Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

BERANI JUJUR

Beberapa hari yang lalu, saya tengah bergulat dengan perasaan dan pikiran saya sendiri.

Saya sangat bingung, apakah saya harus mengikuti kata hati saya atau pikiran saya?

Kejadiannya hari Sabtu siang. Waktu itu, saya hendak melancarkan kemampuan saya

mengendarai mobil. Saya pun meminjam salah satu mobil kantor. Sengaja saya meminjam

mobil yang paling lama, karena rasanya kok masih kurang pede kalau harus memakai mobil

yang bagus-bagus. Terakhir kali saya mengendarai mobil di Semarang adalah seminggu yang

lalu. Namun, saya masih belum berani mengendarai mobil seorang diri sehingga selalu ada

yang mendampingi saya ketika saya menyetir. Hari itu pun niat saya sebenarnya hanya

berkeliling di sekitar mess tempat tinggal saya. Saya pun mengajak salah seorang teman

saya untuk menemani saya. Namun, ketika saya mencoba menyalakan mobil itu ternyata

susah sekali. Beberapa kali saya coba starter tetap tidak bisa. Akhirnya setelah beberapa kali

mencoba, mobil itu bisa juga distarter. Saya pun berpikir, mungkin karena mesinnya belum

panas ya. Nah, di tengah kebingungan saya itu, seorang bapak muncul dan berniat

membantu. Bapak itu juga adalah salah seorang petugas di mess, tetapi saya tidak mengenal

beliau. Saya tidak tahu, apakah beliau termasuk salah satu driver, atau petugas kebersihan

dan kerapian di mess. Bapak itu mencoba menekan pedal gas untuk mempercepat mesin

mobil menjadi panas. Celakanya, ternyata kopling mobil tersebut belum netral. Saya juga

tidak menyadarinya, karena sebelumnya saya selalu menginjak pedal kopling. Saya sendiri

memang mengira kopling mobil tersebut sudah netral karena saya coba gerakkan juga

sepertinya posisinya netral. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mobil pun bergerak maju

dan menabrak tembok di depan mobil tersebut. Memang tembok tersebut sebenarnya

hanya berfungsi untuk estetika, tetapi tetap saja kerusakannya lumayan parah, sementara

mobilnya sendiri tidak kenapa-kenapa.

Tentu saja bapak yang mencoba membantu saya tadi panik. Maklum lah, beliau pasti takut

kalau dipersalahkan atas peristiwa tadi. Belum lagi kalau disuruh mengganti kerusakan

tersebut. Sementara itu saya sendiri juga kaget, tapi sejujurnya saya tidak terlalu merasa

bersalah (karena bukan saya atau ide saya untuk menginjak pedal gas hehe). Akan tetapi,

saya pun menyadari bahwa saya juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena

bapak tadi hanya berniat membantu saya. Ketika saya berniat untuk melaporkan kejadian

tersebut, seorang teman saya dan bapak tadi melarang saya. “Nggak usah lah, toh mobilnya

juga nggak kenapa-kenapa kok,” kata teman saya itu dan disetujui juga oleh bapak tadi.

“Lagipula kasian Bapak itu lah, kalau kamu laporkan, nanti dia kena disalahkan,” lanjut

teman saya itu. Saya pun menyadari konsekuensinya jika saya melaporkan kejadian itu. Saya

juga merasa kasihan kalau nanti bapak tadi disalahkan. Namun, hati nurani saya terus

mendorong saya untuk jujur dan melaporkan kejadian itu. Sekalipun kejadian tersebut

bukan sepenuhnya kesalahan saya, tetapi saya pun ikut bertanggung jawab atas kejadian

itu. Saya menjadi bingung sendiri. Secara logika, jika tidak ada yang melaporkan kejadian itu

46 | P a g e

sih, tentunya tidak akan ada orang yang tahu. Toh yang rusak ini bukan benda yang sangat

penting, hanya berfungsi sebagai estetika saja.

Hari itu saya meminta pendapat kakak saya dan beberapa orang teman baik saya. Ada yang

mengatakan saya tidak perlu melaporkan jika nantinya malah akan memperumit situasi, ada

juga yang berkata saya perlu melaporkannya tapi tidak perlu menyebutkan tentang bapak

yang menekan pedal gas itu. Saya juga menimbang-nimbang, tetapi dalam hati saya tahu

dengan jelas bahwa saya harus melaporkan kejadian itu. Saya pernah mengalami situasi

dimana saya harus menutupi suatu kebenaran, dan rasanya benar-benar tidak

menyenangkan, apalagi jika itu berarti saya harus menutupi kesalahan saya. Wah, rasanya

benar-benar menyiksa batin. Saya tidak mau lagi mengalami hal seperti itu. Lagipula, saya

yakin Tuhan akan menghargai kejujuran saya. Jika saya tidak mengungkapkan kebenaran,

sama saja saya berdosa. Akhirnya saya putuskan untuk melaporkan kejadian itu, tapi saya

tidak menyebutkan detail kejadiannya, sehingga saya tidak juga menyebutkan mengenai

bapak yang bermaksud membantu saya itu. Memang, konsekuensinya adalah saya mungkin

tidak dipercaya lagi untuk meminjam mobil kantor, tetapi saya percaya Tuhan akan

memberikan jalan yang lain. Ibaratnya seorang anak yang mengaku kepada ayahnya, bahwa

ia merusakkan sepedanya ketika sedang latihan. Tidakkah sang ayah akan menegur anaknya,

tetapi juga menghargai kejujuran anaknya, dan memperbaiki sepeda sang anak atau bahkan

memberikan sepeda baru kepadanya supaya ia kembali berlatih? Setidaknya itulah pikiran

positif yang coba saya tanamkan dalam benak saya.

Dari peristiwa ini, sungguh saya belajar sesuatu yang sangat penting. Betapa sebuah

kejujuran itu, sekalipun kecil atau sederhana, tetapi bisa berpengaruh sangat besar dalam

kehidupan seseorang. Saya pun membayangkan, seandainya saya tidak melaporkan kejadian

ini, mungkin memang tidak ada orang lain yang tahu, hanya saya dan teman-teman saya,

serta bapak yang mencoba membantu saya itu. Mungkin saya juga masih akan dipercaya

untuk meminjam kendaraan kantor, tetapi yaa..mungkin saya juga akan menjadi terbiasa

untuk menutupi kebenaran. Sungguh pilihan yang cukup membingungkan, tetapi pada

akhirnya saya tetap memilih untuk jujur. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang bisa

dengan mudah berbohong atau menutupi kebenaran. Saya tahu Tuhan tidak berkenan

kepada orang-orang seperti itu. Karena Ia sendiri datang ke dunia untuk mengungkapkan

kebenaran, masa anak-anakNya malah menutupi kebenaran?

Kemarin malam, saya menonton salah satu video acara Joyce Meyer dengan topik “He will

Protect You”. Dalam acara tersebut, Joyce Meyer mengungkapkan, bahwa rasa bersalah

yang tak kunjung berakhir, sekalipun kita telah mengakui dosa kita kepada Tuhan, bisa jadi

berasal dari iblis. Iblis selalu mencoba merampas kebahagiaan kita, karena itu ia selalu

mencoba meyakinkan kita bahwa kita adalah orang berdosa, bahwa kita tidak layak untuk

bahagia karena dosa-dosa yang telah kita lakukan. Namun, Joyce mengingatkan, bahwa

Tuhan Yesus sendiri telah menebus dosa-dosa kita, sekali untuk selama-lamanya. Sungguh

suatu kenyataan dan keyakinan yang harus kita ingat dan kita tanamkan, bahwa

47 | P a g e

sesungguhnya usaha kita tidak akan mampu menambah sedikit pun kasih Tuhan kepada

kita. Tuhan mengasihi kita apa adanya, Ia mengasihi kita dan mengampuni setiap kesalahan

dan dosa kita. Seperti kisah anak bungsu yang pergi meninggalkan bapanya sambil

membawa uang warisan bapanya, lalu kembali ketika ia telah kehilangan semua hartanya

itu karena berfoya-foya, sang bapa ternyata sama sekali tidak mengingat kesalahan anaknya

itu. Ia justru sangat bersyukur karena sang anak kembali dengan selamat. Sungguh indah

bukan, perumpamaan yang diceritakan Tuhan Yesus kepada kita? Demikian pula kasih Bapa

kepada kita. Dengan keyakinan ini, sesungguhnya kita harusnya bisa terlepas dari rasa

bersalah jika kita telah mengakui segala kesalahan kita di hadapanNya.

Satu lagi yang saya pelajari dari kebiasaan mengaku dosa yang minimal dilakukan setahun

dua kali dalam kebiasaan umat Katolik, yaitu bahwa selalu ada silih atas dosa-dosa kita. Kita

menyesal atas dosa-dosa dan kesalahan kita, dan kita juga telah mengakuinya di hadapan

Tuhan, tetapi kita pun wajib membayar denda atas kesalahan dan dosa kita itu. Ini

merupakan bentuk tanggung jawab kita atas kesalahan yang kita perbuat. Nah, dari sinilah

saya pun yakin dan memantapkan hati, bahwa sekalipun saya telah mengakui kesalahan

saya di hadapan Tuhan, saya tetap harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, sebagai

konsekuensi dari perbuatan saya. Baik denda secara material, maupun moral, itu harus rela

saya tanggung sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab saya. Di balik itu semua, saya

percaya Tuhan akan menganugerahkan jauh lebih besar daripada yang saya pikirkan, jika

saya sungguh menyesal dan bertanggung jawab atas kesalahan saya.

Oleh karena itu, teman-teman terkasih, marilah mencoba dengan rendah hati memohon

hikmat dan kehendak yang kuat, agar kita senantiasa diberi keberanian untuk bersikap dan

berkata jujur, mengungkapkan kebenaran dan bukan menyembunyikannya. Percayalah,

ketika Tuhan melihat kita bertindak dan berkata jujur, Ia tengah tersenyum dan

memperhitungkan hal itu dalam rencanaNya atas hidup kita.

Selamat belajar mengungkapkan kebenaran! AMDG 

48 | P a g e