Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

MENGETAHUI MASA DEPAN

Beberapa waktu yang lalu, saya menyaksikan film berjudul “The Edge of Tomorrow”, salah

satu film science fiction yang dibintangi oleh Tom Cruise. Dalam film itu dikisahkan Tom

Cruise yang berperan sebagai Mayor berkali-kali mengulang hari yang sama. Mungkin

rasanya seperti mimpi ketika kita tiba-tiba bangun dan mendapati bahwa kita sudah pernah

mengalami kejadian hari itu sebelumnya. Pengulangan hari yang sama berkali-kali itu

membuat Mayor mempelajari banyak hal. Ia jadi mampu memperbaiki kesalahan yang ia

lakukan sebelumnya di ‘hari yang sama’ itu.

Apabila hal itu terjadi pada kita—pengulangan waktu—apakah yang akan kita perbuat?

Seandainya kita bisa memilih untuk memperbaiki suatu kesalahan di masa lalu, apa yang

akan kita lakukan? Misalnya saja saat ini kita merasa tidak puas dengan pasangan kita,

apakah kita akan menggunakan kesempatan pengulangan itu untuk memilih orang lain?

Demikian juga dengan pekerjaan kita, teman-teman kita, atau bahkan keyakinan kita.

Ada sebuah film lain yang mengisahkan tentang seorang gadis yang tiba-tiba terbangun dan

berada di masa depan. Dalam masa depannya ia melihat betapa banyak hal yang telah

berubah. Ia pun memeriksa kembali apa yang menyebabkan masa depannya menjadi

seperti itu, tidak seperti masa depan yang ia bayangkan. Ternyata masa depannya yang

‘buruk’ itu terjadi karena sikapnya yang tidak baik di masa lalu. Hal itu membuat gadis itu

menyesal dan sekalipun ia mungkin tidak akan bisa mengubah masa lalu, setidaknya ia

berpikir untuk bisa memperbaiki apa yang salah saat itu. Ia pun mulai mengubah sikapnya

dan mencoba memperbaiki kehidupannya di masa depan, yang ternyata mendapatkan

respon positif dari lingkungan sekitarnya. Akhirnya ketika ia kembali ke masanya yang

sebenarnya, ia pun mampu memilih untuk bersikap dengan lebih baik dan lebih bijak karena

ia tahu sikap yang buruk akan menciptakan masa depan yang buruk pula.

Dalam kedua film tersebut diceritakan perubahan sikap seseorang yang terjadi setelah

orang itu mengetahui pengaruh dari apa yang ia lakukan sekarang terhadap masa depannya.

Tentu kita pun sering tergoda untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan.

Seringkali kita bertanya-tanya dan tidak sabar menunggu besok untuk mengetahui sesuatu

yang akan terjadi. Pertanyaannya, apabila kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi di

masa depan, apa yang akan kita lakukan di masa kini? Kenyataannya, hanya sedikit orang

yang diberi karunia untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan (itu pun konon

katnaya). Sebagian besar di antara kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi satu jam

atau satu menit ke depan. Sebenarnya, seberapa pentingkah mengetahui masa depan itu?

Apakah itu akan mengubah sesuatu dalam hidup kita?

Seperti halnya film “A Christmas Carol”, yang mengisahkan perubahan sikap hidup seorang

kaya yang kikir ketika ia melihat apa yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa depan,

57 | P a g e

tentu mengetahui masa depan bisa saja mengubah hidup kita. Akan tetapi, sekalipun kita

tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kita ditantang untuk bisa menentukan sikap

dan pilihan hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Bahkan, justru dengan tidak

mengetahui apa yang akan terjadi itulah, iman kita akan diuji. Kita tidak tahu apa maksud

dari setiap kejadian yang kita alami kini. Namun, Tuhan sendiri telah menjanjikan akan

sebuah rencana yang indah untuk hidup kita asalkan kita menaati perintahNya. Walau

terkadang kita tidak sabar menunggu waktu Tuhan dan mencoba untuk mempercepat

sesuatu terjadi agar kita bisa segera menikmati atau mengetahui hasilnya, pada akhirnya

apa yang kita usahakan itu tidak akan seindah apa yang diberikan Tuhan pada waktuNya.

Ada sebuah dialog yang sangat menarik dalam sebuah film yang pernah saya saksikan antara

seorang anak perempuan dengan ibunya. Anak perempuan itu bertanya kepada ibunya,

“Ibu, seandainya Ibu bisa kembali ke masa lalu, apa yang ingin Ibu ubah?” Sang ibu terdiam

sesaat kemudian menjawab dengan tenang, “Ibu tidak akan mengubah apapun. Apa yang

terjadi di masa lalu adalah sesuatu yang membentuk Ibu menjadi seperti sekarang, bahkan

itu yang membuat Ibu memiliki kamu juga,”

Mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan memang akan menjadi sebuah peringatan

bagi kita untuk bersikap di masa kini. Bahkan ada sebuah janji di masa depan yang telah

disampaikan Tuhan Yesus, yaitu kedatanganNya yang kedua. Sekalipun tidak ada seorang

pun yang mengetahui kapan kedatanganTuhan itu akan terjadi, Tuhan sendiri telah

memberikan nasihatnya kepada kita agar kita semua berjaga-jaga karena waktu itu akan

datang seperti pencuri. Mengisi waktu dan hidup kita seraya menantikan kedatangan Tuhan,

harus kita lakukan dengan cara yang benar. Demikian pula dengan setiap persoalan hidup

yang kita hadapi kini. Apapun yang terjadi, biarlah kita tetap berusaha bersikap baik dan

benar, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.

Masa depan memang belum pasti, namun apa yang kita lakukan saat ini, itulah yang pasti

akan mempengaruhi masa depan kita. Semoga Tuhan senantiasa menyertai dan

memberkati setiap pilihan kita dan menuntun kita ke dalam rancanganNya yang kudus.

Amin. AMDG, Tuhan memberkati 

58 | P a g e

“MENURUT KAMU, SIAPAKAH AKU INI?”

Tulisan ini saya buat ketika selama beberapa minggu terakhir saya merasa seperti jauh dari

Tuhan. Entah karena apa, kejadian-kejadian biasa yang saya alami seolah terasa begitu

hampa. Demikian juga dalam kehidupan doa saya. Saya merasa malas berdoa dan doa

harian saya jalani seperti hanya rutinitas saja. Sebenarnya hidup saya bukannya tanpa

gejolak. Ada persoalan, ada kegembiraan, tetapi di luar itu semua saya merasakan sebuah

kejenuhan, termasuk kejenuhan dalam kehidupan iman saya. Saya merasa ‘kering’, bahkan

saya merasa tidak layak ketika harus memimpin pujian dalam sebuah persekutuan doa

bersama rekan-rekan kerja saya. Saya merasa tidak bisa mengikuti persekutuan dengan baik

dan saya sungguh merasa seperti orang Farisi yang seolah dari luar tampak suci padahal di

dalamnya menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya.

Secara nalar, saya tahu benar bahwa kehidupan yang saya jalani masih sama seperti

sebelumnya. Yang berbeda hanyalah cara pandang saya. Saya menyadari sepenuhnya

bahwa saya bisa dan berhak untuk mengubah cara pandang saya dan kembali menjalani

hidup ini dengan antusias seperti sebelumnya. Akan tetapi, sesuatu yang kuat dalam diri

saya sungguh menarik saya untuk tetap berada dalam zona jenuh dan kemalasan ini. Saya

pun kadang merasa Tuhan tidak memperhatikan saya, saya bahkan mulai mempertanyakan

kuasa Tuhan. Sungguh, sekalipun tidak tampak dari luar, masa-masa ini mungkin adalah

salah satu masa-masa kritis dalam kehidupan pribadi maupun iman saya. Namun, saya tidak

serta merta menceritakan kegelisahan dan kejenuhan yang saya alami. Saya sadar bahwa

tidak ada seorang pun yang sanggup mengatasi persoalan saya selain saya sendiri.

Beberapa hari, bahkan beberapa minggu hidup dalam perasaan jenuh dan kecemasan,

kekecewaan dan iri hati, sungguh merupakan masa-masa yang tidak menyenangkan.

Beberapa kali saya sadar dan mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak memelihara

perasaan-perasaan itu. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sekalipun saya tahu bahwa

memelihara perasaan-perasaan negatif itu hanya akan memberi dampak negatif terhadap

diri saya, dan bahwa perasaan-perasaan itu termasuk dalam dosa, saya seolah terkurung

dalam kejenuhan itu dan tidak mampu membendung munculnya perasaan-perasaan negatif

tersebut.

Namun, apa yang saya alami beberapa hari yang lalu mulai membawa saya kepada titik

pencerahan yang membuat saya mengingat kembali, bahkan lebih memahami kuasaNya

dalam hidup saya.

Waktu itu saya sedang bercakap-cakap dengan kakak saya. Saya bercerita tentang

kekhawatiran saya akan masa depan, ketakutan dan kecemasan saya, harapan-harapan saya

yang belum terwujud, dan banyak hal mengenai waktu yang akan datang. Sambil ngobrol,

59 | P a g e

saya pun membuka renungan harian di ponsel saya. Sungguh mengejutkan, bahwa ternyata

renungan yang muncul adalah ayat Alkitab mengenai hal kekuatiran (Mat 6:25—34).

Keesokan harinya, ketika saya mengikuti perayaan Ekaristi di gereja, saya kembali merasa

seolah Tuhan memang berbicara kepada saya. Waktu itu bacaan Injil yang dibacakan adalah

Luk 9:18—24 tentang hal mengikuti Yesus. Salah satu bagian dari Injil tersebut, dimana saya

merasa Tuhan sendiri yang mengatakan hal itu kepada saya secara pribadi, adalah

pertanyaan Yesus kepada murid-muridNya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?”. Sungguh

pertanyaan yang mengejutkan bagi saya. Pertanyaan itu terngiang-ngiang dalam pikiran

saya dan perlahan membuat saya sadar bahwa selama ini saya rupanya belum benar-benar

mengimani Tuhan. Ketika Tuhan Yesus menanyakan hal itu kepada murid-muridNya, Petrus

segera menjawab dengan mantap, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Jujur

saja saya merasa malu karena ketika Tuhan menanyakan hal itu, saya tidak tahu harus

menjawab apa. Jika saya sungguh mengimani Tuhan, seharusnya saya akan dengan mantap

pula menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Simon Petrus. Namun, kenyataannya, reaksi

pertama saya adalah terkejut dan tidak tahu apa yang harus saya katakan.

Sungguh suatu teguran bagi saya ketika Tuhan menanyakan hal itu, “Menurut kamu,

siapakah Aku ini?”. Saya yakin Tuhan menanyakan hal itu bukan sekedar ingin menguji iman

saya. Saat itu terlintas dalam pikiran saya, bahwa Tuhan ingin menegaskan kembali

kuasaNya. Siapakah Yesus yang mampu melakukan perkara-perkara ajaib, rela

mengorbankan dirinya karena kasih dan ketaatanNya kepada BapaNya, dan bangkit setelah

kematianNya? Tidak ada yang sanggup melakukan itu semua selain Tuhan sendiri. Maka

sesungguhnya, tidak ada alasan bagi saya untuk terus terkurung dan terperangkap dalam

zona kecemasan, kegelisahan, iri hati maupun perasaan-perasaan negatif lainnya.

Selain itu satu hal yang menjadi renungan bagi saya adalah, mungkin saat ini, Tuhan tengah

menguji iman saya. Saya yang sering memberikan nasihat kepada teman-teman saya, saya

yang sering mensharingkan berkat Tuhan yang saya alami dalam hidup saya, saya yang

selalu berusaha tampak baik dan berusaha menjalankan ajaran Tuhan...sebenarnya, sekuat

apakah iman saya? Setegar apakah saya ketika cobaan-cobaan yang lebih berat datang

menimpa kehidupan saya? Masih sanggupkah saya untuk tetap percaya bahwa Tuhan

adalah Tuhan yang Mahakuasa? Sanggupkah saya untuk tetap menjaga hati dan pikiran saya

agar tetap dekat padaNya?

Rupanya cobaan-cobaan ini telah menunjukkan kepada saya bahwa rupanya iman yang saya

miliki tidak cukup besar seperti apa yang saya bayangkan. Ya, saya rupanya terlalu tinggi

menakar keimanan saya. Saya seringkali menjadi seperti orang Farisi yang menuntut orang

lain untuk berbuat benar, sementara saya sendiri tidak sadar bahwa pikiran dan perasaan

saya kadang kala menuntun saya untuk tidak mengandalkan Tuhan.

Dalam salah satu ceramahnya, Joyce Meyer mengatakan, bahwa ketika persoalan datang,

hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari Tuhan. Seringkali ketika persoalan dan

60 | P a g e

cobaan datang, kita tidak serta merta mencari Tuhan. Kita berusaha seolah kita mampu

untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu sendiri, dengan kekuatan kita sendiri. Padahal

ada tangan yang telah terulur, menanti kita untuk menyambut ulurannya.

Pengalaman bebrapa minggu terakhir ini, sekalipun terasa kurang menyenangkan, ternyata

mampu memunculkan sebuah pemahaman iman yang lebih mendalam dalam kehidupan

saya. Sekalipun persoalan itu ada, saya bisa lebih tenang dalam menghadapinya. Selalu

berusaha menemukan hal positif dari setiap peristiwa yang saya alami, dan selalu berusaha

berprasangka positif terhadap rencana Tuhan, inilah yang mungkin bisa membantu saya

untuk menjalani masa-masa pencobaan dan membuat saya berkembang menjadi manusia

yang jauh lebih baik, demi kemuliaan Tuhan yang semakin besar. AMDG!

61 | P a g e

INGAT, TUHAN ITU ADA!

Bulan Mei tahun 2013 yang lalu, saya pulang ke Semarang dengan maksud awal untuk

menghadiri acara lamaran kakak saya. Rencananya saya hendak berangkat hari Rabu sore

sepulang dari kantor. Namun, begitu terkejutnya saya ketika hari Selasa malam saya

mendapat kabar bahwa acara tersebut terpaksa ditunda karena terjadi kecelakaan. Tentu

saja ini menjadi kabar yang mengejutkan bagi kami sekeluarga, terlebih keluarga calon

suami kakak saya yang harus menghadapi kenyataan bahwa calon adik ipar kakak saya

ternyata terluka cukup parah. Kondisinya kritis sehingga harus dirawat di ICU.

Saya akhirnya tetap berangkat ke Semarang, dan saya pun menjenguk calon adik ipar kakak

saya itu. Waktu itu kondisinya benar-benar menyedihkan. Alat bantu pernapasan

(ventilator), infus dan pendeteksi denyut dan pernapasan terpasang di tubuhnya. Wajah

sebelah kanannya masih terlihat agak bengkak. Selama dua hari itu dia masih belum sadar.

Bahkan sampai hari Minggu ketika saya kembali ke Tuban, dia masih belum sadar juga. Saat

itu tentu saja tidak banyak yang bisa kami lakukan. Ketika menerima kabar itu, satu-satunya

hal yang bisa saya lakukan adalah mendoakannya. Tentu saja ada rasa kecewa dan

bertanya-tanya, mengapa kecelakaan itu justru terjadi mendekati sebuah acara yang telah

direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Satu hal yang terngiang dalam benak saya adalah

suatu frase yang sangat bijaksana dan telah seringkali diungkapkan, Good? Bad? Who

knows?

Tidak ada yang tahu mengapa sesuatu terjadi demikian. Mungkin jawaban untuk pertanyaan

itu baru akan diketahui beberapa waktu setelah itu, atau bahkan jawaban itu tidak pernah

kita dapatkan. Namun, ketika menghadapi situasi yang menyakitkan dan kita terus bertanya-

tanya, mengapa Tuhan membiarkan semua itu terjadi, sebenarnya tidak banyak yang bisa

kita lakukan. Menyalahkan siapapun tidak akan mengubah keadaan. Satu-satunya hal yang

bisa dilakukan mungkin adalah berdoa dan mengikhlaskan semuanya. Kabar terakhir yang

saya terima, hari Senin malam akhirnya calon adik ipar kakak saya itu sudah sadar, dan kata-

kata pertama yang keluar dari mulutnya setelah sadar adalah “Ma, lapar,” Hahaha..sungguh

suatu hiburan tak terduga, di tengah perubahan suasana orang-orang di sekitarnya yang

sejak hari Selasa malam seminggu sebelumnya berharap-harap cemas menantikan

kesadarannya, ternyata begitu sadar, dia sudah bisa membuat semua orang tertawa dengan

kata-kata pertamanya.

Sangat ironis, karena dalam situasi yang sulit dan tak terduga seperti itu terkadang barulah

kita menyadari dan sungguh mengimani bahwa Tuhan itu ada. Beberapa bulan yang lalu,

ketika saya selesai membaca Happier than God karya Neale Donald Walsch, sekejap saya

sempat meragukan kuasa Tuhan. Apakah benar bahwa manusia dapat menentukan sendiri

takdirnya? Apakah manusia dapat mengatur alam semesta? Buku-buku motivasi spiritual

yang muncul dewasa ini kebanyakan menitikberatkan pada hukum tarik-menarik yang

62 | P a g e

seolah-olah menjadikan kita, manusia, sebagai makhluk yang paling superior. Namun, saya

pun teringat akan hal yang sungguh tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Penciptaan

pertama. Apapun yang terjadi setelah manusia ada, mungkin bisa diklaim sebagai buah

pemikiran manusia. Akan tetapi, apa yang terjadi sebelum manusia ada, tentu saja hal itu

tidak mungkin adalah buah pikiran manusia.

Penciptaan pertama, yang dikisahkan dalam berbagai agama dan kepercayaan, adalah suatu

bukti nyata keberadaan ‘Tuhan’. Masalah seperti apa wujud Tuhan itu, tergantung dari apa

yang kita imani masing-masing. Namun, terlepas dari semua itu, sungguh harus kita akui

bahwa ada kekuatan Mahadahsyat, kekuatan yang luar biasa dan tidak tercapai oleh akal

pikiran manusia. Ialah yang kita sebut ‘Tuhan’. Maka jika seseorang mengklaim bahwa ia

mampu melakukan segalanya dengan kekuatannya sendiri, bahwa ia mampu mengatur

semesta untuk mencapai apa yang diinginkannya...saya rasa ia telah mulai lupa akan

penciptaNya.

Sekalipun para ilmuwan ateis mengungkapkan berbagai teori mengenai penciptaan

semesta, jelas ada kekuatan yang sangat besar, yang mampu menjadikan semua itu seperti

sekarang adanya. Entah, apakah kita menyebutnya sebagai Tuhan, Allah, Sang Hyang Widhi,

Batara, atau apapun itu, yang jelas, ‘Tuhan’ itu ada. Apa yang saya ungkapkan bukan untuk

menentang hukum tarik-menarik (law of attraction), melainkan sekedar untuk

mengingatkan kita akan keberadaan Sang Pencipta, yang senantiasa menyertai kita dalam

perjalanan hidup kita.

63 | P a g e