Sang pengidola ebiet
Ketika mendengarkan alunan syair lagu Ebiet G. Ade, jantung saya tercekat. Ada ingatan yang langsung tertuju kepada bapak. Ya, beliau memang pengidola Ebiet.
Semua ingatan saya tentang bapak tidak berhenti sebatas masa kecil dulu. Saya teringat kenangan yang pernah diukirkan bapak dalam jiwa saya. Beliaulah yang telah mengajari saya setapak demi setapak memberi makna pada kehidupan kami. Beliaulah yang telah menguatkan saya ketika merasa rapuh untuk berdiri tatkala badai menerjang. Bapak juga yang telah menahankan perih hati saat menerima protes yang pernah saya lontarkan.
Seolah saya masih ingat rona wajah putus asa bapak ketika saya pulang dan memohon uang sekolah. Namun sayangnya bapak waktu itu tidak memiliki sisa uang karena sudah habis untuk menutup semua kebutuhan keluarga. Perasaan saya yang peka sangat ingin meng-hindar dari suasana semacam itu setiap bulannya. Dan saya hanya bisa menerima dengan rela keterangan yang bapak berikan. Di dasar hati sayapun menangis seperti tangisan hati bapak yang terpaksa melihat saya kecewa.
Saya masih ingat ketika hari pelepasan siswa kelas tiga SMAN 1 Purworejo. Bapak kecewa karena tidak bisa mendampingi saya naik panggung menerima penghargaan sebagai siswa berprestasi. Di rumah bapak sempat memeluk saya, dengan wajah haru. Sambil berbisik, bapak bilang, “Moga-moga bapak bisa mendampingimu saat wisuda sarjana besok.” Saya hanya bisa mengangguk.
Sayangnya ketika wisuda sarjanapun bapak tidak bisa hadir. Dengan sedikit guyonan, bapak bilang,”Moga-moga bapak bisa menghadiri wisuda pasca sarjanamu, Tam.”
Ah, terlalu banyak kenangan yang terukir tentang bapak. Semua kenangan itu mengalir menjadi rasa rindu yang begitu kuat menyedot hati.