Saya akhirnya selesai membaca novel Life of Pi karya Yann Martel, setelah sebelumnya
menyaksikan filmnya di layar lebar. Sungguh kisah yang menarik menurut saya, karena novel
ini tidak hanya menyuguhkan kisah fiksi biasa, tetapi di balik fiksi itu terkandung sebuah nilai
yang sangat indah: Tuhan itu ada. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya mengenai Life of
Pi, kisah perjuangan Pi untuk bertahan hidup di tengah cobaan untuk hidup terkatung-
katung di tengah Samudra Pasifik ini sungguh menginspirasi, sekalipun ini tentu hanya kisah
fiksi. Setelah membaca novel ini, jauh lebih banyak hal yang saya peroleh. Salah satu kalimat
favorit saya adalah, “Kalau begitu, apa gunanya punya akal, Richard Parker? Apakah
sekadar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari—mencari makanan, pakaian,
dan atap untuk berteduh? Kenapa akal tak bisa memberikan jawaban-jawaban yang lebih
kompleks? Kenapa kita bisa menanyakan hal yang tak ada jawabannya? Buat apa punya
jala begitu besar kalau sedikit sekali ikan yang bisa ditangkap?”
Beberapa hari setelah tulisan saya yang dihimpun menjadi satu buku diterbitkan, saya
sempat berkomunikasi via internet dengan salah seorang teman lama. Dia pun bercerita
mengenai kegiatan yang dilakukannya saat ini. Saya cukup terkesan dengan apa yang
dikerjakannya, dan apa yang menjadi harapannya sekarang. Teman saya ini dulu pernah
mengalami saat-saat mengecewakan, ketika ia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak
naik kelas. Oleh karena itu, ia akhirnya pindah ke sekolah lain (dengan pindah ke sekolah
lain, berdasarkan kebijakan sekolah, ia akhirnya dianggap ‘naik kelas’—saya juga tidak
begitu paham dengan kebijakan ini) Uniknya, setelah sekian lama tidak berkomunikasi, saya
sangat terkesan karena saat ini profesi yang ditekuninya ternyata adalah menjadi seorang
pengajar! Dan satu hal yang mengagumkan, teman saya bercerita tentang harapannya agar
murid-murid dapat belajar dengan cara yang lebih baik, yaitu mengedapankan logika dan
pola pikir, bukan sekedar menghafal. Sangat penting mengetahui dasar dari ilmu yang
mereka pelajari, daripada sekedar menghafalkan rumus-rumus untuk menyelesaikan soal-
soal ujian. Hal ini sangat tepat, menurut saya, karena akan membiasakan anak untuk
memahami sesuatu dan akan melatih pola pikir, melatih kemampuan untuk menganalisa
dan menciptakan kreativitas. Sebuah soal ujian mungkin bisa diselesaikan dengan lebih dari
satu macam cara, namun terkadang apa yang diberikan di sekolah bukanlah memberi
kesempatan siswa untuk menemukan cara penyelesaian yang lain, melainkan memberikan
doktrin bahwa soal A harus diselesaikan dan dikerjakan dengan cara A. Jujur saja, saya
cukup terharu dengan harapan teman saya ini. Saya pun mencoba berefleksi, dan satu hal
yang saya dapatkan dari perenungan saya: orang yang pernah mengalami kegagalan, pasti
tahu apa yang menyebabkannya gagal dan dari situlah ia belajar supaya ia tidak gagal lagi.
Demikian pula, dengan mengetahui penyebab kegagalannya, ia bisa memberikan nasihat
kepada orang lain supaya tidak gagal karena alasan yang sama. Inilah yang menurut saya,
mungkin menjadai salah satu pendorong harapan teman saya.
49 | P a g e
Mereka yang pernah gagal, tahu dengan pasti apa yang menyebabkan kegagalannya. Orang-
orang yang pernah gagal, sangat mungkin untuk menjadi orang yang lebih sukses daripada
orang-orang yang tidak pernah gagal. Mengapa? Karena orang-orang yang pernah gagal
tahu apa yang harus dilakukan setelah kegagalan itu, dan mereka tahu bagaimana
memanfaatkan kegagalan mereka sebagai pelajaran untuk mencapai kesuksesan. Terlebih
lagi, mereka dapat menjadi ‘mentor’ yang lebih baik daripada orang-orang yang belum
pernah gagal, karena mereka tahu celah-celah yang harus diwaspadai, dan mereka tahu
bagaimana rasanya gagal, sehingga ketika seorang murid mereka mengalami kegagalan,
mereka bisa lebih berempati dan seharusnya bisa memberikan nasihat yang jauh lebih nyata
dan lebih bermanfaat untuk membangkitkan semangat muridnya itu. Bukankah banyak yang
mengatakan bahwa kegagalan adalah jalan menuju kesuksesan? Saya rasa itu memang
benar .
Saya rasa, ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak naik kelas, tentu teman saya
pun mungkin bertanya-tanya, mengapa hal itu harus ia alami. Mengapa Tuhan
memberikannya akal dan kesempatan, tetapi kemudian seolah merenggutnya? Mungkin
saat itu, teman saya pun mengajukan pertanyaan sama seperti yang diajukan Pi, “Apa
gunanya akal?” Ketika apa yang terjadi sungguh di luar penalaran kita, tentu ada
ketidakpuasan yang menyeruak dalam pikiran kita. Bukankah Tuhan memberikan kita akal
karena Ia ingin kita menjadi makhluk yang berbudi pekerti? Makhluk yang mampu mengolah
alam yang telah diberikanNya untuk diusahakan manusia?
Namun pada akhirnya, Pi dalam kisahnya, berhasil mengembangkan akalnya untuk hal yang
lain, yang membuatnya mampu bertahan di tengah cobaan berat yang dialaminya. Seperti
halnya yang dialami Pi, mungkin akal yang kita miliki memang belum bisa menjawab setiap
pertanyaan yang muncul dalam benak kita. Akal kita belum mampu memberikan penjelasan
mengapa sesuatu harus terjadi atau harus kita alami, tetapi akal itu mampu membantu kita
untuk mengembangkan diri dalam hidup, menjadi pribadi yang lebih baik dan mampu
menghadapi tantangan serta cobaan yang datang. Jadi, kita mungkin tidak bisa menjawab
mengapa sesuatu harus terjadi, tetapi kita dimampukan untuk menjalani setiap peristiwa itu
dengan akal yang dikaruniakan Tuhan kepada kita.
Berkaca dari kisah teman saya tadi, mungkin pada waktu kegagalannya, akalnya tidak
mampu memberikan jawaban atau penjelasan yang memuaskan mengapa hal itu harus ia
alami, tetapi dengan akal itu pula, Tuhan membuatnya menyadari hal yang lebih besar dan
memampukannya untuk berkarya dengan mengagumkan di jalan yang pernah menjadi batu
sandungan dalama hidupnya.
“Kalau begitu, apa gunanya punya akal? Kenapa akal tak bisa memberikan jawaban-
jawaban yang lebih kompleks? Kenapa kita bisa menanyakan hal yang tak ada
jawabannya?” Mungkin jawabannya, karena Tuhan memberikan kita akal, bukan untuk
menjawab setiap pertanyaan yang muncul dalam hidup kita, melainkan untuk
50 | P a g e
memampukan kita menjalani hidup ini dengan baik sehingga kita dapat hidup dalam
kelimpahan.
Marilah belajar untuk memahami dan menerima bahwa mungkin ada banyak hal yang kita
alami dan tidak bisa dijelaskan dengan akal kita, tetapi marilah mencoba untuk
menggunakan akal kita dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan diri kita menjadi
seperti yang dikehendaki Tuhan, yaitu supaya kita semua dapat hidup dalam kelimpahan.
Amin... AMDG
51 | P a g e
BERSABARLAH!
Hari ini saya sungguh sangat bersyukur, karena sekali lagi Tuhan berbicara kepada saya
melalui firmanNya. Saat saya tengah berada dalam kegelisahan, kekhawatiran akan masa
depan, dan berbagai ketakutan lainnya, sebuah ayat renungan harian hari ini sungguh
menyentuh hati saya.
7Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan!
Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai
telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. 8Kamu juga harus bersabar dan
harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat! (Yak 5:7—8)
Bersabar, sungguh sebuah kata yang mudah terucap tetapi cukup butuh usaha untuk
menjalaninya dengan benar. Ketika kita menginginkan sesuatu, rasanya hidup kita tidak
akan lengkap sebelum keinginan kita itu terwujud. Seringkali saya pun mengalami perasaan
ini. Perasaan yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari kelemahan daging saya,
kelemahan kemanusiaan saya, yang juga menunjukkan betapa saya masih sangat
tergantung dan dipengaruhi oleh hal-hal keduniawian (yang sebenarnya menurut saya hal
ini manusiawi ). Banyak hal yang saya inginkan, mungkin sebenarnya tidak benar-benar
saya butuhkan. Saya hanya merasa membutuhkannya karena saya menginginkannya. Saya
merasa membutuhkannya, dan merasa harus segera memperolehnya, hanya untuk
memuaskan keinginan daging saya.
Dalam permenungan saya yang kadang muncul secara tiba-tiba, saya mendapatkan sebuah
pemikiran, bahwa bisa jadi apa yang saya gadang-gadangkan sebagai kebutuhan pokok saya,
sebagai keinginan terbesar saya yang dengan terpenuhinya hal itu, saya bisa menjalani
hidup dengan lebih baik, lebih mudah, lebih indah...bisa jadi, justru setelah saya
memperolehnya, bukannya membawa manfaat, keinginan yang terpenuhi itu malah justru
memberikan masalah baru bagi hidup saya. Mungkin satu masalah bisa teratasi, tetapi
muncul masalah lain yang malah lebih berat dan saya bisa jadi belum siap untuk
menghadapi masalah itu jika saya tetap memaksakan diri untuk mewujudkan keinginan itu
sebelum waktunya Tuhan.
Seringkali kita mungkin bertanya-tanya, kapan sebenarnya waktunya Tuhan? Berapa lama
kita harus menunggu terpenuhinya waktu itu? Jujur saja, saya pun tidak tahu. Dulu, ketika
saya sangat berharap untuk bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik, saya awalnya
merasa tidak sabar dan sering bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak juga mengabulkan
permohonan saya. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan tetap menjalankan pekerjaan
saya saat itu dengan sebaik-baiknya dan setia berdoa, akhirnya Tuhan membuka jalan, dan
waktunya tidak pernah terlambat. Hanya satu hal yang bisa dipastikan dari ‘waktunya
Tuhan’: waktu Tuhan tidak pernah terlambat, tidak juga terlalu cepat. Ketika mengimani hal
52 | P a g e
ini, setidaknya kita bisa lebih lega dan tenang, karena Tuhan tahu kapan waktu yang terbaik
untuk mengabulkan permohonan kita.
Seperti halnya ayat renungan harian yang saya baca hari ini, Tuhan meminta kita untuk
bersabar menantikan kedatanganNya. Ada waktu untuk semua hal terjadi. Sekalipun
kekhawatiran itu masih ada, setidaknya kita memiliki sandaran yang tidak pernah salah dan
tidak pernah berdusta. Bersandar kepada Tuhan, percaya akan waktuNya yang tepat, dan
dengan setia menjalani hidup yang dianugerahkanNya dengan sebaik-baiknya seturut
kehendakNya, mungkin inilah yang bisa kita lakukan dalam masa penantian kita.
Salah satu ungkapan dari Joyce Meyer yang menarik berkaitan dengan kesabaran adalah
“Kesabaran bukanlah kemampuan untuk menanti, melainkan kemampuan untuk bertindak
yang benar dalam masa penantian.”
Kita bisa menanti sambil bersungut-sungut dan terus mengeluh, tetapi kita juga bisa
menanti dengan tetap bersyukur dan berharap kepada Tuhan. Manakah penantian yang kita
pilih? Yang jelas, konsekuensi dari pilihan kita akan kita rasakan sendiri. Tuhan selalu
memberikan pilihan dan kita bebas untuk memilih. Ketika kita memilih dan ternyata itu
membuat hidup kita lebih menderita, itu bukan salah Tuhan, tetapi itu merupakan
konsekuensi dari pilihan hidup kita. Oleh karena itu, marilah mencoba dengan sepenuh hati
untuk bersabar dan menikmati masa penantian akan waktu Tuhan ini dengan bertindak
yang benar. AMDG!
53 | P a g e