Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Awas, Terjebak Ritual Ramadhan!

Euforia ramadhan sudah mereda. Gegap gempita yang mengekspresikan kebahagiaan menyambut datangnya bulan penuh barokah ini tidak lagi terasa sekuat kemarin. Tidak percaya? Coba perhatikan kondisi masjid di lingkungan Anda. Seberapa jauh kemajuan yang terjadi?

Maksud saya, apakah kondisi shof jamaah sholat masih seperti pekan lalu? Waktu itu hampir setiap masjid dipenuhi orang yang ingin melaksanakan sholat tarawih berjamaah. Sampai-sampai takmir memasang tenda di halaman masjid agar jamaah yang membludak itu tidak kehujanan. Sekarang Anda bandingkan kondisinya. Ternyata sebagian masjid sudah mengalami kemajuan. Tenda-tenda sudah tidak lagi berisi jamaah. Bahkan di barisan belakang, tersedia cukup ruang bagi anak-anak usil untuk menggelar perang-perangan.

Jumlah jamaah sholat subuh pun menyusut. Tampaknya tinggal menghitung hari saja untuk melihat kembalinya kondisi masjid pada keadaan ‘normal’ -kondisi di luar bulan ramadhan-.

Menyusutnya barisan sholat juga berimbas pada berkurangnya peserta tadarus al qur’an. Di awal ramadhan, kita yang enggan membaca al Qur’an -karena ‘grothal-grathul’ mengejanya- masih bersedia menyimak pembacaannya oleh orang lain. Namun lama-lama menyimak pun terasa melelahkan. Daripada bengong, banyak yang memilih melipat sajadah lalu menonton aksi para bintang di televisi.

Fenomena semacam ini selalu terulang setiap Ramadhan. Dari hari ke hari, peserta pelatihan kamp Ramadhan tereliminasi. Mengapa bisa terjadi? 

Menurut saya, hal itu terjadi sebagai akibat terjebaknya jiwa kita pada ritual Ramadhan. Kita menjalankan ibadah karena banyak orang melakukannya. Kita berpuasa Ramadhan karena teman-teman berpuasa. Kita sholat tarawih berjamaah karena tetangga berbondong-bondong pergi tarawih di masjid. Kita ikut tadarus al qur’an karena malu dianggap bukan orang sholih.

Besarnya faktor eksternal yang memengaruhi motivasi ibadah kita membuat setiap tindakan kita tidak melibatkan hati. Nyaris tidak ada alasan transendental yang menghubungkan jiwa kita dengan Allah swt. Rubuh-rubuh gedhang. Begitu ungkapan orang Jawa untuk menggambarkan kondisi tersebut.

Lantas, siapa orang yang tidak terjebak pada ritual Ramadhan? Mereka ialah orang-orang yang mampu menangkap hikmah Ramadhan. Mereka inilah orang yang selalu  merindukan Ramadhan.

Kerinduan tersebut bukan tanpa alasan. Ramadhan itu bulan yang istimewa. Di penghujung Ramadhan Allah swt menjanjikan kemenangan yang besar bagi umat manusia. Wujudnya berupa pembebasan seorang hamba dari api neraka. Barang siapa yang bisa memanfaatkan peluang emas ramadhan untuk mendekat kepada Allah swt, niscaya Allah akan memberikan ampunan baginya dari segala dosa yang pernah dilakukan. Kondisi bersih kita bagaikan kondisi bayi yang baru lahir.

Nah, para perindu Ramadhan menyadari betapa besar dosa yang dia perbuat selama ini. Mumpung bertemu Ramadhan, mereka berusaha menggapai ampunan Allah swt melalui jalan takwa. Mereka berusaha mengerjakan segala yang diperintahkan Allah swt, dan menjauhi segala yang dilarangNya. Motivasi yang mereka miliki menguatkan diri untuk tekun memanfaatkan setiap hembusan nafas dengan ibadah.

Bagaimana halnya dengan diri kita? Apakah kita berharap dijauhkan dari api neraka oleh Allah swt? Jika iya, kita perlu mengubah pola pikir kita tentang Ramadhan. Mari pahami Ramadhan sebagai peluang emas untuk mendapatkan ridho Allah swt. Ingatlah, kita tidak tahu apakah masih akan diberi kesempatan bertemu  Ramadhan mendatang. Siapa tahu ini Ramadhan terakhir yang kita miliki. Oleh karena itu, syukurilah kesempatan emas ini dengan meningkatkan kualitas ketakwaan kita. Caranya, dengan selalu melibatkan hati dalam setiap ibadah dan muamalah yang kita lakukan. Luruskan niat setiap akan melakukan kebajikan. Niscaya setiap langkah kita menjadi langkah untuk mendekat kepada Allah swt. Waspadalah! Jangan biarkan jiwa kita terjebak pada perangkap ritual Ramadhan.