Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Awas, racun teknologi!

Nokia C3 terjual 600 buah dalam waktu empat jam di Bali. Begitu sekilas judul yang saya baca di Kompas Sabtu lalu (5 Juni 2010). Sebenarnya harga Nokia C3 dibandrol Rp1.159.999 di toko ritel Nokia yang resmi mulai 6 Juni 2010. Namun pada hari pertama dipasarkan, Nokia langsung memberi diskon Rp260.000,00. Penawaran khusus ini berlaku satu hari saja mulai pukul 10.00 hingga 22.00. Penjualan khusus ini dilakukan di 9 kota, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Yogyakarta, Palembang, Makassar, Banjar-masin, Denpasar, dan Semarang.

Yang lebih ‘membanggakan’ lagi, Indonesia terpilih sebagai negara pertama perilisan Nokia C3. Pemilihan tersebut bukan tanpa alasan. Masyarakat Indonesia tercatat memiliki aktivitas tinggi dalam menggunakan jejaring sosial Facebook. Kita tentu menyambut baik kehadiran gadget yang memenuhi kebutuhan bersosialita. Nah, sampel hasil penjualan Nokia C3 tersebut membenarkan asumsi pabrikan alat telekomunikasi dari Finlandia tadi.

Sebenarnya, antusiasme warga Indonesia terhadap teknologi terlihat semakin jelas akhir-akhir ini. Tidak hanya pada kemajuan teknologi komunikasi. Coba saja Anda perhatikan acara pameran teknologi yang lain. Misalnya, pada pameran komputer yang semakin rutin digelar. Perhatikan belanjaan para pengunjungnya. Notebook keluaran terbaru jadi bawaan. Kamera digital dengan MP terbesar laris diserbu. I-pad yang lagi gencar ditawarkan pun sudah banyak yang menenteng.

Mengapa kita bersikap begitu antusias terhadap perkembangan teknologi itu? Apakah kita memang benar-benar memerlukannya? Jangan-jangan kita hanya menjadi korban iklan demi mengejar gengsi dan prestise.

Saya yakin akan lahir analisis yang cukup panjang untuk bisa memahami gaya hidup ini. Namun, saya tertarik dengan lontaran Pak Didit Chris Prawirokusumo (mistergrid). Dalam workshop desainer grafika yang diadakan di tempat kerja saya (8-10 Juni 2010), praktisi dan pemerhati desain grafis itu melontarkan adanya gejala keracunan teknologi. Menurut mistergrid –ini nickname Pak Didit- gejala keracunan teknologi sebagai berikut.

  1. Menyukai hal-hal instan.
  2. Takut dan sekaligus memuja teknologi.
  3. Menyukai teknologi sebagai mainan.
  4. Menganggap marah dan kekerasan sebagai hal yang wajar dan normal.
  5. Tidak dapat membedakan hal yang asli dan palsu.
  6. Kehidupan sosial tidak ada.
  7. Minimnya pesan edukatif dan religius.
  8. Menghilangnya peradaban kultural.
  9. Meredupnya esensi mata hati dan perasaan.
  10. Semaraknya friksi karena derivasi referensi kompetensi dengan persepsi.
  11. Sering terjadi kekeliruan dalam menggunakan piranti kerja karena kurang memahami cara kerjanya.
  12. Hilangnya kepercayaan diri si pengguna.

 

Tanda-tanda keracunan ini perlu menjadi perhatian kita. Tujuannya supaya kita tidak diperbudak oleh teknologi. Ingatlah, teknologi itu budak yang baik, tetapi dia itu majikan yang sangat buruk. Itu yang mistergrid tandaskan pada saya.