Bacaan: Yak 2:14—26
"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu
yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1)
Sebuah kisah menarik berikut dapat menjadi ilustrasi mengenai topik ‘iman tanpa
perbuatan’. Kisah ini diambil dari buku 111 Cerita&Perumpamaan bagi Para Pengkhotbah
dan Guru.
Pada suatu tahun tertentu sebuah desa ditimpa kekeringan yang luar biasa sehingga
kehidupan mereka terancam. Pastor mengatakan kepada umatnya, “Tidak ada suatu
apapun yang dapat menyelamatkan kita kecuali mendaraskan litani untuk minta hujan.
Pulanglah ke rumah Anda dan berpuasa dari saat matahari terbit sampai matahari
terbenam serta percayalah bahwa Allah akan menjawab doa-doa kita; kemudian datanglah
ke gereja pada hari Minggu untuk berdoa litani minta hujan.”
Orang-orang desa mendengarkan dia dan berpuasa selama minggu itu lalu pada hari
Minggu pagi mereka datang ke gereja. Tetapi segera sesudah pastor itu melihat umatnya, ia
begitu marah. Dia mengatakan, “Pulang! Saya tidak akan mendaraskan litani minta hujan.
Kamu semua tidak percaya!” tetapi mereka memprotes, katanya, “Tetapi Pastor, kami
sudah berpuasa dan percaya.” Pastor itu menyahut lagi, “Kamu percaya? Jika demikian, di
mana payung Anda?”
Iman, sesuatu yang seringkali kita klaim kita miliki; sesuatu yang sering kita sebut-sebut
dalam kehidupan sehari-hari; sesuatu yang terkadang kita anggap membedakan kita dari
orang lain yang tidak beriman. Namun sejatinya, apakah iman itu? Apakah iman hanyalah
suatu keyakinan bahwa Tuhan itu ada? Apakah iman hanya sebatas kepercayaan kita bahwa
Allah itu Mahabaik dan Maha Pengasih? Bahwa Allah itu Esa?
Surat Yakobus mengingatkan kita bahwa iman tidak terbatas pada pemikiran atau perasaan
pribadi kita. Iman haruslah terwujud dalam perbuatan nyata, bahkan dikatakan bahwa iman
tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Maka tidak mungkin kita berkata bahwa kita
beriman kepada Tuhan jika perbuatan kita sehari-hari tidak mencerminkan iman kita. Tidak
mungkin kita bisa meyakinkan orang bahwa kita beriman kepada Kristus jika kita selalu
bersikap egois, sulit mengampuni, bersikap tidak jujur, atau suka membicarakan keburukan
orang lain. Kita tahu bahwa ajaran Kristus adalah kasih, maka jika kita sungguh mau
menyatakan diri kita sebagai muridNya, seharusnya hidup kita pun menunjukkan bahwa kita
sungguh-sungguh mendalami ajaran kasih itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak tantangan yang muncul ketika kita berusaha
mengungkapkan iman kita dalam perbuatan. Bahkan bisa jadi tantangan atau hambatan itu
berasal dari orang-orang terdekat kita. Saya pernah mendengar sebuah kisah sharing
tentang seorang ibu yang menikah dan dikaruniai delapan orang anak. Namun, setelah
90 | P a g e
kelahiran anaknya yang kedelapan, suaminya meninggalkannya. Selama bertahun-tahun ibu
itu bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya. Selama itu pula ia sering
mendengar kabar bahwa suaminya, yang notabene adalah salah seorang pejabat daerah,
ternyata memiliki istri dan anak di daerah lain. Bertahun-tahun suaminya tidak pernah
memberi kabar. Namun, tiba-tiba suatu hari sang suami kembali dan ingin tinggal kembali
bersama dengan ibu itu dan anak-anaknya. Bayangkan ketika masih muda dan kuat, suami
ini pergi meninggalkan keluarganya dan menikmati kesenangannya sendiri, tetapi setelah
tua dan tidak bisa berbuat banyak, dia kembali dan ingin tinggal bersama keluarganya. Hati
sang ibu bimbang. Ia tahu bahwa Tuhan mengajarkan untuk mengampuni dan tetap
mengasihi, tetapi suara hatinya memberontak karena masih tersisa rasa marah dan kecewa
karena suaminya meninggalkannya dulu. Anak-anaknya bahkan tidak mau menerima sang
ayah kembali. Namun, ibu ini tetap berusaha untuk menerima suaminya. Meskipun
seringkali rasa kesal dan marah itu muncul, ibu ini berusaha untuk sabar dan terus berdoa
supaya Tuhan memberikan kekuatan agar ia dapat hidup dalam kasih terhadap suaminya
yang pernah meninggalkannya itu.
Dari kisah tersebut, tampak bahwa anak-anak ibu itu menjadi ‘penghalang’ sang ibu untuk
menyatakan imannya dalam perbuatan. Contoh lain mungkin pernah kita alami dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam kasus ekstrim, mungkin pernah kita alami seseorang
yang ‘membujuk’ kita untuk meinggalkan kegiatan-kegiatan rohani kita. mungkin mereka
berkata, “Ah, tidak usah ke gereja saja minggu ini. Toh minggu depan juga ke gereja lagi
kan?” atau “Sudahlah, kan tadi habis pergi jauh, kamu pasti capek. Tidak usah ke gereja dulu
lah, istirahat saja,” atau perkataan dan perbuatan lain sejenis. Kita harus ingat bahwa
godaan iblis tidak selalu datang dalam bentuk paksaan. Justru lebih sering godaan itu
muncul dalam bentuk ‘rayuan’. Iblis tahu, manusia lemah terhadap rayuan. Karena itu
banyak sekali rayuan-rayuan atau tawaran-tawaran duniawi yang sepertinya menarik
ditawarkan kepada kita. Dalam hal ini, kita tidak bisa berkompromi dan mengatakan, “Ah,
wajar lah kalau saya tertarik dengan hal-hal itu, saya kan manusia biasa...” Justru jika kita
berani berkata bahwa kita beriman kepada Yesus Kristus, seharusnya kita pun berani
mengatakan “Saya tidak akan terpengaruh oleh godaan-godaan itu karena saya adalah
murid Kristus.” Ya, kita tidak ditakdirkan untuk menjadi sama seperti ‘manusia biasa’, orang-
orang lain yang mungkin tidak mengimani Kristus. Justru kita dipanggil untuk menjadi
serupa denganNya, termasuk dalam hal imanNya kepada Bapa.
Menerapkan iman juga berarti berani melakukan apa yang benar di mata Tuhan sekalipun
itu tidak masuk akal di mata manusia. Memilih tidak naik jabatan daripada meninggalkan
iman, memilih untuk menderita daripada mengkhianati iman, memilih untuk mengampuni
dan merendahkan diri daripada membalas kejahatan dengan kejahatan...adalah contoh-
contoh perbuatan yang mungkin di mata orang lain adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Mungkin kita akan dicemooh, mungkin kita akan dianggap bodoh, lemah, atau bahkan
dijauhi oleh orang lain, tetapi dengan iman, kita percaya bahwa apa yang kita lakukan atau
kita korbankan tidak akan pernah sia-sia. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kerendahan hati
91 | P a g e
dengan rela wafat di kayu salib bersama dengan penjahat-penjahat. Dengan meneladan
sikap Yesus, menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, maka di situlah kita sungguh-
sungguh menerapkan iman dalam perbuatan kita. Iman kita tidak hanya di mulut, tidak
semata dalam pujian atau nyanyian, tidak semata dalam pikiran, tetapi sungguh nyata
dalam perbuatan kita.
Percayalah bahwa suatu saat orang-orang pun akan menyadari dan melihat buah-buah dari
iman kita itu. Kemuliaan Tuhan akan semakin nyata melalui kehidupan kita dan perbuatan-
perbuatan iman kita.
Saat ujian kehidupan datang, di situlah baru terlihat seperti apa kualitas iman kita. Saat
seseorang melukai dan menyakiti hati kita, apa respon kita? Membenci atau mengampuni?
Membalas atau memberkati??? Saat penderitaan datang, apakah kita tetap beriman dan
berseru kepada Yesus ataukah dengan mudahnya kita meninggalkan DIA?
“Iman tidak boleh setipis kulit, tetapi iman harus sekuat paku.”
92 | P a g e