Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

MENJADI PEWARTA YANG BENAR

Ada seorang motivator terkenal yang mengajarkan kepada orang-orang bagaimana untuk

menjadi kaya raya. Selama bertahun-tahun ia menjadi motivator bahkan beberapa buku

telah diterbitkannya dan buku-buku itu pun menjadi buku best seller. Namun tiba-tiba

terdengar kabar bahwa sang motivator terkenal itu bangkrut. Sungguh sesuatu yang ironis,

mengingat ia memotivasi banyak orang dan mengajarkan cara untuk menjadi kaya, tetapi

pada akhirnya ia sendiri malah bangkrut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, “Apakah semua

yang diajarkannya selama ini benar-benar bisa membuat seseorang kaya raya? Apa buktinya

ajarannya itu benar? Bukankah ia yang mengajarkan hal itu sendiri justru bangkrut?”

Ilustrasi di atas mengingatkan saya akan ajaran Kristiani. Yesus telah mengajarkan banyak

hal kepada kita, murid-muridNya, dan apakah Ia telah menjadi teladan yang baik dalam hal

penerapan ajaranNya? Jika kita membaca dan merenungkan apa yang tertulis dalam Alkitab,

tentu kita akan dengan yakin mengatakan “Ya!” Tentu saja dengan melihat kisah hidup-

wafat-dan kebangkitan Yesus kita akan mengakui bahwa Yesus Kristus telah dengan setia

dan konsisten melaksanakan apa yang telah diajarkanNya kepada murid-muridNya. Lalu

apakah sungguh ajaranNya itu akan membawa damai sejahtera? Sekali lagi, dengan yakin

kita akan berani mengatakan “Ya!” Apa buktinya? Lihatlah kehidupan para rasul yang

setelah ditinggalkan oleh Yesus—dengan menerapkan apa yang diajarkan Yesus—mengalam

hidup dalam damai sejahtera. Pencobaan banyak menghadang mereka, tetapi dengan setia

mereka tetap mengikuti dan mewartakan ajaran Kristus..hasilnya? Mereka mampu

bersukacita meski berada di tengah pencobaan. Bukankah ini bukti nyata bahwa damai

sejahtera ada dalam diri mereka?

Belajar dari kisah hidup Yesus sendiri maupun para muridNya, dengan hati yang terbuka kita

akan mampu mengakui bahwa ajaran Kristus sungguh-sungguh membawa damai sejahtera,

dan bahwa Ia yang mengajarkannya, sungguh-sungguh dapat menjadi teladan bagi siapapun

yang memutuskan untuk mengikuti ajaranNya. Pertanyaannya, apakah di zaman sekarang

ini kita sebagai murid Kristus masih bisa menghidupkan kembali pribadi Yesus di tengah

masyarakat, di manapun kita berada?

Beberapa kali saya menyaksikan berita dimana seorang kristiani terlibat berbagai kasus

kejahatan, mulai dari pembunuhan, korupsi, perselingkuhan, atau masalah-masalah

masyarakat lainnya. Tentu saja masalah-masalah tersebut bisa menimpa siapa saja, bukan

hanya orang kristiani. Namun yang menjadi keprihatinan adalah, ketika orang membuat

suatu kesimpulan yang general seperti:

Premis 1: Si A adalah seorang Kristiani.

Premis 2: Si A adalah tukang selingkuh.

87 | P a g e

Kesimpulan: Orang Kristiani adalah tukang selingkuh.

Lihat betapa berbahanya sebuah kesimpulan yang keliru bisa ditarik dari kesalahan seorang

kristiani. Di tengah kondisi kemajemukan bangsa, dimana umat Kristiani adalah kaum

minoritas, tidak salah jika mata orang-orang akan cenderung lebih memperhatikan kita.

Sesuatu yang mungkin wajar terjadi, menjadi istimewa jika sesuatu itu dilakukan oleh

seorang dari kaum minoritas. Sudah jumlahnya sedikit, orang-orangnya nggak benar lagi!

Begitu menyakitkan komentar seperti itu terucap dari seseorang yang mungkin belum

mengenal ajaran Kristus.

Dari kisah motivator terkenal tadi, ada sesuatu yang sungguh bisa kita terapkan dalam

konteks mewartakan kabar gembira Kristus. Orang-orang tidak akan peduli apa yang kita

katakan, apa yang kita teriakkan atau kita gembar-gemborkan, jika mereka belum melihat

sendiri bukti nyata dari apa yang kita wartakan. Artinya, jika kita mewartakan kasih, maka

sudah seharusnya kita sendiri hidup di dalam kasih. Percuma saja kita mewartakan ajaran

cinta kasih, masuk ke rumah demi rumah dan memperkenalkan Kristus serta ajarannya,

sementara kita sendiri hidup dalam kepahitan dengan orang lain, kita sering membicarakan

keburukan orang lain, kita bahkan sering berbuat jahat kepada orang lain. Apa yang kita

lakukan dan dilihat orang—jauh lebih penting daripada apa yang kita ucapkan dan didengar

orang lain.

Saya sendiri merasakan hal ini, ketika seseorang memberikan nasihat kepada saya, saya

akan melihat juga apakah orang itu telah menerapkan sendiri apa yang dinasihatkan kepada

saya. Jika ia benar-benar menerapkannya, maka saya pun akan percaya dengan nasihatnya

dan menghargai orang itu, tetapi sebaliknya, jika ternyata ia hanya pandai bicara, saya akan

menjadi tidak menghormatinya. Inilah yang dilakukan orang-orang Farisi pada zaman Yesus,

dan kita tentu ingat berapa kali Yesus menegur orang-orang Farisi maupun ahli-ahli Taurat,

yang mengajarkan hal-hal yang kudus dan menyuruh orang lain untuk hidup suci, sementara

mereka sendiri tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Ini sama saja dengan

perbuatan yang munafik, dan manusia di dunia ini sudah lelah dengan kemunafikan. Orang

butuh melihat sesuatu yang murni, sesuatu yang jujur, sesuatu yang konsisten—apa yang

diucapkan, itu pula yang diperbuat.

Maka ketika buku saya diterbitkan untuk pertama kalinya, saya sendiri merasa was-was.

Mengapa? Tentu saja karena dengan membaca buku saya itu, orang akan memiliki espektasi

terhadap perilaku saya. Ketika saya menuliskan renungan tentang kebenaran, kesabaran,

kebajikan, saya pun dituntut untuk berperilaku demikian. Jika perilaku saya tidak sesuai

dengan apa yang saya tuliskan, tentu pandangan orang terhadap saya akan berubah, dan

yang lebih gawat lagi, jika dikaitkan dengan iman kepercayaan saya, bisa-bisa dikatakan

bahwa orang Kristiani itu hanya pintar bicara tapi tidak bisa menerapkan ajaran

keyakinannya sendiri.

88 | P a g e

Kita tentu tidak mau hal itu terjadi. Kita tidak mau ajaran kasih yang indah, yang telah

diwariskan Yesus akan tercemar oleh perilaku-perilaku kita yang tidak mencerminkan

ajaranNya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentu saja dengan berusaha menerapkan

ajaran Kristus dalam hidup sehari-hari. Saling mengasihi, saling mengampuni, saling

mendoakan, hidup dalam kerukunan dan senantiasa murah hati dalam berbagi berkat

dengan sesama. Memang tidak mudah dan akan ada banyak tantangan, cobaan, dan

hambatan ketika kita berusaha untuk menerapkan ajaran Kristus dalam kehidupan sehari-

hari. Namun, mengutip kata-kata seorang pastor yang memimpin perayaan Ekaristi dalam

sebuah retret yang saya ikuti di Malang, “Orang kudus itu bukanlah orang yang tidak pernah

berbuat salah. Orang kudus adalah mereka yang meskipun jatuh, tetap berusaha bangkit

dan senantiasa berbuat yang benar,”

Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi ketika kita berusaha untuk secara konsisten

menerapkan ajaran Kristus dalam hidup sehari-hari, hal itu akan dipandang baik oleh orang-

orang di sekitar kita, dan demikian menjadi sebuah pewartaan yang nyata akan Kristus. Kita

tidak perlu memberikan kuliah atau ceramah yang panjang lebar tentang ajaran Kristiani

kepada orang yang belum mengenal Kristus. Cukuplah dengan berbuat yang benar,

bertindak sesuai dengan ajaranNya, maka cara hidup kita itu akan membuat orang tertarik

dan berkata, “Bagaimana ia bisa hidup benar seperti itu? Siapa yang diikutinya?” dan ketika

muncul pertanyaan itu, dengan identitas kita sebagai seorang kristiani, maka orang-orang

pun akan memaklumi bahwa dengan mengikuti Yesus, orang akan mampu hidup dalam

kasih dan mengalami damai sejahtera. Bukan damai karena kepenuhan kebutuhan duniawi,

melainkan damai karena Tuhan memenuhi hidup kita.

Cara evangelisasi yang paling efektif bukanlah dengan mendatangi tiap rumah dan

menceritakan tentang Yesus. Ceritakanlah Yesus melalui cara hidup kita sehari-hari. AMDG.

89 | P a g e