Blessings Everytime by Yulia Murdianti - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

KASIH YANG TULUS

Menyambung tulisan saya mengenai ciri-ciri kasih yang sejati. Jujur saja, saya merasa malu

karena saya sendiri sering belum mampu menerapkan dengan baik kasiih yang sejati itu.

Ada sebuah kisah ilustrasi mengenai kasih yang sejati ini. Mungkin cerita ini sudah basi, tapi

dari cerita yang ‘basi’ ini kita bisa menyadari sesuatu, yang bahkan mungkin sering kita alami

sendiri.

Ada seorang siswi SMA yang sangat mengagumi sahabat baiknya. Memang sahabatnya itu

memiliki wajah ganteng dan baik hatinya. Siswi ini sangat senang berada dekat dengan

sahabatnya itu. Ketika sahabatnya sedih, ia akan berusaha menghiburnya. Apapun ia

lakukan untuk membuat sahabatnya itu bahagia. Suatu ketika, sahabatnya itu dekat dengan

siswi lain. Perasaan cemburu mulai menguasai hati siswi tadi. Ia merasa tidak rela jika

sahabatnya itu dekat dengan perempuan lain. Akhirnya ia menjadi kesal, marah, dan tidak

peduli lagi dengan sahabatnya itu. Ia merasa semua pemberiannya, kasih sayangnya selama

ini sia-sia karena akhirnya sahabatnya itu berpacaran dengan gadis lain.

Anda mungkin akan menghela napas setelah membaca cerita di atas. Seperti saya katakan

sebelumnya, ceria ini mungkin sudah ‘basi’ alias sudah amat sering kita dengar atau kita

ketahui. Banyak sekali sinetron yang menggunakan cerita di atas sebagai salah satu adegan

ceritanya. Namun, kita harus sadar bahwa cerita di atas tidak hanya terjadi di sinetron,

tetapi juga terjadi dalam kehidupan nyata.

Betapa seringnya saya merasa saya sudah memberikan kasih yang tulus kepada seseorang,

tetapi ketika akhirnya orang itu tidak melakukan sesuatu seperti yang saya harapkan, saya

pun menjadi kecewa. Sebagai sahabat, saya juga sering berpikir bahwa saya telah mengasihi

sahabat saya dengan tulus, tetapi ketika sahabat saya itu melakukan sesuatu yang tidak saya

sukai, saya pun menjadi marah dan kecewa. Sudah jelas, tanpa harus mencari ciri-ciri kasih

yang sejati, kita sudah bisa merasakan sendiri apakah kasih yang kita berikan itu sungguh

tulus atau tidak ketika motif kita diuji.

Jika kita menjadi marah, kecewa, dan tidak bisa menerima ketika ternyata kasih yang kita

berikan itu tidak memperoleh balasan yang seimbang, atau bahkan malah dibalas dengan

perbuatan jahat, maka kita perlu memeriksa kembali motif dari perbuatan kasih yang kita

lakukan. Seandainya kita tulus mengasihi, pastilah kita tidak akan peduli tanggapan seperti

apa yang akan diberikan oleh orang yang kita kasihi itu.

Seperti halnya ketika kita memberikan sumbangan kepada saudara-saudara kita yang

membutuhkan. Kita tidak peduli apakah mereka akan menerimanya dengan gembira, atau

mereka akan menerimanya sambil bersungut-sungut, atau apakah mereka akan

menganggapnya sebagai pemberian yang biasa saja. Yang penting adalah, kita memang

11 | P a g e

sungguh ingin memberi! Nah, bagaimana kita bisa membiasakan diri untuk tidak

menghiraukan tanggapan dari orang lain, tetapi cukuplah kita bersyukur karena kita dapat

mengasihi. Tidak semua orang dapat memberikan kasih kepada orang lain seperti yang kita

lakukan. Untuk itu, sudah selayaknya kita bersyukur.

Meskipun mungkin akan menyakitkan juga mengetahui kasih yang kita berikan ternyata

tidak dihiraukan, percayalah Tuhan telah mencatat setiap perbuatan kasih kita di dalam

hatinya. Bahkan dalam Alkitab pun tertulis, Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata

kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari

yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (Mat 25:45)

Jadi ketika kita melakukan sesuatu untuk orang lain, kita tidak saja melakukan perbuatan

baik kepada orang itu, tetapi kita juga melakukannya untuk Tuhan! Maka marilah bersyukur

karena kita mampu memberikan kasih kepada sesama, dan marilah mohon senantiasa

kekuatan dariNya untuk senantiasa mengingatkan kita akan makna kasih yang sejati. AMDG!

12 | P a g e

LEGALITAS JADI PENGHALANG KASIH?

Dalam salah satu bab buku karangan Joyce Meyer berjudul “Tujuh Hal yang Mencuri

Sukacita Anda” disebutkan bahwa salah satu hal yang dapat mencuri sukacita kita dan

menjadi penghalang bagi kasih Ilahi untuk berkarya dalam hidup kita adalah legalitas agama.

Tentu kita sudah beberapa kali mendengar bacaan dalam Injil dimana Yesus mengkritik para

ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sering menghakimi dengan dalil-dalil agama.

Memang, menaati hukum Taurat adalah sebuah kewajiban bagi orang Yahudi pada waktu

itu, tetapi Yesus mengingatkan bahwa hukum Taurat tidak boleh menjadi penghalang karya

Allah yang lebih tinggi. Salah satu kejadian dimana Yesus menyembuhkan seorang pengemis

buta pada hari Sabat menjadi sebuah persoalan bagi para ahli Taurat. Mereka menganggap

bahwa Yesus tidak menghormati hari Sabat dengan menyembuhkan orang pada hari itu.

Saudara-saudara terkasih, sungguh menyedihkan jika hukum dan aturan yang ada di sekitar

kita, sekalipun itu aturan agama, justru malah membatasi kasih Allah untuk bekerja dalam

hidup kita. Bayangkan jika ada aturan bahwa kita tidak boleh bekerja pada hari Minggu,

tiba-tiba seorang dokter mendapat panggilan darurat bahwa kondisi pasiennya kritis.

Apakah pada saat seperti itu bijaksana jika sang dokter berkata, “Maaf ini hari Minggu, saya

tidak boleh melakukan pekerjaan saya hari ini,” Yesus ingin menunjukkan bahwa ada yang

lebih besar daripada sekedar peraturan hukum Taurat. Kuasa Allah jauh lebih besar daripada

hari Sabat. Oleh karena itu, sekalipun pada hari Sabat, Yesus menyembuhkan seorang

pengemis buta yang bertemu dengannya di jalan. Saya percaya bahwa hal itu dilakukan

Yesus bukan untuk sekedar pamer kekuatanNya sebagai anak Allah, melainkan untuk

menunjukkan bahwa kuasa Allah melebihi apapun yang ada di dunia, bahkan hukum Taurat

sekalipun.

Pada kisah seorang wanita yang kedapatan berzinah dan hendak dirajam sesuai dengan

hukum Taurat, Yesus sekali lagi menunjukkan kasihNya. Yesus tidak pernah menyalahkan

hukum Taurat, bahkan Ia sendiri berfirman bahwa Ia datang bukan untuk melenyapkan

hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Ini berarti masalahnya tidak terdapat pada

hukum Taurat itu sendiri,tetapi pada aplikasinya dalam kehidupan. Yesus ingin menunjukkan

bahwa kasih Allah sungguh luar biasa dan melebihi hukum apapun di dunia.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu ada banyak peraturan yang harus kita taati.

Peraturan memang dibuat untuk menjadikan hidup lebih tertib dan tertata. Namun, kita pun

harus ingat agar jangan sampai kita terpenjara oleh aturan-aturan yang ada sehingga kita

membatasi kasih Allah yang ingin berkarya melalui perbuatan kita. Seperti halnya Yesus

yang berani menyatakan bahwa kasih dan kuasa Allah jauh lebih besar daripada hari Sabat

atau hukum Taurat, seharusnya kita pun sebagai murid-murid Kristus meneladan sikap ini.

Jangan sampai aturan-aturan yang ada di sekitar kita malah menjadi penghalang bagi kita

untuk berbuat baik. Misalnya ketika kita memiliki karyawan yang digaji tetap setiap

13 | P a g e

bulannya dan dibayarkan setiap tanggal 1 setiap bulan. Pada suatu hari karyawan itu datang

kepada kita dan memohon agar gajinya yang seharusnya baru akan dibayar pada tanggal

satu bulan depan bisa dibayarkan pada saat itu karena ia membutuhkan biaya untuk

pengobatan ibunya. Jika kita terlalu ngotot pada aturan dan mengabaikan kasih, kita akan

dengan tegas menolak permintaan itu. Namun, ketika kita tahu bahwa kasih Ilahi melebihi

apapun yang ada di dunia, kita mungkin akan lebih mampu untuk memutuskan menyetujui

permintaan karyawan kita karena kita tahu ia sangat membutuhkan gajinya itu. Satu hal

penting yang bisa saya pelajari dari perbuatan-perbuatan Yesus pada hari Sabat, adalah

bahwa dalam mewartakan kasih Allah kita tidak boleh terbatasi oleh apapun yang ada di

dunia. Suatu saat, kita harus berani memulai terobosan dimana hidup kita tidak boleh

terlalu kaku dengan menaati setiap aturan. Hidup haruslah fleksibel, seperti kata-kata Lao

Zu; pohon yang keras dan tampak kokoh justru akan tumbang ketika angin hebat melanda,

tetapi rumpun di padang yang begitu kecil dan lentur justru tidak tercabut dari tanah.

Sungguh perumpamaan yang indah, dimana kita diingatkan bahwa kekakuan tidak akan

membawa kita untuk bisa menikmati sukacita hidup dari Allah. Hidup kita sebagai anak Allah

haruslah fleksibel, dalam arti kita dapat berbuat kasih di mana pun, kapan pun, dan kepada

siapapun. Tidak ada satu pun hal di dunia ini yang dapat menghalangi kasih Allah untuk

tercurah dalam hidup kita.

Karena itu, sebisa mungkin, apabila kita memiliki kuasa untuk memutuskan sesuatu,

hendaknya kita ingat akan kasih. Kita hidup untuk Tuhan dan kita berbuat baik justru karena

kita TELAH menerima keselamatan dan pembebasan serta berkat dari Tuhan. karena itu,

hendaknya kasih Allah menjadi dasar dari setiap perbuatan kita.

AMDG!

14 | P a g e