Dongeng Sebelum Tidur by tammi prastowo - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

 

Federal biru: nyungsep

Saat saya aktif di Lembaga Kegiatan Islam FISIP UNS, kajian pekanan rutin diselenggarakan. Kajian itu kami sebut kantin mipa. Penyebutan itu bukan karena kajian dilaksanakan di kantin Fakultas MIPA. Akan tetapi kantin mipa merupakan kependekan dari kajian rutin kamis pagi. Tempatnya di ruang seminar FISIP. Nah, kami sengaja membuat akronim tersebut supaya menarik minat mahasiswa untuk datang. “Yuk, ke kantin mipa!” Yang belum kenal pasti membayangkan akan diajak menikmati hidangan pemuas lapar dan dahaga. Padahal yang kami sajikan jauh lebih nikmat daripada itu: hidangan surga. Hehehe.

Kantin mipa dilaksanakan antara pukul 06.00 hingga 07.00. Saat sepagi itu biasanya kampus masih sepi. Baru petugas cleaning service yang bekerja. Pemberi materinya para ustadz sekitar Solo. Apabila berhalangan hadir, materi disampaikan oleh aktivis senior LDK lainnya.

Kamis pukul 05.45. Saya mesti segera sampai di kampus. Untuk mengejar waktu, saya  be-rangkat naik sepeda. Sengaja saya memilih lewat boulevard daripada lewat STSI. Saya menghindari tanjakan curam di samping STSI. Seandainya saya lewat STSI, di awal perjalanan memang terasa ringan. Kebetulan jalan di depan kos saya menurun tajam. Setelah jalan mendatar sekitar 50 meter, sebuah tanjakan terjal menyambut. Mungkin sudutnya sekitar 30 derajat.

Jika membawa sepeda, saya harus menuntunnya. Coba bayangkan: saya menuntun sepeda mendaki tanjakan bersudut 30 derajat sepanjang 20 meter dengan perut kosong. Dijamin mengkis-mengkis, deh.

Nah, pertimbangan tersebut mendorong saya memilih bersepeda lewat depan kampus. Walaupun mesti lewat tanjakan kopma dan pojok FH, tapi itu tidak seberat tanjakan STSI.

Dalam kondisi kepepet, saya memacu sepeda sekencang mungkin. Sekarpace sampai gerbang UNS jalanan datar. Dari sini saya bisa melihat boulevard yang menurun dan sedikit berbelok ke kiri di depan wisma tamu.

Jalanan masih sepi. Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang menyapu daun-daun rontok di pinggiran boulevard. Saya pikir inilah kesempatan saya untuk mengejar waktu. Tanpa mengurangi kecepatan, saya segera melintas di situ.

Benar saja. Jalanan yang menurun menambah laju federal biru. Saat itu muncul pikiran di benak saya untuk rehat, mengendurkan otot kaki yang tegang selama berpacu tadi. Yakin sepeda tetap melaju kencang, saya pun berhenti mengayuh. Menikmati udara di pagi hari. Hmm, segarnya ….

Saya lalu kepikiran untuk menegakkan punggung sejenak. Saya lepas kedua tangan dari setang sepeda. Cuma beberapa detik. Tahu-tahu sepeda melaju ke kiri, mengarah ke taman di pinggir trotoar.

Dalam kondisi tersebut saya sempat berpikir. Seandainya setang federal saya banting ke kanan, saya pasti jatuh karena sepeda tengah melaju kencang. Seandainya setang sepeda tidak dibelokkan, saya pasti menabrak taman. Tapi sakitnya tidak separah kalau jatuh di jalanan. Makanya pilihan terakhir itu yang saya ambil.

Dengan sepenuh hati saya pegang setang, lalu mendarat dengan sukses di taman. Grubyaag….!

Federal biru menabrak pohon teh-tehan. Baju saya kotor terkena embun dan debu yang menempel di dedaunan. Tanah basah melumuri telapak tangan saya. Herannya kondisi saya tidak mengusik konsentrasi seorang petugas yang tengah menyapu di dekat situ.

Sambil meringis, saya bangkit dari tempat kejadian perkara. Dengan kondisi semacam itu, saya tetap berangkat ke kantin mipa dan membuka kajian. Beberapa teman yang melihat kondisi compang-camping saya, hanya ter-senyum setelah mendengar kronologis kejadian. Menguaplah kegantengan saya hasil mandi pagi itu.