“Elisca!” Eric memanggil-manggil. Dia baru berniat bangkit ketika Elisca menghenti-kannya. Gadis itu melompat turun, dan menghampiri kakaknya.
“Elisca, kamu tidak tahu seberapa aku merindukanmu,” Eric memeluk Elisca yang duduk di depannya, seraya membelai rambutnya. “Ke mana saja kamu? Aku mencarimu sampai tidak bisa hidup tenang.” Dia menyeka matanya yang berair.
“Kak Alezandeia yang menemukan dan menjagaku selama ini,” tutur Elisca. “Aku juga senang akhirnya bisa ketemu kamu, Eric. Dan oh! Aku baru tahu kamu pun bisa menangis. Seharusnya kamu malu, laki-laki nggak boleh cengeng!”
Eric nyengir. “Tak apa kamu mau mengataiku apa, yang terpenting sekarang kita bertemu lagi, Elisca.” Dia melepaskan dekapannya.
“Kebiasaan,” komentar Elisca. “Kamu nggak bisa diajak bercanda jika sedang bahagia, Eric.”
“Sudah cukup?” Martha Alezandeia memutus percakapan. Wanita itu berdiri menyilangkan tangan, entah bagaimana prosesnya dia sudah di belakang Elisca. “Aku telah memantau seluruh rangkaian drama sejak kedatangan kalian kemari. Deofrych dan Aglicus Lynch hendak membalaskan dendam mereka pada Luminesca, bagaimana bisa kamu bergeming saja setelah mengetahui semua itu?”
Eric tertunduk lemas. “Aku... terlalu kalut. Mereka dua penyihir yang berbahaya.”
“Tapi kamu memiliki Tombak Api di sisimu,” tukas Martha Alezandeia. “Itulah senjata terkuat yang dimiliki keluarga Chambrelynn.”
“Percuma saja, aku hanya bisa mengangkat dan mengayunkannya,” keluh Eric. “Aku tidak bisa menyihir seseorang menjadi Naga Logam ataupun menyegel sesuatu dengan senjata itu.”
“Kamu pernah memerintahkannya menyelamatkan nyawamu. Kamu pun secara langsung menyuruhnya melukai lengan temanmu. Apa itu belum cukup membuktikan dirimu sebetulnya mampu?”
“A-Anda melihatku saat penyerangan itu?” Eric tergagap.
“Tentu saja,” sahut Martha Alezandeia. “Sejak awal aku sudah menyadari bocah ular yang bersamamu itu adalah biang keladi dari semua kejadian ini. Dia pun membuatku kebingungan ketika aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu. Jadi, aku mengikuti kalian dan sebisa mungkin keberadaanku tidak terendus olehnya.
“Makanya aku meminta sebuah jubah Burung Api, baik anak itu maupun Naga Logam sama-sama dapat merasakan kehadiran. Tapi untunglah dia mengatur perjalananmu serealistis mungkin, dia tidak terburu-buru dalam mencapai tujuannya.”
“Feorynch Clyde si Ular,” ujar Elisca marah. Dia membenamkan tangannya yang terkepal ke telapak tangan lainnya. “Sejak awal, kan, aku nggak menyukai dia, Eric!”
“Lalu, siapa yang sebenarnya membantai para prajurit Luminesca?” tanya Eric masih dilanda rasa ingin tahu.
“Sudah jelas bocah itu,” jawab Martha Alezandeia. “Dan wanita berambut pirang yang bersamanya juga turut serta.”
Mendengar tentang Dionde, seketika Eric teringat wanita itu. Dia menoleh, Dionde masih berada di tempatnya. Begitu pula dengan Sheraga.
“Sheraga dan Dionde... kumohon Anda periksa keadaan mereka,” pintanya pada Martha Alezandeia.
“Pria itu baik-baik saja, teman wanitanya merupakan penyembuh andal,” jelas Martha Alezandeia. “Tapi wanita itu sendiri, keadaannya memprihatinkan. Deofrych mengutuknya, dia akan menjadi batu dan hancur tatkala matahari terbit besok.”
“Astaga! Itu buruk sekali!” seru Eric. “Kita harus menawar kutukan itu secepatnya!”
“Satu-satunya cara menghilangkan sihir itu, yaitu dengan membunuh perapalnya,” tandas Martha Alezandeia. “Lenyapkan dia dan Aglicus, kamu orang yang dapat melakukannya. Biarpun Raja Regulus dari Luminesca juga keturunan Eclausus, tetap saja dia tidak ada apa-apanya dibanding Aglicus Lynch. Karena Tombak Api ada padamu!”
“Tapi Tombak Api itu sudah...” Eric baru akan pesimis lagi, namun dia jelas salah. Tombak Api masih ada di Lembah Valatia, tidak bergeser sedikit pun dari tempat terakhir Eric melihatnya.
“Hei, Feorynch tidak merusak senjata itu sama sekali,” Eric senang sekaligus heran. “Apa dia lupa dengan Tombak Api sampai meninggalkannya begitu saja untuk kita?”
“Tepatnya karena dia memang tidak mampu melakukannya,” Martha Alezandeia mengoreksi. “Lagipula, dia menganggapmu lemah. Sekarang, mari buktikan bahwa dia salah. Susul dia saat ini juga, Erlacius!”
“Sebelumnya maaf, aku bukan Erlacius. Namaku Eric Chambrelynn.”
Lawan bicaranya tersenyum. “Aku pernah bertemu dengan kedua orangtuamu. Mereka mengatakan namamu Erlacius. Eric hanya nama kecilmu.”
“Wow! Kamu punya nama yang keren, Kak Erlacius...” puji Elisca jail.
“Omong-omong, bagaimana kita menyusul Feorynch?” tanya Eric. “Kita bahkan belum tahu ada di mana dia.”
“Pada dasarnya, Tombak Api adalah simbol dari pelindung keluarga Chambrelynn,” Martha Alezandeia menjelaskan. “Itu artinya, sebenarnya Tombak Api tidak sebatas sebuah senjata saja, tapi sesuatu yang dapat dikendalikan. Menurut cerita, dahulu Eclausus menggunakannya dalam pertempuran.”
“Seekor Naga Api?” tebak Eric asal.
Martha Alezandeia mengangguk setuju. “Benar sekali. Itulah Naga Api, sesuatu yang dapat melakukan seluruh perintahmu, termasuk mengejar Aglicus dan Deofrych ke Luminesca tepat waktu.”
Dia menyambung kata-katanya sebelum Eric bertanya, “Aku paham bakatmu sebagai seorang Chambrelynn belum terasah, jadi aku akan membantu untuk membangkitkan kemampuanmu. Diam saja di tempat, bersiaplah!”
Elisca segera menyingkir, sedangkan Eric memejamkan matanya. Peluhnya bercucuran, cemas kalau- kalau Martha Alezandeia melakukan penyiksaan untuk memuncul-kan sihir dari dalam dirinya.
Waktu berlalu lama dan belum terjadi apa pun yang dirisaukan Eric. Tetapi tahu-tahu, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. Dengan waswas, dia membuka mata lambat-lambat. Martha Alezandeia mengalungkan sebuah benda, liontin kristal yang berpendar, sebelum mengecup kening Eric.
Eric merasa wajahnya memerah. Dia bertanya untuk mengusir kecanggungan, “Tapi, kenapa?”
“Aku selalu mengagumi Eleanor dan Erdelyn, mereka dua temanku yang amat tangguh serta penuh semangat. Sama sepertimu. Sayangnya, takdir menghapus keberadaan mereka dari dunia ini. Sampai akhirnya aku berjumpa dengan Elisca dan dirimu, suatu kebahagiaan bisa bertemu putra-putri mereka.”
“Terima kasih,” tanggap Eric sekenanya, dia tidak tahu harus merespons apa. “Lalu, bagaimana dengan kalung ini?”
“Setengah kekuatanku bersemayam di dalam benda itu,” Martha Alezandeia memaparkan. “Sekarang, perintahkan Tombak Api untuk memperlihatkan wujudnya yang sesungguhnya! Buang segala keraguan dalam benakmu, Erlacius!”
Eric mengangguk, lantas mendekati Tombak Api. Dengan yakin, dia mengacungkan senjata tersebut menggunakan kedua tangan, memfokuskan pikirannya sebisa mungkin. Arata, vostur veritabrynn... persoana, dia menggumamkan kalimat sederhana dalam bahasa Luminesca kuno.
Tombak Api memberi respons. Benda itu bergetar hebat, sontak meluncur ke atas dan berputar-putar di udara, membawa serta Eric. Mendadak Eric mual. Tombak Api menerbangkannya begitu tinggi. Dia tidak sanggup memandang ke bawah.
“Lepaskan, Eric! Dan yakinlah kamu dapat selamat dengan kekuatanmu sendiri!” teriak Martha Alezandeia dari bawah.
Meski ragu, Eric menurut. Dia melepaskan genggamannya, dan terjun bebas ke Lembah Valatia yang kasar. Sekali lagi, dipejamkannya mata. Dalam hati berharap atas kese-lamatan hidupnya.
Tanpa disangka-sangka, Eric mendarat di permukaan yang halus. Ternyata, sosok sesuatu mencegahnya jatuh. Naga Api—Fyra Dracunis.
Makhluk itu luar biasa besar, ukuran tubuhnya dua kali Metta Dracunis. Seluruh bagian tubuhnya terbuat dari kobaran api, termasuk kedua mata dan cakarnya. Namun anehnya, Eric tidak terpengaruh sama sekali. Eric berdecak kagum.
Berikutnya, dia memerintahkan Fyra Dracunis turun. Dia juga menyuruh Elisca dan mempersilakan Martha Alezandeia naik.
“Maaf, aku tidak bisa turut bersamamu,” Martha Alezandeia menolak. “Aku tak dapat meninggalkan tanggung jawabku yang lainnya.”
“Ka-Kalau begitu, bawa aku saja!”
Semua orang berpaling. Sheraga berjalan merangkak, berusaha menggapai Eric. Keadaan pria itu buruk sekali. Martha Alezandeia bergegas menghampiri dan membantunya berdiri.
“Jangan bicara, luka-lukamu belum sembuh benar,” Martha Alezandeia memperingatkan.
“Aku... mau membuat perhitungan pada ular keparat itu,” Sheraga meminta tanpa menghiraukan sang walikota Althenna. “Ba-bawa aku, Eric, dan biarkan aku menghajarnya untuk sekali saja. Aku ingin melampiaskan kemarahanku walau nyawa taruhannya!”
“Aku tidak pernah melarangmu, Sheraga,” Eric tersenyum tipis. “Aku pun, pasti akan membantu mewujudkan keinginanmu.”
Dia memberi tanda agar Martha Alezandeia membantu pria itu dan Dionde naik. Setelah dirasa cukup, Eric berniat memerintahkan Naga Api meninggalkan Avratika. Tapi mendadak, dia teringat satu hal.
“Mengapa Anda bertindak sampai sejauh ini? Bukankah... Luminesca dan Avratika tidak memiliki hubungan negara yang baik?”
“Aku sama sekali tidak mementingkannya, Erlacius,” jawab Martha Alezandeia lembut. “Karena yang kutahu, Aglicus Lynch merupakan musuh bersama. Baik Luminesca maupun Avratika, atau bahkan seluruh dunia. Jika penyihir itu berhasil membalaskan dendamnya, bisa jadi dia akan menebar lebih banyak teror.”
“Sekali lagi terima kasih, Anda betul-betul membantu,” ucap Eric. “Il revediara!”
“Il revediara,” ulang Martha Alezandeia. “Sampai jumpa!”
Berikutnya, dia dan Elisca mohon diri. Keduanya terus memandang ke bawah ketika Fyra Dracunis semakin mengudara, seraya melambaikan tangan pada sang walikota Althenna berambut merah menyala itu.
Bagai ditelan kabut, sosoknya perlahan memudar. Wanita itu tidak tampak lagi.