phoenix biru: masa SMA
Bersepeda tetap menjadi pilihan terbaik bagi saya saat meneruskan pendidikan di SMAN 1 Purworejo. Lagi-lagi karena alasan yang sama. Posisi rumah saya di Paduroso membuat saya harus dua kali naik angkot untuk tiba di sekolah. Demikian pula saat pulang. Karena jarak tempuh yang lebih jauh, waktu yang diperlukan pun menjadi lebih lama. Otomatis berjalan kaki tidak lagi merupakan alternatif cara yang bisa dipakai.
Rute bersepeda yang paling singkat ialah menembus kampung kalikepuh-doplang-batas kota. Rute ini menjadi pilihan terbaik bagi anak-anak sekitar Mranti, Lugosobo, hingga Seren dan Mlaran. Tidak hanya pelajar SMAN 1 Purworejo yang melalui jalur ini. Banyak siswa daerah Gebang yang belajar di beberapa sekolah di sepanjang jalan tentara pelajar yang memilih lewat sini. Selain dekat, jalannya relatif aman dan sepi. kami melalui daerah perkampungan, sehingga jarang berpapasan dengan mobil atau kendaraan besar lain. Satu-satunya kendaraan besar yang kadang saya temui hanyalah loko jengki dengan satu gerbong yang melaju antara stasiun Purworejo-stasiun Kutoarjo. Itupun hanya terjadi di pagi dan sore hari saja.
Sepeda jengki biru masih setia menemani saya. Sepeda jengki seolah menjadi sepeda favorit bagi siswa sekolah. Beberapa teman mengendarai sepeda onta. Ukurannya lebih besar daripada sepeda jengki. Palang hori-zontalnya membuat sepeda berwarna coklat besi itu kelihatan gagah. Seingat saya, sepeda onta yang dipakai beberapa teman saya dulu tidak jelas warna catnya. Mungkin sudah tidak lagi bercat mengingat wilayah edarnya dari satu sawah ke sawah lain. Namun, ternyata sepeda khas petani itu juga pantas dinaiki anak berseragam putih-abu-abu. Bahkan, teman-teman saya tampak bangga dengan tunggangannya.
Sewaktu SMA jenis sepeda gunung (mountain bike/mtb) tengah naik daun. Merk yang pertama dikenal dari jenis sepeda itu federal. Nama itu kemudian digunakan untuk menyebut semua merk sepeda mtb. Ukuran kerangka sepedanya lebih besar daripada sepeda jengki. Timbul kesan gemuk ketika melihat sepeda mtb.
Namun daya tarik utamanya di mata saya terletak pada gigi-gigi roda yang bertumpuk di depan dan belakang. Dengan gir model ini, si pengendara dapat mengatur kecepatan sepedanya sesuai kebutuhan. Saat berangkat ke sekolah, tanjakan paling berat dirasakan di kampung Kalikepuh. Mereka yang mengendarai sepeda federal bisa mengatur gir pada posisi besar sehingga genjotan terasa ringan. Sesampai di tempat datar, gir mereka pindah ke posisi kecil. Laju sepeda pun bertambah kencang. Fleksibel sekali.
Ini berbeda dengan sepeda onta dan sepeda jengki yang saya naiki. Sayang sepeda mtb harganya cukup mahal. Namun akhirnya saya pun bisa merasakan sensasi sepeda federal ketika adik saya dibelikan sepeda seperti itu.
Selain tanjakan Kalikepuh, tanjakan batas kota juga cukup curam. Dari jarak 50 meter, kami harus sudah mengambil ancang-ancang. Rem depan harus dimanfaatkan agar bisa berhenti tepat di titik tertinggi. Kami mesti berhenti sejenak diantara sepeda-sepeda yang sudah berjajar di situ. Setelah arus lalu lintas Purworejo-Kutoarjo sepi, barulah sepeda kami kayuh menyeberangi jalan.
Walaupun banyak siswa yang melintasi jalan tersebut, tapi kami hanya bersepeda bersama teman-teman satu sekolah saja. Muncul pengelompokan berdasarkan sekolah. Ada kelompok SMAN 1, ada kelompok STMN 1, atau kelompok STM YPP.
Setiap kelompok bisa asyik bercerita sepanjang jalan. Akan tetapi masing-masing penyepeda merasa enggan untuk bergabung dengan rombongan penyepeda dari sekolah lain. Meski saya bersepeda sendirian di belakang rom-bongan sekolah lain yang tengah asyik bercerita, saya tidak akan ikut bergabung. Saya tidak tahu apakah ini ekspresi kesombongan atau justru keminderan. Yang jelas tanpa sadar kami telah belajar mengkotak-kotakkan diri: siapa yang termasuk ingroup dan siapa yang outgroup.
Setelah ujian akhir SMA, saya dan beberapa teman A4 bersepeda santai. Tempat yang dituju curug Sumongari. Widiharto, M. Jauhari, Bayu Irawan, Nuri Fananto, Handi Tri Ujiono, dan Teguh Purnomo. Itu nama anggota rombongan kami. Petualangan bersepeda ini sangat mengesankan bagi saya. Kami mesti menyisir jalan di tepi sungai. Air mengalir di sela bebatuan yang besar. Setelah melewati jalanan terjal yang menanjak akhirnya kami sampai di curug tadi. Puas menikmati suasana dan berfoto-foto, kami pulang. di tengah jalan mendung yang menggantung sejak pagi berubah menjadi titik-titik hujan. Rasa lelah pun berkurang.
Sebenarnya kami juga berencana bersepeda ke pantai. Sayangnya, rencana itu gagal. Kami keburu berkonsentrasi menghadapi UMPTN. Walhasil, bersepeda ke curug Sumongari menjadi acara cycling pertama dan terakhir kami.