Luminesca by Asr - HTML preview

PLEASE NOTE: This is an HTML preview only and some elements such as links or page numbers may be incorrect.
Download the book in PDF, ePub, Kindle for a complete version.

X – Bertemu Musuh

 

Hari itu Eric, Feorynch, Sheraga dan Dionde mulai menyusuri Sungai Valashka—sungai terbesar di Avratika— yang menuntun ke lembah tempat sang Naga Logam tinggal. Menurut apa yang tertera di peta, mereka seharusnya bisa tiba di Lembah Valatia dalam kurang dari empat jam.

“Kalian makanlah sepuasnya di tempat ini,” Sheraga memberitahu. ”Kita takkan menyantap apa-apa lagi mulai detik ini. Terus, jika kalian memiliki senjata atau benda- benda lain yang sekiranya tidak terlalu membantu, sembunyikan saja di sekitar sini. Aku khawatir Naga Logam bisa membaca benda-benda mati.”

Berikutnya, mereka terus lurus mengikuti aliran sungai. Nyaris tidak ada yang bicara selama itu, Sheraga dan Dionde sebelumnya telah mewanti-wanti agar senantiasa tenang. Supaya tidak memancing keluar iblis, dan bisa terhindar dari pertarungan yang menguras tenaga.

Sejauh mata memandang, hanya ada pohon-pohon jarum raksasa yang tumbuh di pinggiran sungai. Juga bukit- bukit suram di kanan dan kiri. Kian jauh melangkah, semakin banyak kabut menggantung di udara. Jarak pandang menjadi sangat terbatas, dan lentera api tidak terlalu membantu. Kali ini Feorynch harus memandu yang lain dengan tongkat sihirnya.

“Sebentar lagi kita memasuki Lembah Valatia, bersiap-siaplah.” Dionde berkata dengan suara tertekan. Tangannya menggenggam erat jemari Sheraga.

“Berpencar! Aku bersama Eric, dan kamu,” Sheraga melayangkan tatapannya pada Feorynch. “Aku tahu kamu penyihir yang berbakat, maka jagalah Dionde dengan baik.”

Eric tercengang mendengarnya, bulu kuduknya meremang. Terasa hampir mustahil dan janggal Sheraga berkata demikian.

“Ssh, tentu saja.” jawab Feorynch ketus.

Mereka semua saling tatap. Eric menduga barangkali, sama seperti dirinya, semua orang meragukan dapat keluar hidup-hidup setelah masuk ke dalam Lembah Valatia. Seluruh rangkaian peristiwa ini terasa bagai mimpi buruk, yang jauh lebih menakutkan dibanding membobol sebuah istana kerajaan atau merampok artefak paling berbahaya.

Tak lama kemudian, Dionde menangis tersedu. Sheraga mencium wanita itu untuk membuatnya tenang. Feorynch bahkan membekap kedua matanya, tak sanggup menyaksikan. Tanpa sadar, Eric juga menitikkan air mata.

“Ssh, semoga saja kita dapat bertemu kembali,” ucap Feorynch dengan suara bergetar. “Ya, ya, dan semoga kita menemukan Elisca.”

Seusainya, mereka saling berpegangan tangan. Dan mengucapkan janji masing-masing;

Sheraga yang memulai, “Aku berjanji, sekuat tenaga aku akan bertahan dan mencari Elisca!”

“Aku juga,” sahut Dionde parau.

“Aku akan membebaskan Elisca!” susul Eric.

“Ssh, aku juga,” pungkas Feorynch. “Ya, ya, karena Elisca adik teman terbaikku!”

“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai!” Sheraga lekas menggamit tangan Eric. Mereka pun terpisah, dengan rasa kehilangan yang mendalam.

*

“Lewat sini!” perintah Sheraga dengan suara tertahan.

Eric mengikuti pria itu perlahan-lahan. Kabut di Lembah Valatia tebal sekali, sampai-sampai dia harus terus menyamai kecepatan gerakan Sheraga. Sayangnya, pria itu seolah tidak niat—malah kelihatannya tak ingin—menunggu Eric. Larinya secepat kijang, dan dengan mudah berpindah- pindah di antara bebatuan.

Berbeda dari sebelumnya, lembah ini dipenuhi batu- batuan besar. Tanah di bawah kaki Eric pun tersusun dari kerikil dan lumpur. Terhitung sudah tiga kali dia terperosok, dan Sheraga sama sekali belum membantunya.

“Eric, lihat ini,” Sheraga menggerakkan tangannya, menyuruh Eric berjalan lebih cepat. “Aku menemukan sesuatu.”

“Apa itu?”

Sheraga menunjuk sebentuk ukiran asing yang berpendar hijau di bagian bawah sebongkah batu. Eric takkan dapat menangkap ukiran tersebut andai pria itu tidak mengarahkan jemarinya.

Eric mengangkat bahu. “Aku tidak mengerti.”

“Ini segel dalam bahasa Luminesca kuno,” jawab Sheraga. “Aku tidak begitu paham tatanan bahasanya. Tapi, jelas sekali segel ini belum lama dibuka. Dan... hei! Salah satu aksaranya bertuliskan nama belakangmu, Chambrelynn. Terus orang yang membuat segel ini bernama Eclausus Chambrelynn. Kamu ingat sesuatu?”

“Aku tak mengenal nama itu,” kata Eric. “Bisa jadi itu keluarga Chambrelynn yang lain.”

Sheraga tertawa pendek. “Yah, mungkin saja.”

Setelah melangkah penuh perjuangan selama beberapa saat, akhirnya mereka mendapati pemandangan baru. Kabut yang tadinya memenuhi sekeliling seolah-olah mendadak lenyap.

Jantung Eric memompa semakin cepat. Mata hijaunya membeliak selebar-lebarnya. Keringatnya bercucuran walau suhu udara begitu rendah. Sekarang, dengan mata kepalanya sendiri Eric dapat melihat sang Naga Logam. Persis di tengah-tengah area lembah yang tidak berkabut, makhluk itu tengah tertidur—terlihat amat tidak berbahaya.

Tapi itu bukan hal terpenting bagi Eric. Segera, pandangannya bergulir ke arah lain. Di belakang naga itu adalah gugusan bukit batu dengan banyak ceruk-ceruk besar. Eric amat yakin adiknya berada di suatu ruang di dalam sana, menunggu dirinya.

“Ini kesempatan bagus untuk membunuh Metta Dracunis,” usul Sheraga.

“Tapi, bukankah rencananya kita menyusup?”

Sheraga tersenyum masam. “Menyusup? Adikmu terpenjara dan apa pun cara yang kita gunakan untuk membebaskannya, semua akan berakhir sia-sia saja. Naga Logam tidak tidur dalam waktu yang lama!”

Eric terenyak. “Tapi, bagaimana jika aku tidak berhasil?”

“Kamu pasti berhasil, percayalah. Aku akan membantumu jika sesuatu di luar dugaan terjadi, yakinkan itu dalam dirimu.”

Dengan gugup, Eric melangkah maju. Dia memandangi Sheraga sekali lagi, namun pria itu memarahinya, “Cepatlah! Jangan buang-buang waktu!”

Eric dengan cepat menyadari kebenaran ucapan Feorynch. Instingnya mengatakan kejanggalan telah terjadi. Tindak-tanduk Sheraga sangat mencurigakan. Dia tidak bisa memercayai instruksi pria itu begitu saja. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Eric langsung bergeming di tempat.

“Kamu ingin menantangku berkelahi, Eric?” Sheraga melompat ke arah Eric. “Apa harus aku yang melakukannya sekarang juga?”

“Tidak,” sahut Eric miris. “Biar aku saja yang melakukannya.”

“Kamu pengecut,” sembur Sheraga. “Berikan Tombak Api itu padaku!”

Eric memicingkan matanya, sontak beringsut mundur. “Jadi, selama ini kamu menginginkan kesempatan semacam ini? Kamu hendak merebut Tombak Api dariku saat yang lain tidak bersama kita?” Dia menyimpulkan.

“Kesempatan apa?!” Sheraga mendelik. “Kamu sinting! Benda itu tidak ada gunanya kecuali untuk mengirim Naga Logam ke akhirat!”

“Jangan coba-coba mempermainkanku!” tantang Eric. “Kalau kupikir-pikir lagi, sejak awal kamu-lah yang menyebabkan seluruh perjalanan ini menjadi semakin pelik. Dan yang terparah, kamu sengaja menciptakan alkimia yang gagal, agar aku dan Elisca pergi ke kota. Aku tahu sebenarnya kamu alkemis yang hebat. Yah, barangkali kamu bahkan sudah mengetahui akan datangnya Naga Logam. Kamu juga berpura-pura tidak menyetujui gagasanku menyelamatkan Elisca, agar niatmu tersamarkan. Padahal dalam hatimu, kamu begitu menginginkan senjata ini!” Perlahan dia menjauhi Sheraga.

“Tutup mulutmu!” hardik Sheraga. “Udara hutan pasti telah membuatmu mabuk! Kalau kamu terus menunda- nunda waktu, maka biar aku saja yang menyelesaikan semua ini!”

“Tidak akan kubiarkan!” Eric menodongkan ujung Tombak Api tepat di depan dahi Sheraga. “Diam di situ! Atau keningmu akan berlubang!”

Sheraga tertawa membahana, suaranya begitu menyayat hati Eric. “Cih, kamu takkan mampu melakukannya!” Tanpa diduga, dia menjatuhkan diri lalu menyarangkan sebuah tendangan ke betis kiri Eric, membuatnya jatuh bersimpuh.

Tapi Eric segera menguasai diri. Secara refleks, dia bangkit dan langsung melayangkan sepasang pukulan ke hidung Sheraga. Pria itu menjerit tertahan, darah segar mengucur dari dalam hidungnya. Dan tak lama berselang, dia menerjang Eric. Alhasil keduanya terguling di atas lautan lumpur dan batu. Ketika berhenti, Sheraga berada posisi menguntungkan. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan meninju wajah Eric berkali-kali.

“Kamu kerasukan,” ejek Sheraga. “Dan orang yang kerasukan jelas tidak bisa berpikir dengan normal.”

Eric tidak bisa berbuat apa-apa. Menghirup udara saja dia kesulitan. Kepalanya dilanda pening luar biasa, seakan terpukul gada. Tombak Api terpisah beberapa meter dari tangannya, dan kini Sheraga tengah mengambilnya.

“Tidak!” Eric mencoba berteriak.

Namun sesuai keinginannya, Tombak Api yang dipungut Sheraga memancarkan cahaya yang teramat menyilaukan. Eric memejamkan matanya, dan saat itulah terdengar jerit-pekik memilukan. Dilanda penasaran, dia membuka mata. Eric syok, menyaksikan Sheraga bergumul di atas tanah berair. Lengan kirinya melepuh.

“Ini semua... karena ulahmu...” rintih Sheraga. Eric tidak memercayai penglihatan– nya, pria itu menangis. Jika sudah begitu, pasti rasa sakit yang dialaminya teramat luar biasa.

Namun Eric segera dapat mengabaikannya. Penderitaan orang itu tidak sebanding dengan apa yang dialami Elisca. Berbulan-bulan berada di dalam bayang- bayang ketakutan akan Naga Logam, kesepian dan kedinginan, serta kesulitan mencari...

Tunggu dulu, pikir Eric. Bagaimana jika...

Eric menutup kedua telinganya. Kesadaran yang diterimanya langsung menyiksa. Bagaimana mungkin, selama berbulan-bulan, seseorang bisa hidup di dalam penjara tanpa diizinkan keluar dan diberi makan sama sekali? Kenyataan tersebut memukul benak Eric. Otaknya seolah berhenti berfungsi saat itu juga, sampai-sampai dia tidak tahu apakah harus bersedih, berteriak, atau menyesal.

Namun Eric rupanya berkehendak lain. Dikuasai amarah, dia bangun dan tertatih-tatih mengambil Tombak Api. Setelah semua tenaganya terkumpul cukup, dia berlari.

Sang Naga Logam masih terlelap, dan Eric akan mengakhiri hidup makhluk itu dalam tidurnya.

Dari tempatnya saat ini, Eric dapat melihat celah terbuka yang tidak dilapisi sisik logam, tepatnya di bagian perut. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia menyasar bagian itu. Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, Eric menusukkan Tombak Api ke perut Naga Logam.

Detik demi detik berlalu lamban seusainya. Eric menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Walau ditusuk sedemikian caranya, Metta Dracunis tidak bergerak. Membuka mata pun tidak. Meski demikian, bilah Tombak Api sedikit demi sedikit bertambah terang.

Sekujur tubuh Naga Logam secara janggal membatu. Dan dari lubang yang tercipta di perutnya berkat tusukan, tercipta retakan besar yang merambat ke bagian tubuh sang naga yang lainnya. Sekerjapan mata berikutnya, makhluk itu hancur lebur. Serpihan-serpihannya berhaburan ke segala arah.

Semudah ini?

Saat itulah, terdengar langkah kaki. Sheraga sudah berada di belakang Eric. Di buku jari tangan kanannya, terdapat empat tabung alkimia berwarna merah. Eric tidak sempat menghindar tatkala pria itu tiba-tiba saja melemparkan seluruh tabung itu ke depan, ke arahnya.