan Tuhan, padahal sebenarnya
Ia telah mengirimkan pertolongan-pertolonganNya melalui hal-hal atau orang-orang di
sekitar kita. Sering kali kita saja yang tidak peka dengan pertolongan-pertolongan nyata
itu,karena dalam pikiran kita, yang terbayang adalah pertolongan-pertolongan ajaib.
Seringkali kita membayangkan bahwa pertolongan Tuhan itu akan datang seperti seseorang
yang sedang dilanda hutang sangat besar dan tiba-tiba ia memenangkan lotere dengan
hadiah utama. Ini juga yang sering menjadi salah kaprah bagi kita, bahwa mukjizat haruslah
berupa sebuah peristiwa besar yang ajaib. Saya sudah seringkali mencoba mengingatkan
bahwa mukjizat tidak melulu harus terjadi melalui sebuah peristiwa besar! Jangan sampai
peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi nyata dalam hidup kita, pertolongan-pertolongan
sederhana yang kita terima melalui orang-orang di sekitar kita, malah kita lupakan dan tidak
43 | P a g e
kita perhitungkan sebagai mukjizat, padahal setiap pertolongan yang kita terima dariNya,
menurut saya, juga merupakan salah satu bentuk mukjizat.
Saya pun teringat salah satu kesaksian dari Andi F. Noya, presenter program Kick Andy, yang
berjudul “Rencana Tuhan”. Andy mengisahkan suatu ketika ia membutuhkan biaya untuk
operasi kakaknya, tetapi ia tidak memiliki uang sebanyak yang dibutuhkan. Dalam kisahnya,
ia kemudian secara tiba-tiba mendapatkan permintaan dari salah seorang temannya untuk
mengisi sebuah acara untuk menggantikan pembicara lain yang berhalangan. Seusai acara
itu, ia mendapatkan tanda terima kasih berupa sebuah amplop berisi cek. Ia tidak pernah
menyangka atau membayangkan tentang honor itu, karena niatnya hanyalah untuk
menolong temannya. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat bahwa nilai yang tertera
dalam cek itu sama persis dengan jumlah biaya yang diperlukan untuk operasi sang kakak!
Hal ini tentu saja adalah sebuah mukjizat, dan pasti semua orang pun berpikiran sama. Sama
halnya ketika kita melihat di televisi sebuah acara penyembuhan dan tampak seorang yang
tadinya harus naik kursi roda setelah didoakan bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri—
itu semua, kita akui dan kita anggap sebagai mukjizat.
Namun, pernahkah kita mencoba merenungkan peristiwa sederhana ketika kita tengah
merasa sedih, tiba-tiba seorang teman menelepon dan menanyakan sesuatu hal. Akhirnya
kita terlibat dalam pembicaraan dan lupa akan kesedihan kita. Namun, setelah selesai
bicara, kita kembali terbayang akan hal yang membuat kita sedih dan kita pun menjadi sedih
kembali. Setelah itu tetangga kita datang dan mengantarkan masakan yang baru dibuatnya.
Kita mulai ngobrol dan membicarakan tentang masakan, dan kita pun lupa akan kesedihan
kita. Namun, setelah tetangga kita pulang, kita kembali ingat akan kesedihan kita dan
merasa sedih lagi. Pernahkan kita mencoba merenungkan bahwa hal-hal sederhana yang
kita alami seperti itu, sesungguhnya adalah cara Tuhan untuk menolong kita? Namun hati
dan pikiran kita dipenuhi dengan fantasi bahwa pertolongan Tuhan pasti akan datang
dengan cara yang ajaib, dengan cara yang luar biasa. Ketika misalnya, kita sedih karena
ditinggalkan oleh seseorang yang kita kasihi, kita berpikir bahwa pertolongan Tuhan akan
datang lewat seseorang yang lain yang akan mampu mengasihi kita dengan lebih baik. Oleh
karena itu, ketika teman kita atau tetangga kita datang atau menelepon, mengajak kita
membicarakan hal-hal yang menarik, yang membuat kita lupa akan kesedihan kita, kita tidak
menganggapnya sebagai penghiburan dari Tuhan.
Sungguh ironis ketika saya menyadari bahwa saya pun sering berpikir demikian. Ketika saya
kehilangan sesuatu, saya berpikir bahwa hiburan Tuhan akan datang melalui perolehan yang
lain untuk menggantikan apa yang hilang dari saya itu. Namun, kenyataannya, penghiburan
itu justru sebenarnya datang melalui perhatian-perhatian sederhana dari orang-orang di
sekitar kita. ketika saya sedih karena gagal dalam sesuatu, penghiburan Tuhan tidak datang
dalam wujud kesuksesan yang tiba-tiba, tetapi dalam perhatian sederhana dari teman-
teman saya. Ketika saya mengalami kekecewaan, teman-teman saya mengajak saya untuk
makan bersama. Ketika saya mengalami stress, keluarga saya menghubungi saya dan
44 | P a g e
mengajak saya membicarakan hal lain sehingga pikiran dan hati saya tidak lagi terfokus pada
hal-hal yang memicu stress.
Apa yang kita perlukan, Tuhan mengetahuinya dengan pasti, jauh lebih baik daripada yang
kita pikirkan. Tuhan pun tahu cara-cara terbaik untuk menolong kita. PertolonganNya selalu
datang pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat. Marilah kita membiasakan diri untuk
senantiasa bersyukur, agar setiap pertolongan yang datang, sekalipun itu adalah hal yang
sangat sederhana, mampu kita maknai sebagai pertolonganNya. AMDG!
45 | P a g e