Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

KEMARAHAN DAN KEKECEWAAN

Puji Tuhan, beberapa hari yang lalu, saya mengalami pengalaman ‘menarik’ ketika saya

tengah menghadapi apa yang disebut masa “PMS” (pre-menstruation syndrome). Ya, ini

istilah yang sudah tidak asing lagi untuk kaum hawa. Banyak orang mengatakan bahwa pada

masa-masa PMS ini seorang wanita akan mengalami mood yang tidak stabil, emosi yang

cepat berubah, mudah marah, mudah sedih, tetapi juga mudah gembira. Saya rasa itu juga

yang saya alami pada waktu itu. Jujur saja, menurut saya memang agak sulit mengontrol

emosi pada masa-masa itu, entah karena pengaruh produksi hormon atau apa, tetapi yang

jelas pada masa-masa itu saya merasa cobaan yang datang lebih berat daripada biasanya.

Justru pada saat seperti itulah biasanya ujian-ujian datang menempa kehidupan saya. Sering

saya merasa heran, mengapa Tuhan mengizinkan berbagai pencobaan datang pada saat-

saat tersulit dimana saya harus menjaga perasaan saya. Bahkan pada saat seperti itu, sangat

mudah bagi saya untuk marah dan melakukan hal yang pada akhirnya hanya akan saya

sesali. Saya pernah membagikan pengalaman saya ketika saya berusaha mengatasi marah,

dan kalau pada waktu itu saya bilang saya sering berusaha untuk ‘menunda’ marah, pada

masa-masa sulit ini rasanya tiga kali lipat lebih susah untuk menunda marah daripada pada

kondisi normal.

Pada waktu itu ternyata Tuhan mencoba menguji iman saya. Ada beberapa hal terjadi di luar

keinginan dan harapan saya. Saya merasa kecewa dan marah, tetapi itu tidak mengubah

keadaan yang telah terjadi. Saya tahu kemarahan saya tidak ada gunanya, tetapi ketika saya

merasa dikecewakan, saya pun merasa berhak untuk marah. Lebih parahnya lagi, saya

merasa orang yang telah membuat saya merasa kecewa itu layak untuk menerima

kemarahan saya! Sungguh luapan emosi negatif yang tidak bijak, tetapi itulah yang saya

alami. Namun, ternyata Tuhan memang begitu luar biasa. Perlahan namun pasti, Dia datang

menyentuh hati saya. Kemarahan saya yang meluap-luap perlahan mulai reda dan hal itu

terjadi melalui berkat-berkat ‘kecil’ yang saya rasakan selama masa kemarahan saya itu.

Tuhan sepertinya tidak ingin saya menyimpan marah terlalu lama. Dia menegur saya melalui

pikiran dan hati saya, mengingatkan saya bahwa saya pun telah melakukan sesuatu yang

salah. Apakah Tuhan melarang kita untuk marah? Tidak, tetapi jangan sampai kemarahan

kita itu berakibat dosa (dan umumnya manusia cenderung akan mudah berbuat dosa ketika

marah). Dalam Alkitab pun dikatakan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu

berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ef 4:26)

Akhirnya saya pun melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kemarahan saya. Saya

meminta maaf kepada orang yang telah membuat saya kecewa karena saya merasa telah

bersikap tidak menyenangkan kepadanya. Saya memang tidak tahu apakah dia pun

memaafkan saya dengan tulus, tetapi yang jelas tanggapannya pada waktu itu sangat positif.

Waktu itu saya merasa bahwa kasih Tuhan begitu luar biasa. Pengampunan terhadap orang

lain dan diri sendiri tidak hanya membuat kita setingkat lebih baik, tetapi juga

100 | P a g e

membebaskan diri kita dari belenggu kemarahan, dendam, dan kekecewaan. Kalau saja saya

mau lebih tekun mendekatiNya dan membiasakan diri untuk bersikap benar seperti yang Ia

ajarkan, tentu saya tidak akan terlarut dalam kemarahan yang terlalu lama yang bahkan

mungkin sampai menyakiti perasaan orang lain yang harus menerima kemarahan saya itu.

Dalam perjalanan hidup, tentu ada banyak sekali hal yang bisa membuat saya kecewa dan

marah. Mengenai hal itu, ada sebuah pepatah menarik yang pernah saya baca, “Expect

nothing and you’ll never be disappointed”. Cukup masuk akal bukan? Jika kita tidak memiliki

harapan, tentu kita tidak akan merasa kecewa. Akan tetapi, bisakah manusia hidup tanpa

harapan? Bahkan sejak kita lahir, kita telah menerima tanggung jawab akan harapan orang

tua dan keluarga kita. sepanjang hidup kita telah terbiasa dan terlatih untuk selalu memiliki

harapan akan sesuatu. Tidak mungkin seorang manusia bisa hidup tanpa ekspektasi apapun,

kecuali ia sungguh telah bermatiraga seperti pertapa-pertapa suci. Itu pun kita tidak tahu

apakah sungguh para pertapa itu tidak memiliki keinginan apapun.

Memiliki harapan dan keinginan tertentu adalah sesuatu yang sangat manusiawi, namun

bagaimana kita menyikapi harapan itu dan kepada siapa kita meletakkan harapan, itulah

yang menjadi dasar dari kondisi batin kita. Kita telah terbiasa untuk berharap pada manusia

dan membebankan ekspektasi-ekspektasi kita kepada orang lain, orang-orang di sekitar kita.

Oleh karena itu, ketika orang-orang itu ternyata tidak mampu memenuhi harapan kita, kita

menjadi kecewa dan bahkan mungkin marah. Inilah salah satu contoh akibat dari terlalu

berharap kepada manusia. Berharap yang paling benar seharusnya kita lakukan hanya

kepada Tuhan seorang. Mengapa? Jawabannya sudah jelas, karena pada akhirnya Tuhan

tidak akan pernah mengecewakan kita. Perlu dicatat dan diingat kata-kata ‘pada akhirnya’

atau in time (in God’s perfect time), pada waktunya Tuhan, karena mungkin sesaat kita

merasa kecewa dengan keputusan dan takdir yang digariskan Tuhan, tetapi ‘pada akhirnya’

kita akan menyadari bahwa semua hal yang dibiarkan Tuhan untuk terjadi dalam hidup kita

akan membawa kita kepada suatu tujuan yang baik, yang bahkan jauh lebih baik daripada

apa yang kita pikirkan.

Tidak mudah memang, membiasakan diri untuk meletakkan harapan hanya kepada Sang

Ilahi, terlebih karena kita lebih senang mendapat jawaban yang instan. Namun, jika kita

sungguh-sungguh ingin berupaya untuk mendekatkan diri padaNya dan hidup seturut

ajaranNya, maka satu hal penting yang harus kita pelajari dan mulai kita biasakan adalah

meletakkan harapan kita pada Tuhan. “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan

mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur

lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mzm 43:5)

Tuhan tidak akan mengecewakan kita, sekalipun awalnya mungkin segalanya tampak begitu

buruk dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapan. Kalau kita sungguh percaya

kepadaNya, maka nantikanlah semuanya dengan tenang dalam iman, karena kita benar-

benar yakin bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik. Berharap kepada Tuhan tidak akan

pernah membawa kita kepada kehancuran. Memang butuh ketekunan dan kesabaran dalam

101 | P a g e

penantian, karena mungkin tujuan dari rencana Tuhan itu tidak segera tampak, tetapi

percayalah bahwa penantian kita dalam Tuhan tidak akan pernah sia-sia.

102 | P a g e