Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Otak-otak Televisi

Televisi memang bisa menjadi alternatif pendamping anak saat orang tua sibuk. Pilihan ini diambil sebagian orang tua agar anak tidak rewel selama ditinggal beraktivitas. Beragam acara untuk anak pun disiapkan oleh para pengelola televisi. Ada reality show untuk anak, ada serial kisah bagi anak. Ada pula film yang ditujukan pada anak.

Anak-anakpun menikmati kemerdekaan dari orang tuanya dengan gembira. Mereka bisa betah duduk berlama-lama di depan kotak gambar hidup. Selama menikmati acara yang menarik hatinya, anak tanpa sadar sedang menjalani sosialisasi. Mereka menyerap informasi yang ditunjukkan lewat perkataan dan sikap tokoh. Karena orang tua lengah, sosialisasi tersebut berjalan tidak terkendali. Tahu-tahu anak menunjukkan perilaku yang berbeda dengan yang diajarkan orang tua. Teman saya mempunyai pengalaman mengenai hal tersebut.

“Ibu ibu. Apa sih isi otakmu?”

Komentar yang dilontarkan si kecil membuat sang ibu terkejut. Dia merasa tidak pernah mengajarkan sikap demikian. Tiba-tiba anaknya berekspresi semacam itu ketika mengobrol dengan ibunya. Sebagai ibu yang peka, teman saya berusaha mencari penyebab sikap anaknya. Setelah ditelisik, ternyata si anak hanya menirukan ucapan dalam dialog salah satu film Spongebob.

Teman saya lalu melarang anaknya menonton Spongebob. Dia mengarahkan si kecil untuk menonton sinetron yang ada pemain anak-anaknya. Menurut pemikirannya, siaran sinetron anak dan sinetron dengan pemeran anak-anak itu tepat ditonton sang anak. Makanya dia tidak merasa cemas ketika anaknya menonton sinetron semacam itu.

Suatu hari anaknya menggerutu,”Dasar orang tidak punya otak!”

Deg. Teman saya terkaget-kaget mendengar kata-kata anaknya. Ternyata televisi telah menghadirkan ‘otak-otak’ di benak si anak. Akan tetapi otak-otak yang ini berbeda rasa dengan otak-otak bandeng yang biasa dia bawa setiap pulang dari Semarang. Otak-otak televisi ini justru menimbulkan rasa was-was di benak teman saya. Mau jadi apa anakku kalau sepanjang waktu diasuh oleh televisi?

Menurut saya, teman saya masih bisa disebut beruntung. Dia segera menangkap sinyal pengaruh buruk televisi pada diri si anak. Dari sini, teman saya menyadari pentingnya mendampingi anak saat menonton siaran televisi. Jangan biarkan anak menerima mentah-mentah pesan setiap tayangan yang ditontonnya. Ini disebabkan karena konsep acara televisi bagi anak pun belum sepenuhnya berpihak pada anak. Hak-hak anak untuk men-dapatkan pendidikan yang baik masih diabaikan oleh para produsen acara dan pengelola televisi. Akibatnya pesan-pesan moral tidak menghiasi materi tayangan bagi anak.

Melihat realitas ini, mendampingi anak saat menonton televisi menjadi wajib. Jangan langsung percaya dengan label ‘film anak’ ataupun ‘tayangan untuk anak’. Mari ting-katkan kepedulian terhadap kualitas moral anak-anak. Buah hati kita merupakan pembangun peradaban Indonesia di masa depan. Bukankah kita ingin membangun peradaban yang maju dengan tetap menghargai martabat kemanusiaan?