Apa yang mempengaruhi keberuntungan dalam hidup seseorang? Sungguh menarik apa
yang saya dapatkan dari buku The Luck Factor karya Richard Wiseman. Buku tersebut berisi
penjelasan ilmiah tentang keberuntungan. Dari penelitian yang dilakukannya, Richard
Wiseman dan timnya menguak bahwa sebenarnya keberuntungan bukanlah semata-mata
sesuatu yang ada di luar jangkauan kita. Orang bisa meningkatkan keberuntungannya
dengan mengubah cara pandangnya, mengikuti hati nuraninya, memperbanyak frekuensi
untuk masuk dalam peluang, dan berbagai cara lainnya.
Selain tertarik dengan hasil penelitian tersebut, satu hal yang cukup mencuri perhatian saya
adalah ketika tim Richard Wiseman mewawancarai beberapa orang yang merasa dirinya
beruntung dan tidak beruntung. Pada saat kedua tipe orang tersebut dihadapkan pada
suatu kasus, mereka diminta untuk menilai apakah mereka termasuk beruntung atau tidak.
Kasus yang diberikan kurang lebih adalah sebagai berikut. Suatu hari ketika kita sedang pergi
ke bank, tiba-tiba terjadi perampokan di bank tersebut. Si perampok menembak dan kita
terkena tembakan di tangan. Nah, dari kasus tersebut, kedua tipe orang, baik yang merasa
beruntung maupun yang merasa tidak beruntung diminta untuk menganalisa apakah
kejadian tersebut termasuk keberuntungan atau tidak.
Sungguh menarik ketika ternyata jawaban yang diperoleh dari orang yang merasa dirinya
beruntung, berkata bahwa kejadian tersebut adalah sebuah keberuntungan. Mengapa?
Menurut mereka, bisa saja hal yang lebih buruk terjadi, termasuk tembakan si perampok
yang bisa saja tidak hanya mengenai lengan, tetapi juga bisa mengenai organ vital.
Sebaliknya, jawaban dari orang yang merasa dirinya tidak beruntung adalah bahwa kejadian
tersebut adalah sebuah ketidakberuntungan. Seharusnya mereka bisa saja tidak harus
mengalami kejadian itu jika mereka tidak pergi ke bank!
Bagi saya, yang tidak termasuk sebagai partisipan studi kasus tersebut, jawaban dari kedua
kelompok orang tadi sudah menggambarkan sesuatu yang jelas. Sesungguhnya
keberuntungan atau ketidakberuntungan adalah cara pandang kita terhadap sebuah
peristiwa. Orang yang merasa dirinya beruntung bisa melihat sisi baik dari suatu peristiwa
buruk yang terjadi dalam hidupnya, sementara orang yang merasa dirinya tidak beruntung
cenderung memandang hal yang terjadi dalam hidupnya dari sisi negatif.
Cara pandang kita terhadap sesuatu bisa jadi membentuk karakter kita. Oleh karena itu, dari
hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup kita, hendaknya kita belajar untuk menilai dan
mencari sisi positif dari hal-hal tersebut. Saya sering mengalami pengalaman dimana saya
pun kadang merasa saya tidak beruntung. Beberapa hari yang lalu, ketika saya kembali ke
Tuban dari Semarang, saya naik bus Patas jurusan Semarang-Surabaya pukul empat sore.
Beberapa hari terakhir memang sering terjadi kemacetan di Tuban sehingga banyak bus
64 | P a g e
yang biasanya melewati Tuban akhirnya melewati jalur lain menuju Surabaya . Nah, hari itu
saya naik bus menuju Tuban seorang diri. Saya pun tidak tahu apakah ada orang lain di
dalam bus tersebut yang juga menuju Tuban. Saya sempat cemas jika bus tersebut tidak
melewati Tuban, maka saya harus turun di daerah Babat lalu naik bus lagi menuju Tuban
yang kurang lebih empat puluh menit lamanya. Sementara itu saya tahu ketika saya sampai
di sana pasti hari sudah malam. Waktu itu saya hanya berdoa, semoga saya bisa sampai di
Tuban dengan selamat.
Rupanya benar, bus yang saya naiki tersebut tidak melewati kota Tuban. Akhirnya saya
pasrah saja ketika harus turun di daerah Babat. Waktu itu saya sempat merasa saya tidak
beruntung, tetapi ketika mengetahui bahwa bus lain juga tidak melewati Tuban, saya jadi
merasa tidak tidak beruntung lagi karena ternyata kondisi normalnya memang seperti itu.
Beruntung ternyata ada seorang penumpang lain yang juga hendak menuju Tuban. Akhirnya
kami menunggu sebentar kemudian menaiki bus menuju Tuban dan saya pun sampai di
Tuban dengan selamat .
Setelah peristiwa itu saya merasa cukup beruntung karena saya tidak seorang diri harus
menunggu bus dari Babat menuju Tuban. Saya juga cukup beruntung karena saya tidak
perlu menunggu terlalu lama mendapatkan bus menuju Tuban tersebut (ada salah seorang
teman saya yang bercerita bahwa ia harus menunggu sekitar satu jam untuk mendapatkan
bus tersebut).
Keesokan harinya, saya mendapat cerita dari atasan saya di kantor yang juga mengalami hal
serupa. Beliau naik bus jurusan Semarang-Surabaya namun juga diturunkan di daerah Babat.
Dari situ, beliau naik bus tapi ternyata bus tersebut tidak melewati Tuban. Akhirnya beliau
bersama beberapa orang penumpang lain menunggu di daerah Pakah dengan berharap-
harap ada kendaraan yang bisa mengantarkan beliau sampai ke Tuban. Pada saat itu,
penduduk sekitar yang memiliki mobil angkutan segera menawarkan jasa untuk membawa
para penumpang tersebut ke Tuban. Akhirnya, atasan saya itu pun sampai di Tuban dengan
selamat, meski harus mengalami perjalanan yang lebih melelahkan daripada yang saya
alami. Ketika saya mendengarnya, saya merasa lebih beruntung daripada beliau, tetapi
ternyata dalam kondisi seperti itu pun, beliau masih bisa berkata bahwa dirinya cukup
beruntung. Mengapa? Karena menurut beliau, bisa saja yang terjadi lebih buruk, seperti
tidak ada kendaraan yang membawanya ke Tuban. Untung saja penduduk sekitar ada yang
tanggap dan menawarkan jasa angkutan, sekalipun dengan membayar harga yang lebih
tinggi daripada harga normal.
Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa apa yang disebut beruntung itu sebenarnya
hanyalah cara pandang kita terhadap sesuatu. Apakah kita menganggap hal yang kita alami
sebagai keberuntungan atau ketidakberuntungan, semua adalah pilihan kita bagaimana kita
memandangnya. Sebuah objek yang sama jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda akan
menghasilkan interpretasi yang berbeda pula. Demikian juga pengalaman hidup yang dilihat
65 | P a g e
dari sisi positif akan memberikan penilaian yang berbeda jika kita melihatnya dari sisi
negatif.
Maka jika memikirkan sesuatu yang positif lebih membuat kita bahagia, marilah mencoba
membiasakan diri untuk melihat sisi positif dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup
kita. Ketika mengalami sebuah pengalaman yang mungkin kurang menyenangkan, marilah
mencoba untuk berpikir bahwa masih ada hal positif dari pengalaman tersebut. Tentu tidak
mudah mencari nilai positif dari sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan, tetapi
dengan mengesampingkan ego dan pendapat orang lain, menurut saya kita bisa belajar
membiasakan diri untuk menganggap diri kita sebagai orang yang beruntung.
“Orang yang beruntung ‘memandang jauh ke depan’ dan beranggapan hal positif akan
muncul dari kemalangan mereka.” ~ The Luck Factor
66 | P a g e
CARILAH DAHULU YANG TERUTAMA!
Malam semakin larut. Tidak terpikir tadinya saya akan menuliskan sesuatu pada malam ini.
Sebenarnya setelah menyiapkan bahan untuk memasak sarapan besok pagi, saya
bermaksud untuk segera tidur. Namun, ada sesuatu yang mendorong saya untuk
menyalakan laptop yang sudah cukup lama tidak saya gunakan ini...dan menuliskan sesuatu
yang terbersit dalam benak saya.
Ada sebuah kisah yang teringat selama beberapa hari ini dalam benak saya. Beruntung,
setelah mencari-cari kisah itu saya bisa menemukan versi lengkapnya, seperti dikutip dari
buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2 (Ajahn Brahm). Kisahnya adalah sebagai
berikut:
Ada kisah mengenai pelaut tua dan seorang professor. Ini terjadi di zaman ketika orang
orang masih bepergian dari satu negara ke negara lain menggunakan kapal laut, sebelum
era penerbangan murah seperti zaman sekarang. Profesor ini hendak pergi dari Sidney ke
San fransisco utk memberikan kuliah tamu.
Pada malam pertama di atas kapal, usai bertolak dari Sydney, Profesor barusan mendapat
makan malam luar biasa menyenangkan di aula perjamuan, lalu ia pergi ke dek untuk
menghirup udara segar laut. Ketika berjalan di dek, ia melihat seorang pelaut tua yg tengah
bersandar di pinggiran kapal, menatap ke samudra di bawahnya.
Ia memutuskan untuk bercakap cakap dgn pelaut ini, karena meski kelihatannya pekerjaan
sebagai pelaut ini sederhana, namun pria ini pasti telah mengarungi samudra selama waktu
yg sangat lama. Pasti ia telah mempelajari sesuatu yg berguna. Professor selalu ingin
meningkatkan limpahan pengetahuannya yang ia pikir sebagai makna hidupnya. Ia
menghampiri pelaut itu dan berkata,” Pak tua, sudah berapa lama Anda melaut?”
Pelaut menjawab,” Sejak masih bocah, sekitar umur tiga belas,” Luar biasa!” kata
Profesor,”Anda pasti tahu bahwa di lautan yg kita arungi ini ada begitu banyak kehidupan.
Sebagai pelaut yg telah banyak makan asam garam, Anda pasti pakar dalam ilmu biologi
kelautan, mengenai semua hewan yg menggantungkan hidupnya pada samudra di bawah
kita ini, berikut semua arus dan terumbu karangnya. Mari kita berbincang mengenai
oceanologi, ilmu kelautan.”
Pelaut bingung, ”Haa? Emang laut ada ilmunya?”
“Apa?!“ seru professor, ”bertahun tahun di laut Anda tidak pernah membaca buku atau
belajar mengenai isi samudra di bawah Anda?”
“Nggak lho” kata pelaut.”Anda sudah menyia nyiakan waktu Anda!” tukas professor seraya
melangkah pergi dgn rasa kesal pada pria tua ini yang telah menghabiskan hidupnya di
samudera tanpa pernah mempelajari mengenainya..
67 | P a g e
Besok malamnya, professor mendapat makan malam yg sangat lezat lagi sehingga hatinya
sangat baik. Jadi ketika ia berjalan di dek utk kedua kalinya, lagi lagi si pelaut tua sedang
berjaga di sana. Kali ini si pelaut sedang memandangi bintang bintang.
Kebetulan pula bahwa ini pun salah satu hobi professor : astronomi. Ia berpikir,”Ah ,
sudahlah. Pria tua malang ini mungkin tidak tahu banyak mengenai oceanologi, namun ia
pasti tahu mengenai astronomi.: di zaman sebelum ada GPS, begitulah cara kita
mengarungi lautan tanpa tersesat- dengan panduan bintang. Maka ia mendekati pelaut tua
itu,” saya minta maaf soal kemarin malam. Anda mungkin tidak banyak tahu mengenai
oceanologi, namun berani taruhan Anda pasti tahu mengenai astronomi, yg kebetulan hobi
saya juga. Coba lihat rasi bintang Beruang Besar disana!
Pelaut itu terkesiap,”Beruang Besar apaan?” Itu! Bintang itu… di langit utara sana!” tunjuk
professor,” Anda pasti tahu astronomi, itu kan yg memandu arah kapal kita!”Pelaut
bingung,”Saya tidak tahu Anda omong apa.Kapten yg tahu soal beginian, bukan
saya.”Apa?! lengking Profesor,”Bertahun tahun di laut, melihat langit di atas, Anda tidak
pernah peduli belajar astronomi? Anda menyia nyiakan hidup saja !” Profesor pun
melangkah dengan muak.
Pada malam ketiga, koki membuat makan malam yg luar biasa lezat, sehingga membuat
suasana hati professor itu begitu nyaman. Ketika ia pergi ke dek, malam itu begitu indah,
udara laut sepoi, semerbak, segar, sampai professor membatin,” Ya, sudahlah, aku akan
memberinya kesempatan lagi.” Rupanya ia adalah professor di bidang meteorologi.
Ia menyadari bahwa para pelaut mungkin tidak tahu soal ilmu kelautan atau ilmu
perbintangan, namun mereka pasti tahu soal cuaca. Sebab cuaca meliputi pola dan tenaga
angin yang mendorong kapal, serta mengenai badai yang bisa menenggelamkan kapal, jadi
cuaca pasti mutlak dipahami pelaut tua ini.
Ia menghampirinya dan berkata,” Maafkan saya. Sungguh saya minta maaf. Perangai saya
jelek sekalu dua malam terakhir ini. Saya telah salah menilai Anda. Anda mungkin tak tahu
menahu soal oceanologi atau astronomi, tapi saya yakin Anda pasti tahu soal meteorology,
mengenai angin, cuaca yang bisa menghancurkan atau mendorong kapal ini ke tujuan.”
“meteor apa?! Kata pelaut.”Angin dan badai..” curiga professor.”saya tidak tahu apa apa.
Saya Cuma pelaut biasa.” Ujar pelaut dengan lugunya. Murkalah professor,”Apaaaa?! Tolol!
Dungu!Begoo! Bertahun tahun di laut! Betapa sia sianya! Kau sia siakan seluruh hidupmu!
Profesor pergi dan bersumpah tak akan pernah bicara dengan orang bodoh itu lagi.
Malam keempat di laut, ia tidak hadir ke aula perjamuan untuk makan malam karena
malam itu samudra mengamuk. Professor mabuk laut, menaruh apa pun dalam perutnya
hanya akan langsung keluar lagi, jadi ia istirahat saja dalam kabinnya.
Malam makin larut, badai makin parah. Ia sampai bisa merasakan kapal makin bergoyang.
Ia bisa merasakan gelombang laut menampar kapal dari jendela kabin. Sungguh cuaca
malam itu sangat buruk. Ketika badai mencapai puncaknya pada tengah malam. Ia
mendengar suara tabrakan, dentuman besar! Ia merasa takut. Setelah bunyi keras itu,
68 | P a g e
sesaat hanya ada keheningan, diikuti suara orang berlarian dan kegaduhan di luar pintu
kabinnya. Panik, ia membuka pintu dan coba tebak siapa yang sedang berlari di luar sana?
Si pelaut tua. Si pelaut tua itu berhenti sesaat, berpaling kearah professor dan berkata,”Pak
professor, selama bertahun tahun Anda hidup, pernahkah Anda belajar berenang?”” Emm…
tidak ada…” lirih professor.”Sia sia sekali hidup Anda ! Kapal ini akan tenggelam!” seru
pelaut.
Sebuah kisah yang sangat menarik, dan dengan membaca kisah ini saja mungkin kita sudah
tau apa pesan moral yang ingin disampaikan dalam cerita ini.
Ilustrasi lain yang menggambarkan makna mirip dengan kisah tadi adalah kisah tentang
seorang guru yang membawa sebuah toples kaca ke dalam kelas. Mula-mula, guru ini
memasukkan batu-batu berukuran cukup besar ke dalam toples itu sampai ke mulut toples.
Kemudian guru itu bertanya kepada murid-muridnya, “Apakah menurut kalian toples ini
sudah penuh?” Murid-muridnya yang melihat bahwa sudah tidak mungkin lagi memasukkan
batu ke dalam toples itu pun menjawab serentak, “Sudah!!” Kemudian guru itu mengambil
kerikil, lalu memasukkan kerikil itu ke dalam toples tadi. Karena masih ada ruang di antara
batu-batu yang berukuran lebih besar, maka kerikil itu pun masuk mengisi ruang-ruang
kosong di antara batu-batu itu. Kali ini guru itu kembali bertanya kepada murid-muridnya,
“Apakah sekarang toples ini sudah penuh?” Murid-muridnya yang melihat bahwa ruang-
ruang kosong di antara batu besar telah terisi kerikil pun menjawab, “Sudah!!” Akan tetapi,
kali ini sang guru mengambil pasir dan memasukkannya ke dalam toples itu. Pasir yang
berukuran jauh lebih kecil daripada batu dan kerikil, mengisi ruang di antara kerikil. Guru ini
bertanya lagi, “Bagaimana sekarang? Apakah sudah penuh?” Murid-muridnya mulai ragu
untuk menjawab. Sang guru tersenyum. Akhirnya guru tersebut mengambil air dan
memenuhi toples itu dengan air. Air pun mengisi setiap celah yang ada di dalam toples itu.
Kali ini toples itu benar-benar penuh.
Ada sebuah pelajaran berharga yang bisa didapat dari kedua kisah tadi.
Batu-batu besar dalam kisah kedua menggambarkan hal-hal dasar yang harus mengisi hidup
kita lebih dulu. Hal-hal dasar itu seperti apa? Dalam kisah pertama, hal-hal mendasar ini
digambarkan sebagai kemampuan berenang, dibandingkan dengan pengetahuan mengenai
oceanografi, meteorologi, maupun ilmu-ilmu kelautan lainnya. Kemampuan untuk berenang
menentukan keselamatan hidup profesor dan nelayan dalam kisah pertama. Profesor yang
tahu banyak tentang ilmu-ilmu pengetahuan rupanya tidak memiliki kemampuan untuk
berenang, yang justru sangat dibutuhkan untuk membantunya tetap bertahan hidup di
tengah badai yang menyebabkan kapal yang ditumpanginya akan tenggelam. Sementara itu,
sang nelayan yang tidak tahu banyak mengenai ilmu-ilmu pengetahuan, rupanya memiliki
kemampuan untuk berenang, yang justru ternyata sangat dibutuhkan baginya untuk
bertahan hidup.
69 | P a g e
Seringkali dalam hidup kita justru lebih mengutamakan mengejar hal-hal sekunder,
bukannya hal-hal primer yang sungguh-sungguh diperlukan untuk hidup kita. Hal-hal primer
ini tidak melulu menyangkut kebutuhan jasmani. Bahkan jika boleh jujur, kebutuhan paling
primer dalam hidup manusia adalah kebutuhan rohaninya. Manusia bisa menahan lapar,
haus, kehujanan, atau kepanasan. Namun, betapa sulitnya ketika manusia harus menahan
rasa sakit hati, marah, kecewa, sedih, dikhianati, dan berbagai perasaan negatif lainnya.
Maka sesungguhnya, kebutuhan terutama manusia adalah kemampuan untuk menjaga
hatinya.
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan
ditambahkan kepadamu. (Mat 6:33)
Tuhan Yesus sendiri telah mengingatkan kita untuk berfokus pada kebutuhan rohani kita,
yaitu mencari kerajaan Allah dan kebenarannya. Jujur saja saya masih belum memliki cukup
ilmu untuk menjelaskan seperti apa kerajaan Allah dan kebenarannya itu, tetapi dari apa
yang saya tahu, kerajaan Allah pastilah merupakan suatu kondisi dimana ada kedamaian
hati dan pikiran. Kerajaan Allah, tempat dimana Allah meraja, pastilah menggambarkan
suatu kondisi yang penuh dengan damai sukacita. Tentu saja damai sukacita ini akan
berbeda dengan sekedar rasa bahagia. Saya bisa merasa bahagia ketika ada seseorang yang
memberikan hadiah kepada saya, tetapi segera saja perasaan itu akan berlalu. Saya bisa
merasa bahagia ketika orang memuji saya, tetapi itu pun akan dengan cepat berlalu.
Namun, damai sukacita yang berasal dari Allah tidak akan pernah berlalu. Damai itu ada di
dalam hati kita, hanya saja kita lebih sering keliru mencarinya dan mengira kita akan
memperoleh kedamaian itu melalui hal-hal di luar diri kita.
Kita bisa mencari berbagai kesenangan duniawi yang mungkin akan membawa kebahagiaan
sesaat bagi kita, tetapi kita juga harus waspada dan mencermati, apakah sungguh apa yang
kita kejar dan kita cari itu bisa menjadi dasar bagi hidup kita, yang akan menjadi pegangan
kita ketika kita tengah berada dalam kesulitan hidup? Jangan sampai kita menjadi seperti
sang profesor dalam kisah pertama tadi, yang merasa sombong telah mengetahui berbagai
macam ilmu pengetahuan, tetapi ternyata ia justru tidak mempelajari sesuatu yang dasar,
sesuatu yang justu dibutuhkan untuk menyelamatkan hidupnya. Mempelajari banyak ilmu
pengetahuan tentu merupakan sesuatu hal yang positif, namun terlebih dulu kita harus
menilai apakah kita sudah memiliki dasar yang kuat sebagai pegangan hidup kita? Apakah
ilmu pengetahuan yang kita miliki mampu memberikan kekuatan bagi hidup kita, menjaga
kita untuk bisa hidup dengan baik di tengah berbagai kesulitan hidup? Atau justru ilmu-ilmu
pengetahuan itu malah menjauhkan kita dari kesadaran kita akan Sang Ilahi?
Pengalaman pribadi saya yang juga menjadi pengingat akan tema ini adalah perjalanan
hidup saya. Sejak sekolah, saya selalu memperoleh nilai baik dalam mata pelajaran di
sekolah. Bahkan hingga kuliah, bisa dibilang saya bisa mencapai prestasi akademik yang
amat memuaskan waktu itu. Namun, di balik semua ilmu pengetahuan yang saya pelajari,
saya tahu ada campur tangan Tuhan dalam hidup saya. Kini semakin lama, saya justru
70 | P a g e
cenderung lebih tertarik untuk menemukan makna kehadiran Tuhan dengan membaca
buku-buku spiritualitas. Salah satu titik perubahan pola pikir saya adalah ketika saya
membaca buku Awareness (Anthony de Mello). Buku inilah yang mula-mula membuka
pikiran saya bahwa kebahagiaan sejati tidak akan dapat kita peroleh dari luar diri kita.
Suasana batin kitalah yang menentukan kebahagiaan sejati itu. Kemudian dari buku-buku
Ajahn Brahm juga saya mulai belajar lebih banyak tentang kedamaian sejati ini. Terlepas dari
ajaran agama apapun, saya percaya bahwa setiap agama bertujuan supaya umatnya bisa
merasakan kedamaian dan ketenangan hati dan pikiran.
Saya pun merasa betapa berharganya pengetahuan ini: pengetahuan yang membebaskan,
pengetahuan yang sesungguhnya mendasar dan mungkin sebenarnya sudah sering
diungkapkan, hanya saya yang mungkin tidak menyadarinya dan tidak menaruh perhatian
lebih pada hal itu. Saya justru lebih berfokus pada mengejar ilmu pengetahuan modern
(tentu hal ini tidak buruk, hanya masalah prioritas saja). Kini, semakin lama yang saya
rasakan dalam kehidupan saya, memang sesunggunya pengetahuan yang paling berharga
dalam hidup adalah pengetahuan untuk menata hati dan menyadari sepenuhnya bahwa
hanya Tuhanlah yang mampu mengisi setiap kekosongan hati kita. Hanya sabda Tuhan yang
mampu membawa dan membantu kita untuk melewati setiap badai kehidupan. Ini jauh
lebih berharga daripada nilai tertinggi yang pernah saya peroleh dalam ujian sejak sekolah
hingga kuliah.
Seperti halnya sang guru dalam kisah kedua, yang mula-mula mengisi toplesnya dengan
batu-batu berukuran besar, hendaknya kita pun mula-mula mengisi hidup kita dengan
dasar-dasar iman yang membantu kita untuk memiliki dasar kehidupan yang baik. Baru
setelah kita memiliki dasar hidup yang baik itu, kita bisa mengisi hidup kita dengan hal-hal
lain, dengan ilmu pengetahuan, hobi maupun hal-hal lain yang akan memperkaya hidup kita.
Prioritas dalam mengejar sesuatu sudah selayaknya